Kebijakan Cina 2025: Perang Tarif dan Kemandirian Teknologi
7 Maret 2025Cina telah memulai pertemuan politik dan legislatif utamanya minggu ini di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan akibat tarif baru yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump di Amerika Serikat.
Ribuan delegasi dari seluruh negeri telah tiba di Beijing untuk menghadiri sidang parlemen tahunan "Dua Sesi", sebuah pertemuan antara Kongres Rakyat Nasional (NPC), badan legislatif Cina, dan Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Cina (CPPCC), badan penasihat politik utamanya.
Para delegasi secara umum menyetujui keputusan yang telah dibuat sebelumnya oleh pimpinan Partai Komunis Cina (CCP).
Namun, acara tahunan ini tetap menjadi indikator penting untuk memahami arah kebijakan Beijing tahun ini. Tahun 2025 menjadi semakin krusial, mengingat upaya Trump untuk mengarahkan kembali perdagangan global dan arus investasi dengan memberlakukan tarif besar-besaran terhadap mitra ekonomi AS.
Dalam sesi pembukaan, Perdana Menteri Cina, Li Qiang, mengumumkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% untuk tahun 2025, meskipun menghadapi ketidakpastian global dan perlambatan ekonomi domestik.
"Sistem perdagangan multilateral sedang terganggu, dan hambatan tarif terus meningkat," kata Li dalam laporan kerjanya kepada NPC. Ia menggambarkan meningkatnya persaingan antara AS dan Cina sebagai perubahan besar yang "belum pernah terjadi selama seabad," serta menekankan bahwa kompleksitas lingkungan eksternal dapat berdampak signifikan pada perdagangan, ilmu pengetahuan, dan teknologi Cina.
Apa tanggapan Beijing terhadap tarif AS?
Pada 10 Maret, sebelum kongres "Dua Sesi" berakhir, Cina akan memberlakukan tarif tambahan sebesar 10%-15% terhadap beberapa impor dari AS, sebagai respons terhadap kebijakan serupa dari pemerintahan Trump.
"Jika perang adalah yang diinginkan AS, baik itu perang tarif, perang dagang, atau jenis perang lainnya, kami siap bertarung sampai akhir," ujar Kementerian Luar Negeri Cina pada awal minggu ini.
Namun, menurut Chenggang Xu, peneliti senior di Stanford Center on China's Economy and Institutions, dampak nyata dari langkah Cina mungkin lebih kecil dari yang diperkirakan. "Tarif aktual Trump terhadap Cina lebih rendah dari yang dijanjikannya selama kampanye, dan ia juga memberlakukan tarif terhadap sekutu-sekutu AS," kata Xu kepada DW, mengacu pada pernyataan pemimpin AS sebelumnya tentang pengenaan tarif 60% untuk barang-barang China.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Antonia Hmaidi, analis senior di Mercator Institute for China Studies (MERICS), menilai bahwa tarif AS tidak mungkin memaksa Beijing mengubah kebijakan ekonominya.
"Tarif dapat berdampak pada pertumbuhan PDB, tetapi itu bukan fokus utama Xi Jinping," ujar Hmaidi. Ia menambahkan bahwa "Beijing lebih fokus pada strategi jangka panjang dan tidak akan terpengaruh oleh isu-isu jangka pendek seperti tarif."
Upaya Cina untuk mandiri teknologi
Para analis menilai bahwa pembatasan AS terhadap akses Cina ke teknologi mutakhir, khususnya semikonduktor, akan memiliki dampak lebih besar dibandingkan tarif perdagangan.
"Kami melihat penekanan terus-menerus pada pengembangan manufaktur berteknologi tinggi dalam AI, teknologi hijau, dan bioteknologi," kata Hmaidi. Ia menilai bahwa kepemimpinan Cina masih percaya dapat unggul dalam persaingan ini.
Xu juga menyoroti bahwa fokus Cina pada sektor teknologi tinggi bukanlah hal baru. "Ini telah menjadi bagian dari rencana jangka panjang seperti 'Made in China 2025', yang sudah ada selama bertahun-tahun," ujarnya.
Inisiatif "Made in China 2025" bertujuan menjadikan Cina pemimpin global dalam manufaktur berteknologi tinggi. Meskipun istilah ini jarang digunakan Beijing dalam beberapa tahun terakhir akibat sorotan dari negara-negara Barat, kebijakan terbaru pemerintah seperti AI Plus Initiative dan Industrial Internet sangat mencerminkan keseriusan Cina dalam rencana kemandirian teknologi
Dalam laporan kerja 2025, salah satu prioritas utama adalah "melepaskan kreativitas ekonomi digital." Perdana Menteri Li menyatakan bahwa Cina akan "mendukung penerapan model AI berskala besar serta mengembangkan kendaraan energi baru yang terhubung secara cerdas, perangkat elektronik berbasis AI, dan robot pintar."
Keberhasilan terbaru perusahaan AI Cina, DeepSeek, menurut Hmaidi, semakin menguatkan keyakinan Beijing bahwa mereka berada di jalur yang benar. Namun, ia memperkirakan AS akan memperketat kontrol ekspor untuk mencegah Cina menjadi pesaing dominan di bidang AI.
Meningkatkan permintaan domestik tetap menjadi tantangan
Cina saat ini menghadapi perlambatan ekonomi akibat lemahnya permintaan domestik, pasar real estat yang lesu, serta tingginya angka pengangguran. Dalam pertemuan "Dua Sesi" ini, para pejabat membahas peningkatan konsumsi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Kami telah menetapkan rasio defisit terhadap PDB tahun ini sekitar 4%, naik satu poin persentase dari tahun lalu," kata Li. Ia juga mengumumkan peningkatan defisit pemerintah sebesar 1,6 triliun yuan (Rp3,61 kuadriliun) dibandingkan tahun sebelumnya.
Menurut Hmaidi, Cina bersiap menghadapi tantangan eksternal dengan melonggarkan kebijakan fiskal secara moderat. "Potensi tarif tambahan di masa depan menjadi salah satu alasan mengapa peningkatan konsumsi mendapat perhatian besar kali ini," katanya.
Namun, Xu menilai bahwa solusi konkret untuk membalikkan perlambatan ekonomi Cina masih kurang. "Mereka hanya membahas cara merangsang permintaan, tetapi tidak menangani masalah mendasar—yakni, rendahnya proporsi pendapatan rumah tangga dalam perekonomian," ujarnya. "Yang benar-benar dibutuhkan adalah perubahan struktural untuk meningkatkan proporsi tersebut."
Artikel ini diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris.