Ini Cara Orang India Menghadapi Misinformasi
22 April 2025Nidhi, seorang perempuan berusia 26 tahun asal ibu kota India, New Delhi, dulunya sangat dekat dengan pamannya. Namun, setelah sang paman mulai meneruskan pesan-pesan anti-Muslim yang berisi misinformasi dalam obrolan grup keluarga mereka, hubungan mereka jadi memburuk.
Biasanya, keduanya selalu terlibat dalam perdebatan politik yang sehat saat makan malam keluarga, tetapi unggahan-unggahan pamannya di WhatsApp menjadi "tidak dapat ditoleransi," katanya.
"Dia selalu meneruskan informasi yang jelas-jelas salah, memutarbalikkan fakta sejarah agar sesuai dengan jenis propaganda tertentu," kata Nidhi kepada DW.
Nidhi mengatakan bahwa pamannya tidak pernah buka-bukaan menunjukkan kebencian terhadap Muslim, tetapi di WhatsApp, ceritanya berbeda.
"Kami biasanya akan menegurnya dan memeriksa faktanya. Tetapi, yang kami lakukan tampaknya tidak berpengaruh apapun. Dia pernah mengirim pesan yang menyebut orang-orang dari komunitas Muslim sebagai 'penyusup' dan saya rasa sudah cukup.”
Sejak saat itu, Nidhi keluar dari obrolan grup keluarga dan tidak lagi berbaikan dengan pamannya sejak saat itu.
"Dia sebenarnya adalah seseorang yang sangat saya hormati, tetapi sulit untuk melakukannya secara langsung karena tingkah lakunya di WhatsApp," katanya.
Obrolan grup WhatsApp jadi ‘toxic'
Pemuda India lainnya, Armaan, yang berusia 19 tahun dari Mumbai, dikeluarkan dari grup keluarganya karena mengatakan ada disinformasi dari pesan-pesan yang dikirim di grup keluarganya. Ia bilang bahwa pertengkaran keluarga yang dipicu oleh pesan WhatsApp ini mulai memengaruhi mentalnya.
"Obrolan di grup itu menjadi ‘toxic'. Saya terpapar obrolan yang ‘toxic' hampir setiap hari dan itu membuat saya sangat marah," katanya.
"Di pesan-pesan itu, akan ada kalimat di akhir bertuliskan ‘diteruskan sebagaimana diterima.' Jika Anda sendiri tidak sepenuhnya yakin tentang informasi itu, mengapa Anda mengirimkannya ke orang lain? Terkadang, di akhir pesan itu juga akan ada daftar nama yang panjang untuk menunjukkan bahwa banyak orang telah memberikan persetujuan mereka terhadap keaslian informasi tersebut, dan oleh karena itu, pesan tersebut dicap pasti benar, padahal kenyataannya informasi di dalamnya hampir selalu palsu."
Misinformasi di WhatsApp
India adalah pasar WhatsApp terbesar. Ada lebih dari 530 juta pengguna Whatsapp di negara tersebut, menjadikannya salah satu platform media sosial terpopuler di berbagai kelompok umur.
WhatsApp adalah platform terkemuka untuk berita dan informasi di India. Namun, WhatsApp juga menjadi salah satu media utama penyebaran misinformasi.
"WhatsApp University” telah menjadi kata kunci dalam kosakata sehari-hari di India dalam beberapa tahun terakhir. Kata kunci tersebut sebetulnya menjadi bentuk sarkasme mengingat meluasnya penyebaran misinformasi dan berita palsu di platform tersebut.
"Ada banyak informasi atau misinformasi yang disebarkan melalui WhatsApp. Informasi adalah pendidikan. Dari mana Anda memperoleh informasi, itulah pandangan dunia Anda," ujar Pratik Sinha, salah satu pendiri situs web pemeriksa fakta India Alt News.
Jika ekosistem informasi kita benar-benar rusak, tergantung pada sumber atau grup WhatsApp-nya, maka informasi tersebut tidak akan mencerminkan "pandangan dunia nyata," tambah Sinha.
Jenis-jenis misinformasi di India biasanya berkisar dari politik dan sejarah, hingga sains dan kedokteran.
"Banyak misinformasi politik atau misinformasi sosial-politik yang ditujukan untuk menciptakan perpecahan yang ditujukan untuk menjelek-jelekkan komunitas Muslim yang telah menyebabkan polarisasi yang mendalam di masyarakat. Hal ini telah menyebabkan serangan terhadap kaum minoritas,” ujar Sinha.
Apa yang telah dilakukan WhatsApp untuk melawan misinformasi?
Krisis misinformasi pada grup WhatsApp di India pertama kali mengemuka pada tahun 2018. Saat itu, rumor penculikan anak beredar di platform tersebut, menyebabkan lebih dari selusin orang tewas dalam aksi massa.
Terjadi pula gelombang disinformasi selama pandemi virus corona. Berita palsu juga menyebar selama masa pemilihan umum di platform tersebut. Adanya kecerdasan buatan dan deep fake membuat masalah yang sudah ada makin menjadi.
WhatsApp mengatakan bahwa mereka menangani fenomena meluasnya misinformasi ini melalui beberapa pendekatan. Pendekatan yang dimaksud termasuk membatasi penyebaran berita viral dengan membatasi fitur forward atau meneruskan, membangun jaringan pemeriksa fakta di India, dan membuat kampanye untuk meningkatkan pengetahuan pengguna WhatsApp dengan memberi pemahaman tentang cara mengidentifikasi dan menghentikan penyebaran misinformasi.
"WhatsApp adalah satu-satunya layanan pesan yang secara sengaja membatasi penyebaran berita viral dengan membatasi fitur forward. WhatsApp telah memberi label pesan yang telah 'diteruskan' (forward) dan 'diteruskan berkali-kali' (forwarded many times) sehingga kita bisa mengetahui bahwa pesan tersebut tidak berasal dari kontak yang kita simpan. Batasan yang kami terapkan pada 'penerusan' (forward) telah mengurangi penyebaran 'pesan yang sering diteruskan' di WhatsApp hingga lebih dari 70%," kata juru bicara WhatsApp kepada DW.
"Pada tahun 2022, kami menambahkan batasan baru untuk meneruskan pesan di grup, di mana pesan yang memiliki label "diteruskan" hanya dapat diteruskan ke satu grup dalam satu waktu. Tidak bisa diteruskan ke lima grup bersamaan," tambah juru bicara tersebut.
Dari pernyataan tersebut, dikatakan juga bahwa saluran informasi pengecekan fakta di WhatsApp telah diluncurkan, bekerja sama dengan The Misinformation Combat Alliance, dalam upaya untuk melawan penyebaran misinformasi yang dihasilkan oleh AI di India.
"Kami juga memiliki banyak organisasi untuk mengecek fakta di Saluran WhatsApp yang bisa membantu memberikan informasi yang akurat kepada orang-orang," kata juru bicara WhatsApp.
Menyeimbangkan privasi dan kontrol
Beberapa analis mengatakan bahwa WhatsApp adalah ruang yang sulit untuk moderasi konten karena sistemnya yang dienkripsi secara menyeluruh, menyebabkan keseimbangan yang sulit muncul antara privasi dan kerugian yang disebabkan oleh misinformasi.
"WhatsApp agak terikat. Segala bentuk moderasi untuk menanggulangi masalah ini dapat disalahgunakan dan digunakan secara berlebihan ke arah yang membahayakan privasi dan merusak enkripsi. Keadaan itu bukan jadi sesuatu yang ingin mereka lakukan," kata Kiran Garimella, asisten profesor di Sekolah Komunikasi dan Informasi di Universitas Rutgers di New Jersey, kepada DW.
Garimella juga memperingatkan risiko pemerintah yang berupaya membobol enkripsi untuk mengatasi masalah ini.
"Enkripsi itu teknologi yang bagus. Kita semua harus setuju. Satu hal yang perlu diwaspadai adalah kita tidak ingin pihak yang salah, misalnya pemerintah, salah menafsirkan ini dan mengatakan bahwa ada banyak misinformasi di WhatsApp dan itulah sebabnya Anda harus membobol enkripsi di WhatsApp," tambahnya.
Bagaimana tanggapan anak muda India?
Di saat ada kesenjangan kebijakan dalam menangani masalah misinformasi di India, beberapa anak muda India mencoba menghadapi tantangan untuk mengonsumsi berita di era digital.
Salah satu tantangannya coba ditaklukan dengan permainan interaktif di atas meja karya seniman teater Karen D'Mello: "Trust Me, it's a Forward!"
Di permainan ini, para pemain berperan sebagai karakter di dunia fiksi dan menerima banyak sekali informasi. Mereka kemudian harus menavigasi pengaruh platform pesan instan, opini publik yang berubah, dan gagasan tentang kepercayaan dan kebenaran.
"Saya ingin menemukan cara yang menyenangkan untuk mengatasi masalah serius yang disebut misinformasi ini dengan cara yang lebih mendalam, karena ini adalah media digital dan tidak ada yang bisa dipercayai," kata D'Mello kepada DW.
"Saya memikirkan apa konsep sebenarnya kepercayaan di dunia digital, tempat Anda berinteraksi dengan banyak orang di internet yang mungkin Anda bahkan tidak melihat wajah mereka. Saya memikirkan peran WhatsApp, terutama gagasan tentang penerusan massal, yang merupakan fenomena besar di India dan terus berkembang," katanya.
D'Mello menambahkan bahwa dengan permainan tersebut, ia ingin menjangkau lebih dari sekadar orang-orang yang menangani misinformasi secara profesional, seperti pemeriksa fakta atau mereka yang berkecimpung dalam kebijakan dan teknologi, dan berfokus pada masalah misinformasi yang dihadapi oleh para pengguna sehari-hari.
Pakar pemeriksa fakta, Sinha, percaya bahwa misinformasi adalah masalah sosial yang lebih besar dan memerlukan solusi jangka panjang.
"Dunia ini tidak diciptakan agar 6 miliar orang dapat dengan mudah berbicara satu dengan yang lain. Hal ini menciptakan masalah yang sama sekali berbeda, dan untuk mengatasi masalah itu, Anda perlu melakukan beberapa tindakan yang terukur," katanya.
Ia menambahkan bahwa panduan arah pengembangan masyarakat menuju solusi dimulai di tingkat pendidikan sekolah.
"Sistem pendidikan kita harus memiliki komponen tentang cara melihat informasi secara kritis. Harus ada juga program agar masyarakat luas punya pengetahuan ini. Masalah ini dimulai dari atas. Tidak ada partai politik yang tertarik untuk memerangi misinformasi. Harus ada banyak pemangku kepentingan yang duduk dan berpikir tentang cara menangani masalah ini," imbuhnya.
Artikel ini pertama kali dirilis dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh : Pratama Indra
Editor : Hendra Pasuhuk