GriefTalk: Ruang Aman Mengurai Duka
19 Agustus 2025Sore menjelang malam di sebuah mal di kawasan TB Simatupang, Jakarta. Ada belasan orang duduk melingkar di sebuah ruangan co-working space. Tak ada meja, tak ada pengeras suara. Dalam pertemuan yang diberi nama Let's Talk Grief, satu per satu orang mulai berbicara.
Seorang perempuan paruh baya bercerita soal kehilangan suami empat tahun lalu. Perempuan muda lain menceritakan kepergian pacarnya secara mendadak saat pandemi COVID-19. Ada juga seorang lelaki yang baru saja putus dari pacarnya, berusaha keluar dari dukanya.
Tisu berpindah dari tangan ke tangan. Tak ada interupsi, tak ada komentar yang memotong. Kadang terdengar tawa kecil di tengah cerita getir, tapi tidak ada yang menganggapnya aneh. Di sini, semua emosi dibolehkan.
Di lingkaran itu duduk Ega sebagai fasilitator. Dulu, Ega juga pernah menjadi peserta. Merasa asing dan enggan membuka diri. Kini, perempuan 39 tahun itu menjadi salah satu bagian dari komunitas GriefTalk.
"Di akhir 2019, gue (saya) kehilangan kakak. Tahun 2020, anak gue meninggal. Sebelumnya, di usia 16, gue kehilangan papa, setahun kemudian mama," kata Ega. "Dulu gue merasa enggak berhak sedih. Yang orang lihat mungkin gue ketawa-ketawa. Dalamnya? Hancur banget."
Emosi yang terpendam baru terasa saat Ega kehilangan anak keduanya. Ada kemarahan yang bergejolak karena merasa hidup terasa tak adil.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Duka-duka ini berdampak nyata pada keseharian Ega, termasuk hubungan dengan pasangan dan orang sekitarnya. Ia pun sempat didorong untuk menemui psikolog dan akhirnya belajar mengurai perasaannya.
Pencarian itu juga yang membawanya ke GriefTalk. Pada awal 2021, di masa pandemi, Ega ikut sesi online. Awalnya, ia memilih diam dan mendengarkan. Baru pada pertemuan kedua, Ega mulai berani bercerita.
"Ketemu GriefTalk itu rasanya kayak pejalan haus yang tiba-tiba nemu sumber air. Semua perasaan boleh muncul, apakah itu marah, sedih, kangen, tanpa ada yang bilang lebay," ujarnya kepada DW Indonesia.
Di sesi Let's Talk Grief, hampir tak ada kata "sabar" atau "move on" yang menekan. Peserta boleh diam, mendengar, atau bercerita. Pelukan atau diam bersama ternyata lebih menenangkan daripada kata-kata.
Pengalaman itu membuka mata Ega bahwa ia tidak sendiri. Banyak orang merasakan kehilangan sedalam perasan Ega.
Ruang berduka yang jarang ada
GriefTalk lahir pada 2020 dari inisiatif Nirasha Darusman, yang mengalami kehilangan empat anggota keluarga dalam tujuh tahun. Pengalaman itu mengubah hidupnya hingga ia menemui psikolog dan didiagnosis mengalami depresi ringan, kecemasan, dan Prolonged Grief Disorder.
"Dari 2007 sampai 2014, aku ternyata belum benar-benar memproses berduka. Mungkin enggak tahu caranya, karena tidak ada kursus melewati duka," ujar Nira, sapaan akrabnya.
Menyadari kebutuhan dukungan dari sesama penyintas duka dan ketiadaan kelompok serupa di Indonesia, Nira dan teman-temannya mendirikan GriefTalk pada 2020. Tepat saat pandemi meningkatkan rasa kehilangan di masyarakat. Tidak hanya soal kehilangan akibat kematian, kini mencakup duka untuk semua bentuk kehilangan.
Kalau kita kehilangan seseorang, selamanya kita akan berduka. Bukan berarti menangis setiap hari, tapi kita akan naik turun dalam grief waves. Terus kita harus ngapain? Di sinilah peer support group hadir, tempat bercerita tanpa dihakimi," jelas Nira.
"GriefTalk tidak menggantikan psikolog, tapi jadi jembatan. Kalau sudah dirasa perlu, silakan lanjut ke psikolog. Di sini, orang bisa latihan dulu untuk membuka diri," tambah Nira.
Lewat media sosial @GriefTalk.id, komunitas ini juga mengedukasi publik. "Kami tidak ingin mengglorifikasi kesedihan. Justru setelah bisa mengurai duka, peserta harus tahu langkah berikutnya," kata Nira.
Mengurai stigma dan edukasi duka
Kehilangan adalah bagian dalam hidup. Selama ini, banyak orang memandang duka sebagai sesuatu yang harus cepat dilalui karena dianggap negatif. GriefTalk ingin mengubah cara pandang itu.
"Terkadang kita dituntut cepat bangkit, melihat sisi positif. Itu enggak salah, tapi ada step yang hilang: mengakui perasaan. Padahal memvalidasi rasa itu bagian dari healing journey," kata Nira.
Hal itu juga yang dirasakan Ega. Baginya, pertemuan di komunitas ini bukan sekadar momen untuk menceritakan rasa kehilangan, tetapi ruang untuk memproses perasan.
"Yang paling nyebelin adalah orang anggap move on artinya melupakan dan enggak nangis lagi. Padahal move on bukan menutup lubang kehilangan. Lubang itu tetap ada, tapi hati kita lebih besar untuk berdampingan dengan duka," ujarnya.
"Kalau sedih datang, izinkan. Kalau rindu datang, terima. Saat kita mengenang dan menceritakan legacy seseorang, itu juga bagian dari move on."
GriefTalk memang tidak menawarkan "cara cepat sembuh dari berduka." Mereka menawarkan sesuatu yang disebut Ega sebagai "teman perjalanan dalam berduka," tanpa memaksa untuk cepat-cepat pulih.
Bagi sebagian orang, ruang seperti ini adalah jeda dari dunia yang selalu menuntut tegar. Bagi Ega, jeda itu adalah napas panjang pertama setelah lama menahan sesak.
Karena pada akhirnya, berduka adalah perjalanan yang unik. Kadang, yang dibutuhkan hanyalah satu lingkaran kursi, satu kotak tisu, dan orang-orang seolah berkata: "Kamu tidak sendirian."
Karena berduka, seperti yang sering diucapkan dalam setiap sesi, adalah kepanjangan dari rasa cinta yang dalam.
Editor: Arti Ekawati