Kenapa Uni Eropa Masih Borong Pupuk Rusia?
6 Juni 2025Di tengah gencarnya pemberitaan betapa Uni Eropa bertekad mengurangi ketergantungan pada impor gas dan minyak dari Rusia, satu komoditas penting nyaris luput dari perhatian, yakni pupuk.
Rusia merupakan produsen dan eksportir pupuk terbesar di Eropa. Komoditas ini sangat dibutuhkan para petani dan menjamin kelangsungan produksi pangan. Tapi meski Uni Eropa telah memangkas besar-besaran impor minyak dan gas dari Moskow, pembelian pupuk buatan Rusia justru meningkat sejak invasi ke Ukraina pada Februari 2022.
Porsi Rusia dalam total impor pupuk ke Uni Eropa melonjak dari 17% pada 2022 menjadi sekitar 30% saat ini. Pada 2024 saja, volume impor melonjak lebih dari 33%, dengan nilai mencapai sekitar 2 miliar dolar AS. Data dari MIT Observatory of Economic Complexity mencatat, Rusia mengekspor pupuk senilai 15,3 miliar dolar pada 2023, menjadikannya eksportir terbesar di dunia.
Walau pasar utama pupuk Rusia adalah India dan Brasil, Uni Eropa tetap menyumbang sekitar 13% dari total ekspor tahun lalu.
Namun awal bulan ini, Parlemen Eropa menyetujui usulan Komisi Eropa untuk mengenakan tarif impor sebesar 6,5% terhadap pupuk asal Rusia dan Belarus, dengan target meningkat hingga 50% pada 2028 mendatang.
Kenapa ketergantungan yang tinggi?
Jawabannya ada pada jenis dan cara produksi pupuk tersebut. Rusia unggul dalam memproduksi pupuk anorganik berbasis nitrogen, yang dalam proses pembuatannya membutuhkan gas alam dalam jumlah besar sebagai bahan baku, sekaligus sumber energi. Bagi banyak negara Uni Eropa, pupuk jenis ini sangat vital karena kaya akan nitrogen, fosfor, dan kalium, yang esensial untuk pertumbuhan tanaman.
Menurut William Moseley, profesor geografi di Macalester College, AS, sekaligus anggota panel ahli pangan dan nutrisi PBB, Rusia memiliki keunggulan kompetitif karena mampu memproduksi pupuk dengan biaya rendah berkat harga gas domestik yang murah. Kondisi ini sulit ditandingi produsen Eropa.
Sektor industri pupuk Eropa menilai hal ini sebagai bentuk "dumping”—menjual produk dengan harga sangat rendah ke pasar luar. Ketika harga energi di Eropa melonjak akibat invasi Ukraina dan pasokan terganggu, banyak produsen pupuk anorganik di Eropa terpaksa menghentikan produksi. Kini mereka kehilangan pangsa pasar dan kesulitan bersaing dengan Rusia.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Alternatif dalam bentuk sirkular
Moseley menilai rencana tarif yang dicanangkan Uni Eropa menandakan keseriusan untuk menghentikan ketergantungan terhadap pupuk Rusia paling lambat pada 2028. "Langkah ini akan memaksa negara-negara Uni Eropa mencari pasokan pupuk anorganik dari negara lain,” ujarnya kepada DW. Ia menyebut China, Oman, Maroko, Kanada, atau Amerika Serikat sebagai alternatif potensial.
Namun alternatif lainnya, kata Moseley, adalah mengandalkan produksi dalam negeri, meski akan jauh lebih mahal karena biaya gas yang tinggi. Pilihan lain adalah meningkatkan penggunaan pupuk organik dari limbah ternak dan kompos. "Ini lebih berkelanjutan dan lebih ramah tanah,” tegasnya.
Menurutnya, meskipun Uni Eropa tidak bisa sepenuhnya mandiri dari impor pupuk anorganik, mereka bisa mengubah komposisinya dengan lebih bergantung pada produksi pupuk organik lokal, asal dilakukan secara bertahap.
Arah ini juga diakui oleh Komisi Eropa. Christophe Hansen, Komisioner Eropa untuk Pertanian dan Pangan, menyebut sektor peternakan bisa berperan dalam ekonomi sirkular dengan menyumbang pupuk organik, yang tidak perlu diimpor dan tidak tergantung pada harga gas yang tinggi.
Mampukah UE swasembada pupuk?
Menurut Moseley, jika tarif pupuk diberlakukan secara bertahap seperti rencana, maka pada 2028 beban biaya akan cukup tinggi untuk membuat impor pupuk anorganik dari Rusia dan Belarus tidak lagi ekonomis. Tarif ini mulai berlaku pada Juli dan menargetkan produk-produk pertanian yang sebelumnya luput dari sanksi, termasuk pupuk.
Komisi Eropa dalam pernyataannya menegaskan bahwa ketergantungan pada pupuk Rusia menjadikan UE rentan terhadap tindakan koersif Moskow, sehingga berisiko bagi ketahanan pangan Uni Eropa. Penerapan tarif secara bertahap selama tiga tahun ke depan dimaksudkan agar para petani punya waktu mencari alternatif, khususnya mereka yang sudah terlanjur bergantung pada pupuk Rusia.
Tuntutan rencana diversifikasi
Leo Alders, Presiden Fertilizers Europe alias asosiasi produsen pupuk di Eropa, mengatakan lonjakan impor pupuk Rusia selama ini telah "merusak persaingan sehat dan menekan produsen lokal.” Meski berharap tarif diberlakukan lebih cepat, dia menyambut baik langkah Uni Eropa karena "akan menciptakan kesetaraan pasar dan memastikan produsen Eropa bisa terus memasok pupuk berkualitas tinggi dan berkelanjutan bagi para petani Eropa.”
Namun di sisi lain, kelompok petani justru kecewa. Mereka menilai Uni Eropa belum menyiapkan strategi alternatif yang realistis dan terjangkau. Dua organisasi payung pertanian terbesar di Eropa, Copa dan Cogeca, merilis pernyataan bersama yang menyerukan Uni Eropa agar segera menyusun rencana diversifikasi pasokan pupuk yang jelas.
"Jika Uni Eropa serius ingin mengurangi ketergantungan pada pupuk Rusia dan Belarus, maka harus ada strategi pengganti yang kredibel dan berpandangan jauh ke depan,” tulis mereka. "Kami tidak bisa lagi mempertaruhkan keberlangsungan ekonomi petani ataupun ketahanan pangan jutaan orang di seluruh Eropa.”
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Agus Setiawan