DPR Sahkan Undang-undang Anti Diskriminasi Ras dan Etnis
28 Oktober 2008Undang-undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis memuat sejumlah sangsi pidana bagi orang atau korporasi yang melakukan pembedaan perlakuan berdasarkan etnis dan ras. Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Murdaya Poo memberikan contohnya:
“Misalnya sekolah yang didiskriminasi, rektornya atau universitasnya bisa dipidanakan secara personal dan badan. Hak-hak sipil, misalnya orang Jawa ke Aceh, dia mau wayangan, lalu dilarang oleh pejabat sana, itu bisa dipidanakan pejabatnya. Contoh lain, misalnya masyarakat Tiongkhoa mau membuat Barongsay di Surabya itu dilarang, itu hak sipil kebudayaan itu bisa dipidanakan, Sebelumnya belum ada undang-undang semacam ini, jadi ini membuat orang itu jera.”
Gagasan atas undang-undang ini, mencuat setelah peristiwa kerusuhan Mei 98 dan bentrokan etnis di sejumlah daerah. Tetapi parlemen baru mulai membahasnya secara resmi tiga tahun lalu. Rancangan awalnya bernama Undang-undang Anti Diskriminasi dan ditujukan untuk mencegah segala jenis diskriminasi. Belakangan, parlemen mengubah namanya sekaligus membatasi cakupannya, hanya pada penghapusan diskriminasi etnis dan ras semata.
Masalahnya, bagi sejumlah pegiat HAM, pembatasan itu membuat undang-undang ini gagal melindungi kelompok tertentu seperti penganut kepercayaan dan kelompok transeksual dari praktek diskriminasi di masyarakat. Trisno Sutanto dari Komite Anti Diskriminasi Indonesia KADI menuturkan:
“Jadi sesungguhnya undang-undang ini sangat terbatas pada persoalan diskriminasi ras, padahal sekarang yang kita hadapi sudah banyak bentuk-bentuk diskriminasi lainnya. sebagai contoh, diskriminasi terhadap mereka yang orientasi seksualnya berbeda, kaum gay, lesbian, transgender itu tidak pernah diatur. Kepercayaan kelompok kelompok adat kepercayaan, pernikahan mereka, hal-hal seperti itu yang sebetulnya sekarang mencolok dan itu tidak mendapat porsi yang jelas.”
Bagaimanapun, Komisi Nasional Hak Asasi manusia Komnas HAM memandang, undang-undang ini sebagai sebuah terobosan penting bagi upaya melindungi kelompok minoritas dari praktek diskriminasi yang selama ini terjadi. Wakil ketua Komnas HAM Ridha Saleh:
“Kita harus memberikan apresiasi karena ini adalah langkah yang cukup baik, sebagai upaya kita untuk, pertama mengakui kelompok kelompok minoritas tersebut, kedua ini adalah upaya untuk memberikan perlindungan dan yang ketiga ini adalah upaya memenuhi hak-hak kelompok minoritas sebagai kewajiban yang harus dipenuhi negara dalam komitmennya untuk penghormatan bagi kelompok kelompok khusus. Selain itu kita juga tetap akan melakukan evaluasi memonitoring undang-undang tersebut.”
Dalam undang-undang ini, seseorang yang melakukan tindak diskriminasi ras dan etnis tanpa tindak kekerasan terancam hukuman penjara antara 1-5 tahun dengan denda maksimal Rp500 juta. Jika tindakan diskriminasi itu berujung pada tindak kekerasan bahkan hingga menghilangkan nyawa, hukumannya jauh lebih berat. Sedangkan, untuk diskriminasi oleh korporasi atau perusahaan, ancaman hukuman berupa denda dan juga pencabutan izin usaha.