Inspiratif: Bumi Makin Panas, Kenya "Gaspol" Energi Hijau!
23 Juni 2025Di bentangan tandus Danau Turkana, Kenya, baling-baling raksasa menjulang di sepanjang jalanan berdebu, sejauh mata memandang.
Pemandangan ini bukan sekadar lanskap, melainkan lambang dari transformasi: Kenya telah menjelma menjadi kekuatan baru dalam energi terbarukan.
Pada awal milenium, negara ini menghasilkan sekitar separuh listriknya dari sumber-sumber ramah lingkungan seperti energi panas bumi, energi surya, dan tenaga angin.
Kini, produksi energi terbarukan di sana melonjak menjadi 90%. Dan mereka tak berniat berhenti di situ. Dalam tekad iklim terbarunya, Kenya—permata Sub-Sahara—berjanji akan sepenuhnya menggunakan energi terbarukan pada tahun 2035.
Kenya memberi ilham bagi negara-negara lain yang kini berkumpul di Bonn, Jerman, berupaya menyelesaikan perbedaan menjelang pertemuan puncak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB di Brasil, bulan November nanti.
Meski pembahasan soal pengurangan ketergantungan pada bahan bakar fosil secara resmi tak tercantum dalam agenda, para ahli menyebutnya sebagai gajah dalam ruangan—terlalu besar untuk diabaikan.
Apa Itu target iklim dan mengapa penting?
Target iklim domestik—atau yang dikenal dengan sebutan Nationally Determined Contributions (NDCs)—merupakan jantung dari Perjanjian Paris. Dalam perjanjian ini, dunia berkomitmen menjaga kenaikan suhu global di bawah 2°C, dengan upaya keras menahan laju pada 1,5°C.
NDC adalah komitmen nasional bagi penanganan perubahan iklim global dalam rangka mencapai tujuan Perjanjian Paris(Paris Agreement) atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change - UNFCCC). Dokumen NDC berisi komitmen, target, dan upaya iklim suatu negara yang diungkapkan dan diserahkan setiap lima tahun sebagai bagian dari upaya pengurangan emisi global.
Kenaikan suhu, sekecil apa pun, bisa berarti badai yang lebih garang, banjir yang tak terduga, kekeringan yang melumpuhkan, dan gelombang panas yang mematikan.
Setiap lima tahun, 195 negara penandatangan diwajibkan menyampaikan tujuan ambisius—meski tidak mengikat—yang menguraikan strategi menurunkan emisi karbon dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim yang sudah terasa di berbagai belahan bumi.
"Ini juga kesempatan emas bagi tiap negara untuk, dalam satu dokumen kebijakan, memadukan rencana kemakmuran ekonomi dengan kebijakan iklim, menjadikannya peta jalan menuju ekonomi berkelanjutan," tutur pemimpin program diplomasi iklim di lembaga pemikir E3G Steffen Menzel.
Sudahkah negara-negara menyatakan tujuan iklimnya?
Seharusnya, semua negara telah mengajukan target iklim terbaru mereka ke Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim pada bulan Februari lalu. Namun sejauh ini, baru 22 negara yang memenuhinya.
Di antaranya adalah negara-negara emitor besar seperti Inggris dan Jepang. Pemerintahan AS di bawah Joe Biden sebelumnya pun telah menyerahkan rencana dekarbonisasi AS—sebelum Donald Trump menarik diri dari Kesepakatan Paris.
Banyak negara kini masih mengasah dan merinci target mereka. "Mereka ingin memastikan bahwa asumsi-asumsinya masuk akal dan selaras dengan kenyataan politik dan prioritas domestik,” jelas Jamal Srouji dari World Resources Institute.
"Yang paling menjadi perhatian sekarang adalah soal daya saing: memastikan mereka tidak tertinggal dalam teknologi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi... Ketahanan energi nasional, terutama dalam beberapa tahun terakhir, menjadi alasan utama mengapa isu iklim tetap berada di garis depan kebijakan,” ujarnya kepada DW.
NDC pertama Indonesia disampaikan pada tahun 2016. Pada tahun 2022, Pemerintah Indonesia meningkatkan ambisinya untuk menurunkan Gas Rumah Kaca (GRK) dari sebanyak 29% menjadi 31,89% dengan upaya sendiri, dan dari 41% menjadi 43,2% dengan dukungan masyarakat internasional. Pemerintah Indonesia seharusnya sudah menyampaikan target iklim NDC kedua pada awal Februari tahun ini. Namun, hingga saat ini, pemerintah belum menyampaikan target NDC kedua sambil menunggu persetujuan dari Presiden Prabowo Subianto.
Dibatasi oleh dana dan ketimpangan
Tak semua negara berada di posisi yang sama. Nafkote Dabi dari Oxfam International menyoroti betapa negara-negara termiskin seperti Chad, Kongo, dan Bangladesh enggan berkomitmen pada tujuan ambisius karena keterbatasan dana.
"Mereka takut berkomitmen pada hal-hal besar, tanpa ada dana untuk mewujudkannya," katanya. Negara-negara kaya, menurutnya, memiliki tanggung jawab moral dan historis, serta kapasitas finansial dan teknologi untuk membantu.
Pada konferensi iklim tahun lalu di Azerbaijan, negara-negara industri menjanjikan dana sebesar USD300 miliar untuk membantu negara berkembang, dengan janji total mobilisasi hingga USD1,3 triliun. Namun, dari mana dana itu akan mengalir masih menjadi tanda tanya.
Emisi terbesar, tanggung jawab terbesar
Meski semua negara—termasuk emitor kecil seperti Kenya—perlu memiliki target iklim, para ahli sepakat bahwa dampak terbesar hanya akan datang dari negara-negara dengan jejak karbon paling tinggi.
Negara-negara G20 seperti Cina, Jerman, Australia, Rusia, dan Amerika Serikat bertanggung jawab atas sekitar 80% emisi global. "Mereka belum melakukan cukup untuk menurunkan gas rumah kaca,” ujar Dabi.
"Transformasi yang dibutuhkan sangat besar, dan itu tak boleh dibebankan pada komunitas termiskin,” tambahnya.
Harapan tak padam
Meski jalan masih panjang dan rintangan membentang, para ahli meyakini mekanisme yang dirintis sejak Kesepakatan Paris sudah membawa perubahan nyata.
"Saya tak ingin mengatakan semuanya berjalan lancar... tapi saya percaya bahwa sistem yang kita bangun satu dekade lalu telah mengubah dunia,” ujar Menzel.
Dan meski janji-janji itu tak mengikat secara hukum, menurut Srouji, setiap kali sebuah negara berdiri di panggung dunia dan mengumumkan rencananya, mundur dari komitmen itu akan memicu sorotan tajam dari seluruh penjuru dunia.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Hendra Pasuhuk