Hubungan UE Rusia dan Presiden Baru Pakistan
8 September 2008Surat kabar Denmark Politiken yang terbit di Kopenhagen mengomentari dampak konflik antara Georgia dan Rusia pada politik keamanan Uni Eropa.
Krisis di Georgia merupakan titik balik politik luar negeri. Krisis ini menunjukkan bahwa setelah Uni Soviet runtuh, sistem keamanan yang dulunya berlaku tak lagi eksis. Penyebab utamanya adalah perubahan rezim Putin yang makin otoriter dan keinginan untuk meraih kembali legitimitas Rusia sebagai negara adidaya. Terlepas dari pertanyaan apakah kesalahan utama terletak pada negara barat yangg tidak mememuhi semua janjinya atau pada hubungan Rusia dengan negara tetangganya yang sarat konflik - konsekuensi konflik Kaukasus adalah ambruknya arsitektur keamanan yang ada. Saat ini, tidak ada harapan munculnya dinamika politis Rusia akibat reformasi intern seperti yang terjadi di akhir perang dingin. Kita kembali pada tatanan politik di mana konflik luar negeri terpaksa diselesaikan dengan kebijakan luar negeri pula. Artinya, harus ditemukan titik tolak bersama yang dapat diterima pihak yang bertikai. Berlandaskan titik tolak ini suatu solusi bersama dapat dicari dan bukan didikte oleh salah satu pihak.
Surat kabar Prancis Libération menyoroti hubungan Uni Eropa dan Rusia di masa mendatang:
Tidak ada elemen yang lebih mendukung persatuan daripada adanya musuh bersama. Tampaknya, hal ini juga mulai berlaku bagi ke-27 anggota Uni Eropa. Uni Eropa yang kerap diejek sebagai tidak berdaya dan jauh dari inti permasalahan dipaksa oleh sikap agresif Rusia untuk mengambil alih peran penting dalam menyelesaikan konflik Georgia. Kini Uni Eropa bicara dengan satu suara dan diwakili pemegang kepresidenan Uni Eropa Nicolas Sarkozy yang mendapat mandat jelas. Dengan begitu, Uni Eropa kali ini berpeluang menentukan sendiri nasibnya.
Harian Prancis L'est Républicain mempertanyakan peluang Presiden Sarkozy meredakan konflik Kaukasus dalam lawatannya ke Moskow.
Dapatkah Sarkozy memenangkan taruhannya di Mosokow. Bagi Troika perunding yang mewakili Uni Eropa, yaitu Presiden Sarkozy, Presiden Komisi Eropa Barosso dan diplomat tinggi Uni Eropa Solana, yang akan bertemu petinggi politik Rusia hari ini, taruhan politiknya cukup tinggi. Agenda pembicaraannya adalah menurunkan ketegangan di kawasan Kaukasus dan hubungan baru antara Eropa dan Rusia. Memang tidak ada kepastian mengenai jalannya perundingan, tapi setidaknya langkah pertama menuju satu solusi dapat dilanjutkan. Sebagai pemegang kursi kepresidenan Uni Eropa, Sarkozy berhasil menyelaraskan posisi ke-27 anggota Uni Eropa. Mungkin, sebagai sahabat dan sekutu Amerika Serikat, Sarkozy berhasil meyakinkan para mitra, sementara sikap pragmatisnya memungkinkan Sarkozy menjaga hubungan dengan beruang Rusia.
Topik lain yang diangkat media internasional adalah penetapan Asif Ali Zardari sebagai presiden baru Pakistan. Harian Spanyol ABC menurunkan tajuk yang berjudul: Pakistan akan menghadapi masa-masa kelam.
Bila menyoroti kemampuan politik presiden baru Pakistan maka harus diakui, Asif Ali Zardari adalah politisi yang licin. Selama bertahun-tahun Zardari hidup dalam bayang-bayang istrinya Benazir Bhutto, nama Zardari dikaitkan dengan kriminalitas dan korupsi, tapi kini ia akan menjabat presiden Pakistan. Banyak pihak mengharapkan, Zardari akan menjadi sekutu baru bagi barat di kawasan itu.
Kelompok teroris mengerti sepenuhnya hal ini dan bereaksi dengan melancarkan sejumlah serangan. Pakistan akan menghadapi masa yang sulit. Dari dulu, negara ini dianggap sebagai bagian solusi bagi beragam konflik di kawasan ini. Tapi, kadang-kadang juga terlihat bahwa Pakistan terlibat dan merupakan bagian konflik yang ada.(zer)