Gelombang Protes di Turki Melawan "Tirani" Erdogan
31 Maret 2025Apakah penangkapan Wali Kota Istanbul, Ekrem Imamoglu, menjadi pemicu utama gelombang protes? Akhir pekan ini, jutaan orang turun ke jalan di Turki untuk menunjukkan kemarahan mereka terhadap pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan.
"Kami berjuang bukan hanya untuk Ekrem, tetapi untuk Turki," ujar Dilek Imamoglu, istri politisi oposisi yang dipenjara itu, dengan mata berkaca-kaca.
"Kita harus saling menguatkan, kita adalah keluarga besar dengan 86 juta orang. Keadilan tidak bisa dipenjara."
Kondisi ekonomi yang semakin memburuk
Seorang pengunjuk rasa lanjut usia menyoroti krisis ekonomi: "Orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat turun ke jalan. Salah satu alasannya adalah kondisi 'dapur' yang semakin sulit."
Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun membuat kehidupan semakin sulit bagi banyak orang di Turki. Inflasi yang meningkat dan biaya sewa yang tinggi semakin membebani rakyat.
Menurut Institut Statistik Turki (Tuik), tingkat inflasi tahunan mencapai 42% pada Januari tahun ini. Selain itu, nilai tukar lira Turki terus merosot. Banyak orang tua dan pensiunan tidak lagi mampu membayar biaya sewa rumah mereka.
Hampir 2.000 orang ditangkap
Aksi demonstrasi pada Sabtu lalu (29/03) diserukan oleh Partai Rakyat Republik (CHP), partai tempat Imamoglu bernaung. Para demonstran menuduh Erdogan menggunakan sistem peradilan untuk menyingkirkan Imamoglu secara politik.
Sejak protes dimulai setelah penahanan Imamoglu pada 23 Maret, total 1.900 orang telah ditangkap, menurut Kementerian Dalam Negeri Turki. Mayoritas yang ditangkap adalah mahasiswa.
Sejumlah jurnalis juga ditahan, termasuk reporter Swedia Kaj Joakim Medin dari surat kabar harian Dagens ETC, yang ingin melaporkan demonstrasi di Istanbul. Sebelumnya, koresponden BBC Mark Lowen juga ditahan.
"Perjuangan ini untuk Turki," ujar pemimpin CHP, Özgür Özel, dalam unjuk rasa yang menurutnya dihadiri lebih dari dua juta orang. Sementara itu, Presiden Erdogan menyebut para demonstran sebagai "kelompok marginal."
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Lagu kebangsaan sebagai simbol persatuan
Meskipun Ramadan baru saja berakhir, masyarakat tetap berbondong-bondong ikut serta dalam protes.
"Saya berusia 85 tahun dan belum pernah mengalami penindasan seperti ini," ujar seorang perempuan kepada DW.
"Saya di sini untuk republik, untuk Atatürk, untuk kedamaian rakyat, untuk masa depan yang lebih baik, dan keluar dari kemiskinan," tegasnya.
Para demonstran menyanyikan lagu kebangsaan Turki sebagai simbol persatuan mereka. Selain bendera Turki dan spanduk CHP, ada juga bendera dari partai politik pendukung, serikat pekerja, dan organisasi masyarakat sipil. Mahasiswa, pensiunan, pekerja, guru, bahkan pegawai negeri turut serta dalam demonstrasi.
"Kami diperlakukan tidak adil," ujar seorang siswa berusia 17 tahun yang ikut protes bersama ayah dan kerabatnya.
"Masa depan kami direnggut, masa muda kami hilang. Itulah alasan saya ada di sini," tambahnya.
Beberapa partai politik lain juga bergabung dalam aksi ini, termasuk Partai DEM yang pro-Kurdi.
"Kami berjuang untuk kebebasan Ekrem Imamoglu, Selahattin Demirtas, Figen Yuksekdag, dan semua tahanan politik," ujar seorang anggota partai tersebut kepada DW.
"Kami juga berjuang untuk kebebasan mahasiswa yang dipenjara," ujarnya.
Satu hal yang tampak pasti, demonstrasi besar-besaran ini menjadikan 2025 sebagai tahun yang bersejarah bagi Turki. Dua puluh dua tahun setelah Erdogan pertama kali menjabat sebagai Perdana Menteri pada 2003, perjuangan untuk demokrasi dan supremasi hukum kembali berkobar di negara itu.
Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris