India: Modernisasi Angkatan Udara Terlambat oleh Birokrasi
11 Juni 2025Dalam sebuah kesempatan langka, Kepala Staf Angkatan Udara India (IAF) Amar Preet Singh secara terbuka mengkritik industri pertahanan dalam negeri.
Kritik itu disampaikannya dalam pertemuan tingkat tinggi antara pemerintah dan pelaku industri di New Delhi pekan lalu. Dia mengeluhkan keterlambatan pesanan dan menuntut pertanggung jawaban atas durasi pengerjaan atau janji pengiriman yang tidak realistis oleh perusahaan negara.
"Sering kali, saat menandatangani kontrak kami sudah tahu bahwa sistemnya tidak akan pernah dibuat. Tidak ada satu pun proyek yang dapat kami ingat telah selesai tepat waktu," kata Singh, mengacu pada tenggat waktu yang disepakati pada saat penandatanganan kontrak. "Mengapa kita harus menjanjikan sesuatu yang tidak dapat dicapai?" tanyanya ironis.
Dengan merujuk pada perubahan lanskap peperangan akibat kehadiran teknologi pesawat tak berawak, Singh mendesak aplikasi teknologi baru secara tepat waktu di tubuh angkatan bersenjata.
India harus rombak ekosistem pertahanan
Selama beberapa tahun terakhir, IAF acap menghadapi penundaan demi penundaan dalam pengiriman pesawat baru, terutama jet tempur multiperan buatan domestik Tejas Mk1A. Sejak dipesan tahun 2021 hingga kini, belum satu unit pun Tejas Mk1A yang dikirimkan kepada IAF.
Komentar terbaru Singh muncul usai bentrokan bersenjata teranyar antara India dan Pakistan, di mana angkatan udara India menggunakan pesawat berawak di samping drone, yang memungkinkan serangan jauh ke dalam wilayah udara Pakistan.
India dikabarkan kehilangan setidaknya satu pesawat tempurnya. Namun tidak ada konfirmasi resmi dari New Delhi, kecuali ketika kepala staf pertahanan India mengatakan kepada Reuters minggu lalu bahwa India menderita kerugian di udara, tanpa memberikan rinciannya.
Konfrontasi udara antara kedua negara nuklir merupakan respons terhadap serangan mematikan oleh penyerang Islamis yang menewaskan 26 orang, sebagian besar pria Hindu, di Kashmir yang dikelola India.
New Delhi menuding Pakistan menyokong serangan tersebut, tuduhan ini dibantah Islamabad.
Prototipe pesawat datang terlambat
Analis pertahanan mengatakan India harus menambah produksi pesawat dan mendorong modernisasi untuk menjamin kesiagaan angkatan udara.
Tapi sejak lama, sistem pengadaan pertahanan India terhambat secara kronis oleh prosedur yang rumit dan bertingkat, persyaratan yang berubah-ubah, dan negosiasi yang berlarut. Akibatnya, proyek pengadaan memakan waktu bertahun-tahun lebih lama dari yang direncanakan semula.
Tara Kartha, mantan anggota Sekretariat Dewan Keamanan Nasional, yang mengelola arsitektur keamanan nasional India, menandai lambatnya pengadaan berdampak pada kesiapan operasional militer.
"Program seperti Advanced Medium Combat Aircraft (AMCA) dan Tejas Mk-2 masih dalam tahap pengembangan, dengan prototipe fungsional diharapkan pada tahun 2028–2029, yang terlalu lambat untuk memenuhi kebutuhan mendesak," kata Kartha kepada DW.
Menurutnya, perubahan sistemik yang direncanakan oleh Perdana Menteri Narendra Modi belum berjalan, karena Organisasi Penelitian dan Pengembangan Pertahanan (DRDO) masih belum dapat menyelesaikan proyek pengadaan secara tepat waktu.
"Sudah saatnya angkatan pertahanan memiliki kader terpisah untuk pengadaan dan pengembangan guna mengoptimalkan efisiensi dan menghindari hambatan," tegas Kartha.
Saat jet Rusia mulai menua
Purnawirawan Letnan Jenderal Deependra Singh Hooda, yang sempat ditugaskan mengawal perbatasan dengan Pakistan dan Cina, menunjuk pada ancaman yang terus berkembang di kawasan tersebut sebagai alasan urgensi dalam pengadaan dan modernisasi militer.
"Kepala staf angkatan udara benar sekali. Armada pesawat tempur telah menyusut secara signifikan karena keterlambatan pengiriman pesawat tempur dalam negeri," kata Hooda kepada DW.
"Beberapa keputusan sulit sekarang harus diambil, termasuk mempertimbangkan pembelian asing untuk memastikan bahwa angkatan udara memiliki kemampuan yang memadai untuk menghadapi tantangan di masa depan. Sementara itu, kita perlu melihat melampaui unit sektor publik untuk memberi energi pada sektor swasta," katanya.
IAF saat ini mengoperasikan 31 skuadron tempur, jauh di bawah kekuatan yang disetujui yaitu 42. Mengingat skuadron biasanya memiliki sekitar 18 hingga 20 pesawat, kekurangan 11 skuadron akan berjumlah sekitar 200 jet tempur. Kekurangan ini disebabkan oleh pensiunnya pesawat tua seperti MiG-21, MiG-23, dan MiG-27 pada tahun 2000-an dan 2010-an tanpa penggantian yang memadai.
Proses pengadaan untuk pesawat tempur multiperan Rafale buatan Prancis relatif lebih cepat dan lancar dibandingkan banyak kesepakatan pertahanan lain. Pada tahun 2016, India akhirnya menandatangani kesepakatan antarpemerintah dengan Prancis untuk membeli 36 jet Rafale.
Mantan Marsekal Udara Raghunath Nambiar menunjukkan bahwa kemampuan IAF untuk memproyeksikan kekuatan, mencapai dominasi udara, dan memberikan serangan presisi terbukti penting selama perang baru-baru ini
"Peristiwa selama 90 jam tersebut menggarisbawahi peran penting dan menentukan Angkatan Udara India. Operasi itu adalah penerapan kekuatan udara yang berkelanjutan dan berdampak, yang menargetkan infrastruktur dan kemampuan musuh yang kritis," kata Nambiar kepada DW.
Pada saat yang sama, konfrontasi udara melawan Pakistan juga menyoroti pengaruh teknologi militer Cina yang semakin besar. Pakistan dilaporkan menggunakan jet tempur J-10C buatan Cina dan rudal udara-ke-udara jarak jauh PL-15.
Pengerahan ini telah menarik perhatian global, terutama dari AS dan negara-negara Barat, karena hal itu menandai kemampuan alutsista buatan Cina yang semakin maju dalam peperangan udara.
Meningkatkan manufaktur di dalam negeri
Konark Rai, direktur pelaksana Rudram Dynamics, perusahaan rintisan pertahanan mengatakan, bentrokan baru-baru ini bukan hanya ujian bagi angkatan bersenjata India, tetapi juga ujian stres bagi industri pertahanannya.
"Ketika perang atau keadaan darurat nasional terjadi dan produksi massal tiba-tiba dibutuhkan, perusahaan-perusahaan ini goyah. Bukan karena kurangnya upaya atau inovasi, tetapi karena sistem tempat mereka beroperasi tidak memberdayakan mereka, untuk meningkatkan skala sesuai permintaan," kata Rai kepada DW.
Rai mengatakan, saatnya telah tiba untuk reformasi struktural. "Pertama, sistem L1 atau penawar terendah yang kuno dan uji coba Tanpa Biaya Tanpa Komitmen (NCNC) harus dipikirkan kembali," kata dia, mengacu pada proses dalam akuisisi pertahanan di mana pemerintah tidak menanggung biaya uji coba atau berkomitmen untuk membeli produk setelah uji coba.
Meskipun mengakui uji tuntas diperlukan, Rai menunjukkan bahwa menggelar uji coba tanpa komitmen sangat berisiko dan mahal. Dia mengklaim proses tersebut membuat perusahaan, terutama yang kecil dan menengah, enggan berkontribusi pada pengadaan alat pertahanan.
"Pendekatan yang lebih baik bagi pasukan pertahanan adalah, untuk secara proaktif mencari teknologi di seluruh negeri bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat, daripada hanya dengan lembaga-lembaga penting nasional," tambahnya.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor:Agus Setiawan