Kemenangan Partai Golkar / Irak
6 Mei 2004Harian Jerman Süddeutsche Zeitung mengomentari kemenangan partai Golkar , sebagai bukti bagi tidak berfungsinya negara Indonesia. Rupanya rakyat Indonesia tidak puas dengan pemerintahan yang tidak berhasil mengatasi soal korupsi dan pengangguran. Komentarnya:
Banyak yang menamakan diri wakil rakyat memperkaya diri , dan menjalani politik yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Banyak menganggap mantan Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai tokoh yang berpeluang besar dalam pemilihan presiden mendatang di bulan Juli. Bambang Yudhoyono dianggap sebagai tokoh yang punya kemampuan, dan bersih. Namun Yudhoyono di bawah Soeharto dengan tangan besi menjalani politik Orde Baru . Kini, tampaknya, militer kembali meraih pengaruh lewat pintu belakang, karena di mata rakyat , militer berhasil menampilkan seorang tokoh demokrat yang lebih menyakinkan , ketimbang partai-partai lainnya.
Harian Die Welt mengomentari kemenangan partai Golkar juga karena ketidakpuasan rakyat terhadap penuntasan masalah korupsi , dan situasi ekonomi:
Terpilihnya kembali Megawati tampaknya tidak mungkin, karena rakyat kecewa dengan pemerintahannya, yang tidak memenuhi janjinya kepada rakyat. Kekuatan Megawati yang dulu dipuji-puji tampaknya telah pudar. Rupanya Yudhoyono punya peluang terbesar untuk menjadi presiden, yang menurut hasil angket merupakan calon favorit sekitar 30 persen rakyat Indonesia. Sementara hanya 15 persen yang akan memilih kembali Megawati. Calon presiden Golkar, mantan jendral dan menteri pertahanan Wiranto, terutama di luar negeri terkenal sebagai penjahat perang yang kejam. Bila ia terpilih, dapat merusak hubungan dengan negara-negara lain. Namun Wiranto populer di kalangan rakyat Indonesia, karena ia menjanjikan kepemimpinan yang kuat, namun peluangnya terpilih sebegai presiden kecil, sebab menurut hasil angket terakhir, ia berada jauh di belakang Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati.
Tema berikutnya: Irak.
Harian konservatif Polandia Rzeczpospolita mengulas hak asasi manusia di mata AS:
Bila orang mempercayai pendapat warga Irak, praktek penganiayaan di penjara Abu Ghraib bukanlah kasus perorangan, dan media pers kini berusaha mengungkapkan skandal berikutnya, AS dan Bush tentu masih ingat tragedi di desa My Lai di Vietnam, yang penduduknya dibunuh oleh pasukan AS. Meski para pelakunya dihukum, masyarakat internasional menjauhi diri dari AS. Itu pun dapat terjadi lagi.
Harian Italia Corriere della Sera menulis...
Serangan di Irak memperlihatkan keburukan dan kekerasan yang mungkin tidak mau diketahui oleh sebuah negara demokrasi, dan sekaligus menyentuh tema yang tidak asing bagi negara-negara barat yang menghadapi terorisme. Seperti Prancis, Italia, Jerman dan Israel. Menurut Konvensi Internasional, dan juga dari segi moral, penganiayaan terhadap para tahanan perang melanggar hukum. Namun, bagaimana kalau menghadapi tekanan kuat untuk mencegah serangan? Dengan ancaman, memaksa seorang tertuduh mengakui perbuatannya? Ataukah dengan pelecehan? Argumennya tidak dapat diterima, dan masyarakat tidak mau membicarakannya.
Sementara harian Rusia Nowaja Gaseta mengkritik partisipasi negara-negara lain dalam aksi militer di Irak:
Pasukan baru di Irak hanya dapat menjalani dua fungsi, sebagai bagian dari pasukan pendudukan atau sebagai pasukan perdamaian. Pasukan perdamaian biasanya tampil sebagai pelerai antara pidak-pihak yang terlibat konflik, mengupayakan gencatan senjata, membantu dalam perundingan dan mencegah serangan. Di Irak sedang berlangsung perang gerilya terhadap pasukan pendudukan. Warga Arab di satu pihak, AS, Inggris dan para sekutunya di pihak lain. Apakah pasukan perdamaian dari Rusia, Prancis atau Jerman harus menjadi penengah antara AS dan Arab , dan mencegah mereka saling membunuh? Itu tidak mungkin, selama penyerangnya warga Arab. Sebaliknya , panser Rusia yang menembaki pasukan AS, hanya ada di dalam film.