Israel Jelang Pemilu
9 Februari 2009Selama ini pemimpin 'Likud', Benjamin Netanyahu yang berusia 59 tahun boleh dikatakan dapat berleha-leha karena peluangnya untuk menang dikatakan sangat besar. Baru belakangan ini jarak dengan ramalan perolehan suara bagi ketua Partai 'Kadima' Tzipi Livni, mengecil. Semakin jelas bahwa banyak pemilih juga akan memberikan suara bagi partai ultra-nasionalis 'Israel Beitenu' - yang artinya 'Israel rumah kami', pimpinan Avigdor Lieberman, seorang tokoh kontroversial.
Netanyahu memang tetap yakin, bahwa dia akan memperoleh suara paling banyak dan akan ditugaskan untuk membentuk pemerintahan, tetapi nyata pula, bahwa dia tidak dapat mengabaikan saingan beratnya itu. Partai 'Israel Beitenu' akan menjadi kekuatan ketiga di Israel, yang tadinya diduduki oleh Partai Buruh dari Menteri Pertahanan Ehud Barak. Padahal dulu boleh dikatakan hampir otomatis tokoh Partai Buruh lah yang jadi PM. Setidaknya bersaing keras dengan partai kanan Blok Likud.
Berdasarkan jajak pendapat, semakin jelas lah bahwa kemerosotan Partai Buruh terus berlanjut. Lewat Perang Gaza, Ehud Barak sebagai menteri pertahanan, berusaha menaikkan citra dirinya dan Partai Buruh yang kehilangan pamor. Tetapi perang itu merupakan bencana dari segala segi. Bukan hanya bagi penduduk di Jalur Gaza, melainkan juga bagi Israel, yang mengharapkan keuntungan di segi politik. Memang dukungan dari rakyat masih tetap ada, tetapi ketidakpuasan terhadap perang tanpa hasil yang jelas, juga semakin besar.
Hal itu dimanfaatkan oleh kubu kanan di Israel, yaitu Netanyahu dan terutama lagi Lieberman. Mereka memang tidak punya alternatif yang meyakinkan. Bahkan sikap ekstrem mereka terhadap Palestina juga tidak akan menghasilkan penyelesaian damai. Tetapi dalam soal perdamaian semakin banyak warga Israel bersikap masa bodoh. Bagi mereka perdamaian adalah hal yang mustahil, sehingga mereka mengutamakan keamanan semu yang diraih lewat kekerasan dan sikap tidak mau mengalah. Perembukan dan kompromi sudah ditinggalkan.
Itu juga diprioritaskan oleh Partai Kadima. Kalau PM Ehud Olmert dan Menlu Tzipi Livni pernah berlomba tentang politik perdamaian siapa yang lebih baik, kini mereka lebih bersaing, siapa yang lebih menjamin keamanan Israel. Baru dalam detik-detik terakhir Olmert bersedia memberikan dukungan terbuka bagi Livni. Sekarang Olmert tidak maju dalam pemilu karena adanya tuduhan korupsi, tetapi pada kesempatan berikutnya dia berharap dapat tampil kembali.
Hanya saja belum pasti, apakah nanti "Kadima" tetap eksis. Partai itu didirikan tahun 2005 ketika Ariel Sharon memerintahkan penarikan diri dari Gaza dan menyebabkan perpecahan Blok Likud. Tetapi silang pendapat yang dulu, kini tidak berarti lagi. Sehingga ada kemungkinan, setelah pemilu kali ini terjadi perujukan antara Likud dan Kadima. Walau pun hanya untuk menyisihkan kelompok radikal pimpinan Lieberman dari pemerintahan. Demikian pula ketua Partai Buruh Ehud Barak, nampaknya berusaha agar tetap menjadi menteri, sehingga akan bersedia ikut dalam koalisi mana pun.
Arena politik di Israel sudah lama terbagi dalam kubu kiri dan kanan, padahal para pemilih, lebih menganggap diri mereka berada di tengah. Kecenderungannya sekarang memang bergeser ke kanan, tetapi tidak ada satu partai pun yang mutlak unggul. Warga Israel seperti dilanda kepasrahan. Tidak ada lagi yang bicara tentang perdamaian. (dgl)