Ketika Bollywood Mengubah Cara Dunia Melihat Kashmir
13 Agustus 2025Dari pegunungan bersalju hingga wilayah sarat konflik dan seruan "azaadi” (kebebasan), film-film Bollywood turut membentuk cara dunia memandang Kashmir.
Sebuah dialog yang begitu 'mengena' film "Haider” karya Vishal Bhardwaj yang dirilis pada tahun 2014 menangkap ragam kisah-manusia di Kashmir, sebuah wilayah Himalaya dengan keindahan yang memukau dan kekayaan budaya. Di baliknya tersembunyi konflik berkepanjangan antara India dan Pakistan.
"Apakah kita berada di sini atau tidak? Jika ya, di mana, dan jika tidak, ke mana kita pergi? Jika kita berada di sini, untuk siapa dan sampai kapan? Tuan... apakah kita pernah berada di sana, atau sama sekali tidak?” karakter Haider yang mempertanyakan eksistensinya.
Dialog tersebut juga menyoroti bagaimana industri film berbahasa Hindi di India, Bollywood, menggambarkan Kashmir yang mayoritas penduduknya Muslim.
"Haider” adalah adaptasi Bhardwaj dari "Hamlet” karya Shakespeare, yang diberi latar belakang konflik Kashmir pada pertengahan 1990-an. Film ini menyajikan gambaran halus akan kekerasan, penghilangan paksa, dan beban psikologis akibat konflik.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Kashmir, surga film di masa lalu
Beberapa dekade setelah kemerdekaan India di tahun 1947, Bollywood kerap menggambarkan Kashmir sebagai ‘surga' yang romantis dengan lembah yang tersembunyi di antara pegunungan bersalju, kebun tulip yang berwarna-warni, pepohonan aras himalaya dan chinar yang rindang.
Dalam film "Barsaat” (1949), Raj Kapoor menggunakan Kashmir dengan pemandangannya yang romantis, sebagai pelarian dari kehidupan kota yang membosankan, bukan sebagai subjek politik.
Film-film lainnya seperti "Kashmir ki Kali” (1964) mengikuti jejak yang sama. Jarang film di masa itu membahas masyarakat atau politik di wilayah tersebut.
Menurut penulis dan pembuat film Sanjay Kak, Kashmir layaknya taman bermain" yang mewujudkan fantasi orang India dengan orang Kashmir turut memainkan peran-peran kecil di belakangnya.”
Kak menambahkan, periode pasca-kemerdekaan "dipenuhi dengan optimisme Perdana Menteri India Pertama, Nehru, tentang sekularisme dan persaudaraan.”
Penekanan pada lanskap dibandingkan kehidupan masyarakat, romantisme dibandingkan realita telah membentuk citra Kashmir sebagai surga di Bumi, memikat wisatawan dan imajinasi global.
Gerakan militan Kashmir jadi titik balik Bollywood
Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, kelompok-kelompok militan Kashmir bermunculan dengan gerakan anti-India yang radikal.
Pemberontakan bersenjata pun meletus di Kashmir yang dikelola India, setelah New Delhi dituding melakukan kecurangan yang menguntungkan koalisi partai nasionalis India dalam pemilihan umum 1987.
Muslim United Front (MUF), sebuah koalisi partai-partai Islam populer yang diprediksi akan berhasil maraup banyak suara, kalah dalam pemilihan umum.
Sebagai respons terhadap pemberontakan bersenjata, pemerintah India memberlakukan langkah-langkah kontra-pemberontakan: menerapkan Undang-Undang Kekuatan Khusus Pasukan Bersenjata (AFSPA) di tahun 1958, yang memberikan impunitas pada pasukan keamanan.
Perkembangan sosio-politik ini mengubah citra sinematik Kashmir, dari surga menjadi tempat sarat kekuasaan militer, penuh ketakutan, dan perpecahan komunal — citra yang bertahan hingga kini.
Menurut Meenakshi Bharat, penulis buku "Hindi Cinema and Pakistan,” gejolak politik di tahun 1990-an membuat masyarakat India kian sadar baik secara politik dan emosional akan isu Kahsmir.
"Sinema Hindi, sebagai cermin imajinasi masyarakat India, menyadari perubahan ini,” katanya kepada DW.
Akibatnya, narasi film pun berubah. Kashmir semakin digambarkan sebagai medan perang, di mana tentara India bertempur melawan pemberontak yang didukung Pakistan.
Film seperti "Roja” (1992) menggabungkan kisah manusia dengan, konflik, sikap militan, serta pertanyaan akan kebebasan dan identitas.
"Film ini benar-benar menandai transformasi menyedihkan, dari Kashmir yang penuh cinta menjadi di ‘surga' diambang kehancuran,” kata Bharat.
Sejak Film "Roja”, kaum militan sering digambarkan sebagai antagonis yang kejam — penggambaran yang menurut kritikus berisiko menggambarkan identitas Muslim dengan sikap militan. Sedangkan sang sutradara berargumen, Kashmir menjadi latar belakang rekonstruksi fantasi masyarakat India akan nasionalisme dan patriotisme.
Pertarungan eksistensi tampil di layar lebar
Pada awal tahun 2000-an, film-film mulai menyoroti realitas sosial, politik, dan emosional yang kompleks di Kashmir, dari sejarah konflik hingga trauma yang dialami penduduknya akibat kekerasan yang terus berlanjut.
Kesedihan tanpa akhir dengan hilangnya orang, pengungsian, dan keluarga yang terpecah — secara mendalam membentuk narasi, menapak jalan cerita baru tragedi pribadi yang terkait dengan ideologi militer.
Film-film populer kini mengeksplorasi penderitaan mendalam dan konflik Kashmir yang kompleks, menyeimbangkannya dengan realita akan trauma psikologis, kekerasan yang meluas, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dihadapi oleh orang-orang Kashmir — dengan perspektif nasional India yang berfokus pada keamanan dan patriotisme.
Perspektif ganda inilah yang membentuk kisah Khasmir di layar lebar.
Bollywood ‘statis' membentuk narasi sinema
Kak menggambarkan sinema Hindi saat ini sebagai "statis,” artinya sebagian besar sejalan dengan narasi pemerintah.
Hal ini menjadi lebih jelas sejak Agustus 2019, ketika New Delhi mencabut Pasal 370 Konstitusi India, yang sebelumnya memberikan otonomi terbatas bagi wilayah tersebut. India mengklaim bahwa otonomi semi Kashmir merupakan "akar penyebab” militan anti-India.
"Seiring dengan perubahan posisi negara, demikian pula dengan sinema,” kata Kak kepada DW.
Film-film baru mencerminkan pergeseran ini. "The Kashmir Files” (2022) memicu kembali perdebatan publik. Film tersebut menggambarkan eksodus Hindu Kashmir pada 1990 sebagai "genosida” — narasi yang didukung oleh kelompok nasionalis Hindu.
Namun, kritikus mengatakan, film tersebut mempromosikan narasi "satu sisi” yang berisiko memperkuat sentimen anti-Muslim dan memperdalam perpecahan antar kelompok.
Sementara itu, "Article 370” (2024) mendukung posisi pemerintah terkait Kashmir, menggambarkan pembatalan status semi-otonom Kashmir sebagai tindakan heroik dan diperlukan untuk memulihkan ketertiban dan persatuan nasional.
Bharat memandang Bollywood sebagai ‘cermin kehidupan' menangkap dorongan politik dan sentimen yang dominan.
"Tentu kini sulit menampilkan lembah-lembah yang indah di Kashmir sebagai latar romantis yang tak bernoda,” pungkasnya.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor Agus Setiawan