Harga Kakao Melambung, Petani Malah Merana
1 April 2025Oliver Coppeneur, seorang produsen cokelat asal Bad Honnef, Jerman, yang telah berkecimpung dalam dunia cokelat sejak tahun 1990-an, tengah menghadapi tantangan besar akibat kenaikan harga bahan utama kreasi camilannya: Kakao.
Tahun lalu, ia terpaksa menaikkan harga cokelatnya, hal serupa dilakukan oleh banyak pembuat cokelat lainnya di seantero jagad raya.
Harga kakao di pasar dunia melambung tinggi pada akhir 2024, hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Lonjakan tajam ini memberi tekanan besar pada industri cokelat global, mempengaruhi produsen, konsumen, dan petani kakao.
Coppeneur mengatakan kepada DW bahwa lonjakan harga kakao saat ini akan membuat "produk cokelat menjadi semakin mahal," yang pada akhirnya dapat mengakibatkan "penurunan signifikan dalam volume" di pasar.
Namun hingga saat ini, ia tetap bertahan tanpa harus memberhentikan sebagian tenaga kerjanya, dan berusaha menjaga harga cokelat tetap stabil. Lantas, mengapa harga kakao bisa melonjak begitu cepat?
Sekitar 65% biji kakao dunia berasal dari empat negara di Afrika Barat—Pantai Gading, Ghana, Nigeria, dan Kamerun.
Biang keroknya virus dan perubahan iklim
Lonjakan harga kakao kali ini berakar dari kekurangan biji kakao yang sangat besar.
Panen yang menghancurkan pada 2024 melanda perkebunan di seluruh Afrika Barat. Penyebabnya adalah penyakit yang disebut "cocoa swollen shoot virus" (CSSV), yang menyebar dari pohon ke pohon dan dapat mengurangi hasil panen hingga 50% hanya dalam dua tahun.
Laporan dari Organisasi Kakao Internasional menunjukkan bahwa 81% perkebunan di Ghana—penghasil kakao terbesar kedua setelah Pantai Gading—terinfeksi CSSV. Karena penyakit ini juga menyebar di Pantai Gading, maka sekitar 60% produksi kakao dunia terpengaruh.
Selain itu, organisasi nirlaba media Amerika, Climate Central, melaporkan bahwa "perubahan iklim menyebabkan suhu yang lebih panas menjadi lebih sering" di tempat-tempat seperti Pantai Gading, Ghana, Kamerun, dan Nigeria.
Sebuah studi dari outlet ilmiah yang berbasis di Princeton, New Jersey, menunjukkan bahwa suhu di atas 32°C (90°F) dapat mengurangi kualitas dan kuantitas hasil panen, yang menyebabkan panas berlebih berdampak buruk pada wilayah penghasil kakao utama.
Selain itu, fenomena cuaca El Nino menyebabkan musim hujan di Afrika Barat tahun lalu lebih basah dari biasanya, yang semakin menurunkan hasil panen kakao.
Harga tinggi, keuntungan lebih tinggi
Mengutip data resmi pemerintah, agensi berita Bloomberg melaporkan bahwa "setidaknya dua belas perusahaan pembuat cokelat yang dimiliki keluarga di Eropa - gulung tikar" pada tahun 2024.
Pengecer permen asal Jerman, seperti Arko, Hussel, dan Eilles, mengajukan permohonan perlindungan atas kebangkrutan pada 2024.
Sementara itu, kekurangan kakao juga dirasakan langsung oleh konsumen Eropa, dengan harga cokelat naik 35% sejak 2020. Namun, Friedel Hütz-Adams, seorang peneliti di SÜDWIND Institute di Bonn, Jerman, mengatakan bahwa produsen cokelat Eropa "umumnya mampu membebankan kenaikan harga kakao."
"Keuntungan mereka yang stabil tahun lalu menunjukkan bahwa setidaknya perusahaan besar berhasil mengatasi harga tinggi... dan dalam beberapa kasus bahkan berhasil meraih keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya," paparnya kepada DW.
Pembuat cokelat asal Swiss, Lindt & Sprüngli Group, mengatakan pada Januari bahwa mereka menghadapi "tahun yang penuh tantangan dengan biaya kakao yang mencapai rekor tertinggi, kenaikan harga yang substansial, dan melemahnya sentimen konsumen."
Mereka menambahkan bahwa untuk mengimbangi tingginya biaya kakao, mereka harus "menyesuaikan harga," dan akan terus melakukannya pada tahun ini.
Apakah generasi mendatang masih bisa menikmati cokelat?
Clay Gordon, pencipta TheChocolateLife—komunitas daring untuk "pecinta cokelat & calon pecinta cokelat"—menyatakan dalam sebuah email: "Cokelat secara historis telah menjadi makanan yang tahan resesi."
Ia menulis di situs platform tersebut bahwa "orang membeli cokelat untuk membuat diri mereka bahagia."
Hütz-Adams dari SÜDWIND setuju, dan mengatakan bahwa "penjualan yang relatif stabil" saat ini menunjukkan bahwa "pelanggan mampu mengatasi harga yang lebih tinggi dan terus membeli cokelat."
Namun, ia mencatat bahwa selama bertahun-tahun, sebagian besar petani di Afrika Barat "hampir tidak memiliki sumber daya untuk menerapkan praktik pertanian yang baik," yang mengakibatkan penurunan hasil panen per hektar.
Harga kakao yang terus rendah pada tahun-tahun sebelumnya, katanya, menyebabkan para pekerja sering kali tidak dibayar dan tingginya jumlah pekerja anak.
"Pelanggaran hak asasi manusia yang masif menjadi hal biasa dan bisa berkurang di masa depan berkat harga yang lebih tinggi," tambah Hütz-Adams.
Pembuat cokelat Oliver Coppeneur juga berpendapat bahwa harga kakao yang begitu rendah selama bertahun-tahun membuat petani tidak memiliki sumber daya untuk meningkatkan hasil mereka.
Seperti ahli industri lainnya, ia memperingatkan bahwa tanpa investasi dalam peningkatan hasil panen dan tanaman yang tahan terhadap perubahan iklim, fluktuasi harga kakao akan tak terhindarkan di masa depan.
"Generasi petani mendatang harus bertanya pada diri mereka sendiri: 'Apakah kami ingin melanjutkan pekerjaan ini, apakah kami ingin tetap bekerja di perkebunan?'" ujar Coppeneur, seraya memungkaskan keluh kesahnya bahwa jika perusahaan cokelat tidak berinvestasi pada petani kakao, "kita tidak perlu terkejut jika pada generasi berikutnya tidak lagi ada (cokelat) yang tersisa."
Diadaptasi dari artikel DW bahasa Inggris.