Energi Nuklir: Opsi Asia Tenggara di Tengah Keraguan Publik
2 April 2025Satu-satunya pembangkit listrik tenaga nuklir di Asia Tenggara terletak di Provinsi Bataan di Filipina, sekitar 64 kilometer dari ibu kota, Manila.
Dibangun pada 1970-an, fasilitas Bataan tidak pernah dibuka karena ketidakstabilan politik pada akhir masa pemerintahan diktator Ferdinand Marcos, serta setelah bencana Chernobyl di Ukraina pada tahun 1986 yang menewaskan sedikitnya 30 orang dan menyebarkan radiasi ke sebagian besar belahan bumi utara.
Namun kini, di bawah pemerintahan putra diktator tersebut, Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr., Filipina mulai mempertimbangkan tenaga nuklir sebagai solusi untuk memenuhi permintaan energi yang berkembang pesat, sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).
Pada Februari, Menteri Energi Filipina, Raphael Lotilla, mengatakan negaranya "sedang membuka jalan untuk program energi nuklir yang aman, berkelanjutan, dan bertanggung jawab untuk memastikan masa depan energi bangsa."
Mengapa tenaga nuklir?
Filipina dan Indonesia memimpin dalam ketergantungan pada batu bara di Asia Tenggara, menurut lembaga pemikir energi Ember yang berbasis di London, yang menunjukkan bahwa Filipina adalah negara paling bergantung pada batu bara di Asia Tenggara pada 2023. Mengingat dorongan global untuk mengurangi emisi GRK, daya tarik tenaga nuklir menjadi jelas.
Energi nuklir sendiri menghasilkan hampir nol karbon dioksida atau gas rumah kaca, serta polutan lain yang terkait dengan pembakaran gas atau batu bara.
Filipina bertujuan untuk secara bertahap mengintegrasikan tenaga nuklir ke dalam campuran energi mereka. Dimulai dengan target kapasitas 1.200 megawatt (MW) pada tahun 2032, negara ini berharap tenaga nuklir dapat menyediakan 4.800 MW pada 2050.
Namun, aktivis lingkungan meragukan logika pendekatan ini. Tenaga nuklir memerlukan uranium, sumber daya terbatas yang harus ditambang dan dikirim, yang semuanya menghasilkan emisi karbon, kata Derek Cabe dari Gerakan Nuklir dan Bebas Batu Bara Bataan kepada DW.
"Narasi 'bersih' itu salah. Itu hanya kepura-puraan, [...] energi nuklir adalah pengalihan," kata Cabe.
Dia percaya energi terbarukan — terutama tenaga surya, hidro, dan angin — adalah solusi terbaik bagi negara kepulauan seperti Filipina, yang kaya akan matahari, air, dan angin.
Cabe menunjukkan kurangnya kemauan politik dari pemerintah dan salah alokasi dana anggaran sebagai hambatan utama untuk memanfaatkan sepenuhnya energi terbarukan.
Ambisi nuklir Asia Tenggara
Mengadopsi energi nuklir bukan hanya keputusan Manila. Sebagian besar negara Asia Tenggara semakin beralih ke energi nuklir, baik untuk potensi pembangkit energi maupun karena dianggap sebagai cara untuk mencapai target "emisi nol bersih" pada tahun 2050.
Selama 15 tahun ke depan, Indonesia bertujuan untuk menghasilkan 75% dari daya mereka sebagai sumber energi "bersih," termasuk nuklir.
Namun, rencana ini masih dalam tahap awal: Pembangunan pembangkit listrik direncanakan dimulai pada 2032, dan kerangka regulasi nuklir masih belum tersedia.
Bagi Grita Anindarini, seorang ahli strategi senior di Pusat Hukum Lingkungan Indonesia, fokus pada pembangkit nuklir yang mahal dan memakan waktu lama untuk dibangun, akan menjadi kesalahan terutama untuk negara-negara kepulauan seperti Indonesia dan Filipina yang juga rentan terhadap gempa bumi dan bencana alam lainnya.
"Bagaimana kita bisa mengelola limbah radioaktif dan beracun lainnya yang dapat menimbulkan risiko serius bagi kesehatan manusia dan lingkungan? (...) Mengapa kita perlu berinvestasi dalam aktivitas berisiko tinggi ketika kita memiliki pilihan yang lebih aman dan ramah lingkungan?" tanya Anindarini.
Apakah reaktor kecil solusi yang lebih baik?
Pihak berwenang di Vietnam, yang telah mempertimbangkan tenaga nuklir selama hampir dua dekade dan telah mencari keahlian dari Rusia dan Amerika Serikat, juga memperkenalkan rencana untuk membangun pembangkit di provinsi Ninh Thuan di Vietnam selatan pada 2030.
Namun, menurut Thuy Le, seorang profesor di Universitas San Jose dan penasihat kebijakan nuklir untuk pemerintah Vietnam, rencana tersebut dan waktu yang singkat terlalu ambisius dan "akan gagal."
Dia mengatakan kepada DW bahwa Vietnam seharusnya fokus pada Reaktor Modular Kecil (SMR) yang lebih modern sebagai cara untuk mengintegrasikan energi nuklir dengan aman dan realistis.
"Mulailah dengan SMR, atau bahkan mikroreaktor, dan lakukan langkah demi langkah," kata Thuy Le.
SMR dan mikroreaktor jauh lebih kecil daripada pembangkit listrik tradisional, sehingga dapat digunakan di lokasi pesisir yang padat penduduk. Mereka juga jauh lebih sederhana dan lebih murah untuk dibangun, dibandingkan dengan proyek konstruksi besar yang memakan waktu bertahun-tahun untuk pembangkit listrik besar. Ukuran mereka yang lebih kecil juga berarti beberapa risiko inheren yang terkait dengan pembangkit listrik tenaga nuklir dapat diminimalkan, meski ada risiko keselamatan yang belum terselesaikan, terutama dalam hal bencana alam yang parah.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Meyakinkan publik Asia Tenggara yang ragu
Tantangan lain yang dihadapi pemerintah di kawasan ini adalah meyakinkan publik bahwa beralih ke nuklir adalah pilihan yang tepat.
Sebuah studi oleh NTU menemukan dukungan publik yang umumnya rendah terhadap pengembangan energi nuklir di Asia Tenggara, terutama karena risiko teknologi yang dipersepsikan.
Bencana di Chernobyl dan Fukushima di Jepang serta warisan Perang Dunia II telah memperkuat kekhawatiran tersebut, kata Chew kepada DW, menambahkan bahwa "kawasan ini tidak memiliki pengalaman dalam mengatur operasi pembangkit listrik tenaga nuklir yang aman."
Kekhawatiran ini juga disorot oleh aktivis anti-nuklir Derek Cabe di Bataan, tempat satu-satunya pembangkit nuklir yang ada di kawasan tersebut, yang menurutnya "terletak di atas gunung berapi."
"Jika ada masalah (dengan pembangkit ini), kami yang berada di garis depan yang pertama kali akan terpengaruh," katanya.
Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris