Kenapa Jerman Berbeda dengan Friedrich Merz Sebagai Kanselir
9 Juni 2025Sejak 6 Mei, ketika Bundestag memilih Friedrich Merz dari partai Uni Kristen Demokrat CDU sebagai Kanselir Jerman, situasi politik di Berlin terasa lebih dinamis. Terasa hampir setiap hari, pemimpin baru Jerman itu mengejutkan publik dengan pernyataan bernyali.
Meski tidak selalu diikuti oleh kebijakan baru yang konkret, gaya Merz terasa kontras dengan pendahulunya, Olaf Scholz, yang sering dianggap tidak jelas dalam mensosialisasikan rencananya.
Scholz, seorang kader Partai Sosialdemokrat, menekankan ketenangan dalam pemerintahan. Kepada para stafnya, dia sering mengingatkan: "Kami tidak mudah tersinggung, kami tidak histeris." Prinsip ini dia pegang teguh hingga akhir masa jabatannya.
Penungguan lama Friedrich Merz
Sebaliknya, Merz dikenal tidak sabar menunggu posisi yang telah dia incar sejak lama. Pada 2002, dia tersingkir dari jabatan penting Ketua Fraksi CDU di Bundestag oleh Angela Merkel, yang kemudian menjadi Kanselir.
Merz akhirnya memutuskan keluar dari politik pada 2004 dan berkarier sebagai pelobi ulung, menurut lembaga pro-transparansi LobbyControl.
Dia baru kembali ke politik menjelang akhir masa jabatan Merkel, dan kini, di usia 69 tahun, Merz akhirnya mencapai puncak kekuasaan sebagai Kanselir, jabatan publik pertamanya sepanjang hidup.
Dua yang berbeda: Scholz vs Merz
Perbedaan antara Scholz dan Merz sebabnya terkesan mencolok, baik dalam kepribadian maupun gaya memimpin. Scholz, seorang politikus kawakan asal Hamburg, dikenal pendiam dan penuh perhitungan. Sebelum menjadi Kanselir, dia sudah menjabat sebagai wali kota Hamburg dan menteri keuangan di bawah Merkel.
Merz, sebaliknya, adalah seorang konservatif garis keras, mudah tersulut emosi, dan meski punya karir panjang di politik, dia sebelumnya tidak pernah memenangkan pemilu atau mengepalai administrasi pemerintahan.
Keduanya pun tidak saling menyukai, terlepas dari mulusnya proses transisi usai pemilu silam. Merz pernah menyebut Scholz sebagai "tukang ledeng kekuasaan", mengisyaratkan bahwa Scholz hanyalah birokrat tanpa visi. Sebaliknya, Scholz pernah mengejek Merz sebagai "Fritze Merz" yang sering bicara "omong kosong."
Menurut Michaela Küfner, koresponden politik DW yang telah lama mengikuti kiprah keduanya, perbedaan gaya kedua politisi memang terlihat tajam. "Jika Merkel selalu memikirkan ujungnya dulu, Scholz enggan mendeklarasikan tujuan politik sebelum jalurnya jelas, sedangkan Merz langsung mengumumkan misinya secara gamblang," ujar Küfner.
Perbedaan pertama: Ukraina
Kebijakan Jerman di Ukraina bisa menjadi pembeda antara keduanya. Scholz acap dipenuhi keraguan dan membutuhkan waktu hingga empat bulan sebelum mengunjungi Ukraina yang diserang Rusia sejak Februari 2022. Soal pengiriman senjata ke Ukraina, dia lama bungkam sebelum akhirnya memberi lampu hijau.
Hingga akhir masa jabatannya, dia menolak permintaan roket jarak jauh tipe Taurus, karena khawatir akan terseret langsung ke dalam perang melawan Rusia.
Berbeda dengan Merz, yang hanya butuh beberapa hari setelah menjabat untuk mengunjungi Ukraina bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, dan Perdana Menteri Polandia Donald Tusk.
Di sana, dia dengan yakin mengumumkan akan tibanya gencatan senjata dan pembicaraan damai. Namun, rencana tersebut urung terwujud setelah Presiden AS Donald Trump menarik kembali dukungannya.
Manuver semacam itu tidak mengejutkan bagi mereka yang mengenal gaya Trump. Scholz kemungkinan besar akan memperhitungkan risiko.
Küfner menyebut aksi Merz di Ukraina sebagai "awal yang kuat, namun kemudian menjadi blunder diplomatik".
"Sebuah telepon antara Trump dan Putin membuat negara-negara besar Eropa tampak tak berdaya." Merz hanya menjawab dengan tenang, bahwa setidaknya kini dunia tahu bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin tidak menginginkan perdamaian.
Tapi menurut Küfner, "Apakah kegagalan ini bisa berujung pada kepemimpinan yang kuat, itu masih harus dibuktikan oleh Merz.”
Perbedaan Kedua: Israel
Perubahan gaya yang lebih mencolok terlihat dalam kebijakan terhadap Israel setelah serangan Hamas pada Oktober 2023. Scholz tetap menegaskan dukungan Jerman kepada prinsip bahwa "Israel berhak membela diri", di tengah banjir kecaman dunia karena serangan brutal militer Israel terhadap warga sipil di Gaza.
Sebagai oposisi, Merz justru lebih keras mendukung Israel. Dia misalnya pernah menegaskan akan menyambut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Jerman, meskipun Netanyahu saat itu telah dikenai surat perintah penangkapan oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun setelah menjabat, Merz justru berubah arah. Beberapa hari lalu, dia mengatakan tak lagi memahami maksud dan tujuan operasi militer Israel di Jalur Gaza. Menurutnya, perang di Gaza tidak lagi mencerminkan pertahanan terhadap terorisme Hamas.
Pernyataan sekeras itu terhadap Israel belum pernah keluar dari mulut seorang Kanselir Jerman.
Michaela Küfner menyebut kritik Merz sebagai "langkah historis.” Dia tidak segan mengkritik Israel secara langsung, demi menegakkan hukum internasional. "Ini adalah nada baru dari Jerman,” ujarnya. Merz juga memulai perdebatan yang selama ini dihindari: "Sejauh mana sebenarnya tanggung jawab Jerman terhadap keamanan Israel?”
Kata belum berwujud
Namun sejauh ini, belum ada perubahan kebijakan konkret dalam hubungan Jerman-Israel. Di masa Scholz, Jerman tetap mengirimkan senjata, meski dengan pembatasan. Suplai bantuan militer kepada Israel akan terus dilanjutkan di era Merz, dan undangannya kepada Netanyahu juga belum dicabut.
Sebab itu, perubahan masih terasa sebatas gaya komunikasi, bukan substansi kebijakan. Dalam beberapa minggu ke depan, Jerman tampaknya masih akan terus menyesuaikan diri dengan gaya kepemimpinan baru sang Kanselir. Sementara itu, mantan Kanselir Olaf Scholz kini kembali menjadi anggota parlemen biasa di Bundestag, dan belum memberi komentar apa pun terkait kebijakan penerusnya.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
Diadaptasi oleh: Rizki Nugraha
Editor: Hendra Pasuhuk