Cabut Sanksi Ekonomi, UE Tetap Bidik Penjahat HAM di Suriah
29 Mei 2025Langkah Uni Eropa mencabut sebagian besar sanksi terhadap Suriah menghapus pembatasan yang selama ini berlaku, termasuk pada sistem keuangan negara.
Namun begitu, UE tetap menetapkan sanksi terhadap individu dan organisasi di Suriah yang dianggap melanggar hak asasi manusia atau memiliki alasan keamanan, seperti keluarga besar mantan Presiden Bashar al-Assad, atau program senjata kimia Suriah. Hal ini tertuang dalam dokumen resmi Dewan Eropa terkait keputusan tersebut.
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, pekan lalu sedianya telah mengumumkan rencana pencabutan sanksi. Dia menegaskan kelonggaran bagi Suriah "bersyarat” dan sanksi bisa diberlakukan kembali jika pemerintahan transisi di bawah Ahmad al-Sharaa, gembong pemberontak jebolan ISIS dan Al-Qaeda yang menggulingkan Assad pada Desember lalu, gagal menjaga perdamaian.
Dalam pernyataan pada Rabu (28/5), Kallas mengatakan, pencabutan sanksi "adalah hal yang benar untuk dilakukan, pada momen bersejarah ini, bagi Uni Eropa untuk serius mendukung pemulihan Suriah dan transisi politik yang mewujudkan aspirasi seluruh rakyat."
Sanksi bagi penjahat HAM
Dalam keputusan yang sama, Uni Eropa juga menjatuhkan "langkah-langkah pembatasan" terhadap dua individu dan tiga kelompok bersenjata yang dituduh "menyerang warga sipil dan khususnya komunitas Alawi." Mereka juga dituduh melakukan penyiksaan dan "pembunuhan sewenang-wenang terhadap warga sipil.” Kelompok minoritas agama tempat Bashar al-Assad berasal itu sempat menjadi sasaran serangan balas dendam yang menyapu wilayah pesisir pada bulan Maret.
Bentrok pada waktu itu dipicu oleh serangan loyalis Assad terhadap pasukan keamanan di dekat kota pesisir Latakia. Buntutnya, kelompok hak asasi manusia melaporkan pembunuhan balasan secara luas oleh militan Sunni dan Suriah. Beberapa di antara kelompok yang terlibat, kini secara resmi menjadi bagian dari pasukan keamanan pemerintah baru. Ratusan warga sipil tewas dalam kekerasan tersebut.
Pemerintah baru di Damaskus telah berjanji untuk menindak pelaku kekerasan, namun badan investigasi yang dibentuk untuk menyelidiki insiden tersebut belum merilis hasil temuannya. Meskipun situasi berlangsung relatif aman sejak insiden Maret, anggota komunitas Alawi tetap hidup dalam ketakutan, dan menyebutkan insiden penculikan serta pembunuhan masih terjadi secara sporadis.
Dua individu yang dikenai sanksi UE adalah Mohammad Hussein al-Jasim, pemimpin Brigade Sultan Suleiman Shah, dan Sayf Boulad Abu Bakr, pemimpin Divisi Hamza. Kedua kelompok ini disebut Uni Eropa terlibat langsung dalam serangan terhadap warga sipil. Milisi-milisi tersebut, bersama satu kelompok bersenjata lainnya, yakni Divisi Sultan Murad, juga dijatuhi sanksi tambahan.
Jalur terjal pemulihan ekonomi
Sejak mengambil alih kekuasaan, pemerintahan al-Sharaa masih kesulitan menyatukan berbagai faksi bekas pemberontak menjadi satu angkatan bersenjata nasional.
Pencabutan sanksi oleh Uni Eropa diputuskan hanya beberapa hari setelah Amerika Serikat juga memberikan kelonggaran besar terhadap sanksi bagi Suriah. Presiden Donald Trump sebelumnya telah berjanji untuk menghapus hukuman ekonomi, yang telah diberlakukan selama setengah abad terhadap negara yang porak-poranda akibat perang saudara selama 13 tahun itu.
Departemen Luar Negeri AS menerbitkan kebijakan pembebasan sanksi selama enam bulan, terhadap serangkaian sanksi keras yang diberlakukan Kongres pada tahun 2019. Pelonggaran ini menghapus salah satu hambatan utama dalam upaya rekonstruksi Suriah, yang menurut perkiraan PBB pada tahun 2017 lalu, akan menelan biaya setidaknya USD250 miliar. Sejumlah pakar kini memperkirakan angka itu bisa membengkak, mencapai sedikitnya USD400 miliar atau sekitar Rp6400 trilyun.
PBB menyatakan bahwa 90% warga Suriah hidup dalam kemiskinan.
Investasi pulihkan infrastruktur dasar
Pasokan listrik dari negara di Suriah, saat ini hanya tersedia selama dua hingga tiga jam per hari di sebagian besar wilayah. Namun, pemerintahan Presiden Ahmed al-Sharaa berjanji akan segera meningkatkan pasokan energi secara signifikan di seluruh negeri.
Damaskus dikabarkan menandatangani kesepakatan dengan empat perusahaan pada Kamis (29/5), untuk memperluas kapasitas pembangkitan listrik nasional sebesar 5.000 megawatt. Proyek ini berpotensi menggandakan jumlah kapasitas pasokan energi nasional.
Kesepakatan ini menandai dimulainya Syria Power Revival Initiative, yang akan ditandatangani di Istana Kepresidenan Suriah pada hari Kamis, menurut undangan media yang dikeluarkan oleh UCC Holding asal Qatar. Unit perusahaan tersebut, UCC Concession Investments, akan menjadi pengembang utama proyek kelistrikan di Suriah ini.
Selain UCC, kesepakatan ini juga melibatkan dua perusahaan Turki, Kalyon GES Enerji Yatirimlari dan Cengiz Enerji, serta satu perusahaan AS Power International USA.
Damaskus sebelumnya mengandalkan pasokan minyak dari Iran untuk memproduksi listrik. Namun, pengiriman minyak terhenti, sejak Presiden Bashar al-Assad yang didukung Teheran digulingkan pada Desember lalu.
Sebagai solusi sementara, Qatar berinisiatif memasok gas alam cair untuk pembangkit listrik utama di Suriah sejak Maret, guna menutupi kekurangan energi yang kritis.
Editor: Agus Setiawan