Kesepakatan Dagang AS–Cina Mandek, Apa Langkah Selanjutnya?
31 Juli 2025Putaran pembicaraan dagang terbaru antara AS dan Cina di Stockholm berakhir 29 Juli tanpa mencapai kesepakatan.
Kesepakatan jeda penerapan tarif selama 90 hari diumumkan Mei lalu, usai pertemuan dua negara dengan perekonomian terbesar global tersebut di Jenewa. Jeda tarif tersebut telah berhasil menghentikan eskalasi perang dagang antara kedua negara. Sebelumnya, AS dan Cina saling mengancam akan memberlakukan tarif lebih dari 100%.
Setelah pertemuan di Jenewa, tarif AS terhadap barang-barang Cina diturunkan dari 145% menjadi 30%, sementara tarif balasan dari Cina turun dari 125% menjadi 10%.
Meski keduanya telah memberi sinyal, untuk memperpanjang negosiasi melebihi tenggat waktu pada 12 Agustus, masih ada perselisihan dalam tema penting seteleh perundingan di ibu kota Swedia itu pekan ini.
Claus Soong, analis di Mercator Institute for China Studies (MERICS) di Berlin kepada DW mengatakan, putaran negosiasi terbaru ini “secara material tidak menunjukkan perbedaan dengan dua putaran sebelumnya” dan masih mencerminkan “kasus saling menunggu dan harapan akan adanya perubahan.”
Nasib jeda tarif ditentukan Trump
Keputusan apakah jeda tarif akan diperpanjang, berada di tangan Presiden AS Donald Trump, yang diperkirakan akan memutuskan setelah rapat dengan seluruh staf.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, yang memimpin delegasi di Stockholm, menyebut pertemuan tersebut “konstruktif,” tetapi menekankan "belum ada kesepakatan apapun hingga kami berbicara dengan presiden Trump."
Pejabat AS memperingatkan, kegagalan mencapai kesepakatan bisa membuat tarif untuk barang dari Cina, akan kembali ke tingkat tiga digit. Sementara itu, Cina sendiri mengonformasi upaya memperpanjang jeda 90 hari atas sebagian besar balasan tarif.
Sengketa perdagangan antara AS dan Cina, serta kebijakan dagang Trump terhadap mitra-mitra utama AS lainnya, telah memicu ketidakpastian global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Walaupun Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan, jeda tarif belakangan ini membantu menaikkan proyeksi pertumbuhan global menjadi 3%, namun lembaga ini juga memperingatkan, penerapan tarif lebih tinggi akan menciptakan ketidakpastian baru, yang bisa kembali memperlambat aktivitas ekonomi.
Menunggu pertemuan Xi Jinping dan Trump
Dr. Patricia M. Kim, peneliti di Brookings Institution kepada DW mengatakan, dalam beberapa minggu terakhir kedua pihak terlihat mulai menurukan leval retorika mereka, "menunjukkan minat bersama dalam mempersiapkan kondisi untuk perundingan kedua pemimpin."
"Meski belum ada kesepakatan, keduanya tampaknya telah mencapai tujuan utama dari pertemuan ini, yakni memperpanjang jeda tarif, dan memberi waktu untuk merancang kesepakatan yang lebih luas, yang bisa disetujui oleh Trump dan Xi Jinping saat mereka bertemu kembali akhir tahun ini," tambahnya.
Ada laporan yang menyebutkan, kedua pemimpin tertinggi AS dan Cina kemungkinan bertemu di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik di Korea Selatan pada 30 Oktober hingga 1 November mendatang.
Trump pekan ini membantah bahwa ia sedang “mengusahakan pertemuan puncak,” meski ia tidak menutup kemungkinan untuk berkunjung ke Cina dan bertemu dengan Xi Jinping.
Delegasi AS memulai pembicaraan di Stockholm hanya beberapa hari setelah Trump berhasil mengamankan kesepakatan dengan Uni Eropa, yang menurut banyak pihak justru lebih menguntungkan AS.
Baru-baru ini, AS juga menandatangani kesepakatan dengan Jepang, Inggris, Vietnam, Indonesia, dan Filipina, yang memberikan dukungan tambahan bagi delegasi perdagangan AS saat melanjutkan pembicaraan dengan Cina di Stockholm.
Logam tanah jarang vs. cip AI jadi alat tawar strategis
Setelah mencapai serangkaian kemenangan, AS mulai sadar bahwa mencapai kesepakatan yang menguntungkan dengan Cina tidak semudah yang dibayangkan.
Salah satu inti dari kebuntuan ini adalah dominasi Cina atas material tanah jarang serta pembatasan ekspor cip AI oleh AS.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Dalam perundingan dagang di London pada Juni lalu, kontrol ekspor secara resmi dimasukkan ke dalam diskusi perdagangan. Langkah tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya, dan kini mengaburkan batas antara kepentingan ekonomi dan keamanan nasional.
Setelah pertemuan di London, kedua negara memberi sinyal terkait kemungkinan pelonggaran pembatasan ekspor logam tanah jarang dan semikonduktor.
Menurut pakar MERICS, Soong, Cina cukup diuntungkan dalam hal ini, karena "kartu cip" AS tidak sekuat logam tanah jarang yang dimiliki negara tersebut.
"Cina bisa memanfaatkan kendalinya atas pasar global material tanah jarang dan magnet," ujarnya. Kedua komoditas tersebut sangat penting untuk industri otomotif, semikonduktor, dan dirgantara dunia.
"Kontrol atas logam tanah jarang adalah titik masalah sebenarnya," tambah Soong.
Tarif fentanil
Pada Februari lalu, Trump sempat memberlakukan tarif sebesar 20% karena Cina gagal membatasi ekspor prekursor fentanil.
Meski sebagian besar tarif dari kesepakatan Jenewa kemudian dikurangi, tarif 20% terkait fentanil tetap diberlakukan.
Sebagai upaya meredakan ketegangan dagang, pada akhir Juni lalu Beijing menambahkan dua prekursor fentanil ke dalam daftar zat terkontrol mereka.
Meski langkah tersebut memunculkan harapan akan penghapusan tarif terkait, Soong memperingatkan bahwa "tarif fentanil tampaknya lebih berfungsi sebagai dalih."
"Dengan menghapus tarif tersebut, tarif keseluruhan akan turun menjadi hanya 10%, bahkan mungkin lebih rendah dari tarif yang diterapkan pada Jepang dan Uni Eropa, sehingga langkah ini tampaknya tidak mungkin dilakukan," katanya.
Soong menambahkan, walau tarif 20% untuk fentanil dicabut, "langkah serupa kemungkinan akan muncul kembali dengan alasan yang berbeda."
Isu strategis dan ekonomi yang lebih luas
Sebelum perundingan di Stockholm, Bessent menyebutkan Cina menyumbang 30% dari ekspor manufaktur global.
"Itu seharusnya tidak bertambah lagi," kata Bessent, seraya menambahkan ekonomi Cina saat ini "tidak berkelanjutan dan secara historis merupakan yang paling tidak seimbang, sehingga perlu beralih ke ekonomi berbasis konsumsi domestik."
Cina sendiri menyadari ketidakseimbangan ekonomi tersebut. Dr. Kim menjelaskan, kekhawatiran AS soal kelebihan kapasitas Cina, atau kebutuhan akan pertumbuhan yang didorong oleh konsumsi masih bisa diatasi.
Ia juga menyoroti bahwa beberapa kepentingan mereka sebenarnya sejalan — seperti pembelian barang AS yang non-strategis oleh Cina, investasi Cina di sektor AS yang tidak sensitif, dan kerja sama soal fentanyl.
"Namun, saat negosiasi melampaui urusan dagang dan masuk ke ranah strategis, tantangannya akan lebih besar," kata Kim.
“Sulit membayangkan Beijing mau berpihak pada AS melawan mitra strategisnya,” ujarnya, merujuk pada tekanan pemerintahan Trump terhadap Cina terkait pembelian minyak Rusia dan Iran.
Dr. Kim menjelaskan, Cina pasti punya tuntutan sendiri, termasuk meminta pemerintahan Trump mengadopsi bahasa dan sikap yang mereka inginkan soal Taiwan, serta berkomitmen melepas pembatasan ekspor barang teknologi tinggi.
“Isu-isu yang bertentanan dengan kepentingan strategis inti kedua pihak, akan jauh lebih sulit dituntaskan,” pungkas Kim.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Adelia Dinda Sani
Editor: Agus Setiawan