CDU/CSU dan SPD Umumkan Kesepakatan Pemerintahan Koalisi
9 April 2025Enam minggu setelah Pemilu Jerman, aliansiCDU/CSU dan SPD akhirnya menyepakati program pemerintah. Pemimpin CDU Friedrich Merz menyebut kesepakatan ini sebagai “sinyal awal baru” bagi Jerman.
"Kami memiliki rencana kuat yang dengannya kami dapat bersama-sama memajukan negara," kata Merz saat presentasi perjanjian pemerintah di Berlin. "Jerman akan memiliki pemerintahan yang mampu mengambil tindakan dan kuat dalam tindakannya," ditambahkannya. Merz juga mengatakan bahwa perjanjian koalisi tersebut merupakan "hasil konsultasi dan negosiasi intensif".
Dokumen kesepakatan setebal lebih dari 140 halaman tersebut dinamakan "Tanggung Jawab atas Jerman." Dengan kesepakatan ini, CDU/CSU dan SPD menyetujui pemerintahan bersama baru 45 hari setelah pemilihan federal pada tanggal 23 Februari. Para pemimpin partai, Friedrich Merz (CDU), Markus Söder (CSU), Saskia Esken dan Lars Klingbeil (keduanya SPD) hadir pada presentasi di Gedung Paul Löbe di Berlin.
Poin-poin utama perjanjian koalisi adalah reformasi dalam migrasi, ekonomi, dan pertahanan. Mengenai isu migrasi, CDU/CSU dan SPD sepakat untuk melakukan “ofensif repatriasi.” Perjanjian koalisi juga mengatur penghentian program penerimaan federal sukarela "sejauh memungkinkan." Apa yang disebut sebagai turbo naturalisasi pemerintahan sebelumnya akan dihapus.
Kesepakatan juga dicapai dalam pembagian kementerian di antara para pihak. SPD menerima tujuh kementerian, termasuk kementerian penting keuangan dan pertahanan. CDU menempati enam departemen selain dua posisi di kantor Kanselir. Selain itu, CDU akan mengambil alih Kementerian Luar Negeri untuk pertama kalinya dalam hampir 60 tahun. CSU menerima tiga kementerian, termasuk Kementerian Dalam Negeri.
Setelah kesepakatan tercapai, parlemen baru diharapkan melantik Merz sebagai kanselir pada akhir April atau awal Mei.
Terbentuknya koalisi ini semakin mendesak , karena Partai Alternatif bagi Jerman (AfD) yang berhaluan kanan dan anti imigrasi ini melonjak popularitasnya dalam jajak pendapat teranyar, dan menyalip tipis raihan suara CDU/CSU sebagai partai pemenang pemilu baru-baru ini.
Jerman menggelar pemilihan umum yang dipercepat pada bulan Februari lalu, setelah runtuhnya koalisi di bawah pimpinan Kanselir Olaf Scholz (SPD) pada bulan November.
Mengapa pemerintahan Jerman butuh koalisi?
Dalam pemilu pada tanggal 23 Februari, yang diadakan setelah pemerintahan koalisi sebelumnya yaitu SPD, Partai Hijau, dan FDP runtuh, aliansi konservatif Partai Kristen Demokrat (CDU/ Partai Kristen Sosialis (CSU) memperoleh persentase suara terbesar (28,6%).
Partai peraih suara terbesar kedua adalah partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman (AfD) dengan 20,8%. Semua partai yang ada di Jerman menolak kerja sama dengan AfD di tingkat pemerintahan.
Aliansi konservatif CDU/CSU memutuskan berkoalisi dengan SPD - yang hanya memperoleh 16,4% suara, yang dianggap merupakan cara paling praktis untuk memperoleh kursi mayoritas parlemen di Bundestag yang beranggotakan 630 orang. Paling tidak koalisi itu bisa meraup 328 kursi dari total anggota parlemen.
Ada desakan yang sangat penting dalam negosiasi tersebut, karena banyak yang berharap Jerman, ekonomi terbesar di Eropa, untuk menunjukkan kepemimpinan di saat terjadi pergolakan global dan ancaman keamanan yang besar.
Hal ini termasuk dalam urusan merespons penerapan tarif perdagangan AS yang baru pada impor Eropa, meningkatnya agresi Rusia di tengah invasi Moskow ke Ukraina, dan meningkatnya kekuatan elemen sayap kanan di Jerman dan di tempat lain di Eropa.
Artikel ini terbit pertama kali di DW Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh: Yuniman Farid
Editor: Vidi Legowo-Zipperer