IHSG Anjlok Usai Tarif Trump, Risiko Resesi Global Meningkat
8 April 2025IHSG anjlok 9,19% ke 5.912,06 saat pembukaan Selasa (08/4), usai libur Lebaran. Ini terjadi akibat kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menetapkan tarif 32% untuk impor dari Indonesia.
Sepanjang tahun ini, IHSG sudah turun lebih dari 16%. Dari 626 saham yang diperdagangkan, hanya 9 saham naik, sisanya turun atau stagnan.
Melihat kondisi ini, BEI menyiapkan langkah darurat seperti trading halt (jeda perdagangan) dan batas Auto Rejection Bawah (ARB) hingga 15%. "Trading halt selama 30 menit apabila IHSG turun lebih dari 8%,” kata Sekretaris BEI, Kautsar Primadi.
Jika penurunan berlanjut lebih dari 15%, perdagangan akan dihentikan lagi. Penurunan di atas 20% bisa membuat pasar disuspensi, setelah persetujuan dari OJK.
Anjloknya IHSG mengikuti tren global. Kejatuhan pasar keuangan global berlanjut untuk hari ketiga pada Senin (07/4). Investor semakin gugup terhadap prospek perang dagang yang lebih luas, yang kemungkinan akan memicu resesi global.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Mereka mengatakan bahwa tarif tersebut berpotensi membawa dampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi dunia, melalui kenaikan besar dalam biaya produksi, turunnya kepercayaan bisnis, volatilitas pasar, dan gangguan rantai pasok.
Trump diduga memperparah penurunan saham lebih lanjut di Asia, Eropa, dan AS pada awal pekan ini dengan mengatakan bahwa para investor harus "bersabar" menghadapi aksi jual pasar untuk sementara waktu.
"Kadang-kadang, kita harus minum obat untuk memperbaiki sesuatu,” kata Trump kepada wartawan di atas AirForce One pada Minggu malam.
Resesi global di depan mata?
JP Morgan memperkirakan peluang resesi global kini mencapai 60% di akhir 2025, naik dari 40% sebelum tarif besar-besaran diumumkan Trump. Deutsche Bank menyebut tarif baru ini akan membawa "implikasi global yang sangat besar untuk 2025 dan tahun-tahun ke depan.”
Asia terdampak paling parah, dengan bea masuk lebih dari 40% di beberapa negara kunci. Vietnam, Taiwan, dan Indonesia pun segera menjajaki kesepakatan dagang baru dengan AS.
Cina satu-satunya negara besar yang membalas dengan tarif tambahan 34% atas barang AS, serta membatasi ekspor logam tanah jarang. Tarif ini mulai berlaku Kamis (03/4). Trump mengancam menambah tarif 50% lagi jika Cina tak menarik kebijakannya.
India yang dikenai tarif 26%, memilih tak membalas. Sebaliknya, India menurunkan tarif impor dari AS dan menjadi salah satu negara pertama yang mencari kesepakatan baru dengan Washington usai kunjungan PM Modi ke Gedung Putih.
Sementara itu, impor Uni Eropa ke AS akan dikenai tarif 20% mulai Rabu (09/04). Sebagai balasan, UE merencanakan tarif €26 miliar (sekitar Rp451 triliun) atas produk AS.
"Brussels siap membela kepentingannya dengan tindakan balasan yang proporsional,” ujar Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, sambil menegaskan komitmen UE untuk tetap berunding.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Proyeksi ekonomi EU yang lesu
ABN Amro, salah satu bank besar di Belanda, memangkas separuh proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara Uni Eropa (UE). Mereka memprediksi pertumbuhan per-kuartal akan "berputar di sekitar nol, bahkan mungkin negatif."
Namun, ada sedikit harapan. Dua penasihat Trump menyebut lebih dari 50 negara telah menghubungi AS untuk menjalin kesepakatan dagang baru.
Paul Ashworth dari Capital Economics menilai Trump mungkin segera menyadari langkahnya terlalu ekstrem. "Langkah paling mungkin berikutnya adalah Trump akan segera mengumumkan beberapa ‘kesepakatan' yang mengurangi tarif balasan… Cina mungkin menjadi pengecualian,” tulisnya.
CEO JPMorgan Chase, Jamie Dimon, mengingatkan, "Semakin cepat masalah ini diselesaikan, semakin baik, karena dampak negatifnya bisa menumpuk dan sulit dibalik.”
Bencana ekonomi AS yang "dibuat sendiri”
Ekonomi AS telah tumbuh hampir 3% rata-rata sejak berakhirnya pandemi COVID-19, tetapi kini menghadapi apa yang disebut lembaga riset Morningstar sebagai "bencana ekonomi yang dibuat sendiri" akibat tarif Trump.
S&P Global meningkatkan kemungkinan resesi AS menjadi 30% hingga 35%, naik dari 25% pada Maret. Sementara itu, Goldman Sachs menaikkan peluang resesi AS dalam satu tahun ke depan menjadi 45%, dan Barclays serta UBS juga memperingatkan bahwa ekonomi AS bisa mengalami kontraksi dalam beberapa bulan mendatang.
Steve Cochrane, kepala ekonom Asia-Pasifik di Moody's Analytics, memperingatkan pada Senin (07/4) bahwa AS bisa jatuh ke dalam resesi "dengan sangat cepat" dan itu bisa menjadi resesi yang "cukup panjang."
Capital Economics memperingatkan bahwa jika Trump tidak bersedia membuat kesepakatan dengan mitra dagang AS, gejolak di pasar saham akan segera diikuti oleh "runtuhnya kepercayaan konsumen dan bisnis."
Lembaga riset ekonomi yang berbasis di Inggris itu juga memperingatkan bahwa inflasi AS bisa melonjak di atas 5% dan resesi akan semakin parah jika Kongres AS "gagal meloloskan stimulus fiskal tepat waktu akibat konflik internal Partai Republik."
Kebijakan Trump guncang ekonomi Cina
Kebijakan tarif tinggi Presiden Trump diperkirakan akan menghambat ekonomi Cina, mengganggu ekspor, dan memicu volatilitas pasar. Pemerintah Cina pun diprediksi akan merespons dengan kebijakan moneter dan fiskal untuk meredam dampaknya.
Media resmi Partai Komunis, People's Daily, berusaha menenangkan publik, menyatakan bahwa "langit tidak akan runtuh... meskipun tarif AS membawa dampak.”
Kementerian Luar Negeri Cina mengutuk kebijakan tarif Trump sebagai bentuk "perundungan ekonomi” dan tindakan yang "tidak sesuai dengan aturan perdagangan internasional,” serta menyerukan penyelesaian damai dan saling menguntungkan.
Namun, juru bicara Kemenlu Lin Jian tidak menjawab saat ditanya apakah Presiden Xi akan bertemu Trump untuk membahas perang dagang. Trump sendiri menolak negosiasi hingga defisit perdagangan AS–Cina diselesaikan. Pemerintah AS menyebut tarif sebagai langkah penting untuk mengatasi ketidakseimbangan dagang.
Artikel ini terbit pertama kali di DW Bahasa Inggris, dengan tambahan laporan dari Indonesia.