"Bromance" Kim-Trump, Akankah Kembali?
28 Januari 2025Pada pertemuan Majelis Rakyat Tertinggi di Pyongyang baru-baru ini, Korea Utara mengonfirmasi sejumlah agenda rutin, termasuk rencana anggaran negara dan peningkatan belanja pertahanan. Namun, dalam pertemuan selama dua hari itu, bagaimana sikap Pyongyang terhadap pemerintahan baru Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, sama sekali tidak disinggung.
Para analis berpendapat, Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mungkin memilih menunggu langkah pembuka dari Trump yang diharapkan dapat menandai kembalinya "bromance" di antara keduanya. Mereka sebelumnya telah bertemu sebanyak tiga kali di masa jabatan pertama Trump.
Namun di sisi lain, Pyongyang juga mungkin sengaja mengabaikan AS karena kegagalan KTT Hanoi 2019 antara Korea Utara-AS, yang membuat Kim malu karena ia telah mempertaruhkan banyak hal pada pertemuan tersebut guna mendapatkan hasil yang positif.
Di saat yang sama, kondisi ekonomi dan militer Korea Utara kini jauh lebih baik setelah menandatangani serangkaian kesepakatan dengan Rusia, sehingga Kim tidak terlalu membutuhkan hubungan kerja yang lebih baik dengan AS, menurut para analis.
"Tekanan penuh untuk AS"
Meski Pyongyang tidak menggunakan agenda pertemuan Majelis Rakyat itu untuk menyatakan sikapnya terhadap AS, uji coba peluncuran serangkaian rudal jelajah laut pada Sabtu (26/01), selang beberapa hari setelah pelantikan Trump sebagai presiden AS, dianggap memberikan sinyal yang jelas.
Satu hari setelahnya, Pyongyang juga mengeluarkan pernyataan yang mengecam latihan udara gabungan AS-Korea Selatan, dengan menyatakan bahwa Korea Utara akan mempertahankan "sikap balasan paling tegas" untuk AS, selama Washington masih mengabaikan tuntutan kedaulatan dan keamanan Pyongyang.
"Kim mengatakan dua pekan lalu, Korea Utara akan mengambil kebijakan tekanan penuh terhadap AS, meskipun ia tidak menjelaskan tekanan seperti apa yang akan dilakukannya," kata Moon Chung-in, profesor politik dan hubungan internasional di Universitas Yonsei, Seoul, sekaligus penasihat khusus untuk mantan Presiden Moon Jae-in dalam bidang keamanan nasional dan hubungan luar negeri.
"Bagi Kim, telah terjadi perubahan mendasar dalam pemikirannya terkait hubungan Korea Utara dan AS, di mana posisinya saat ini adalah keduanya tidak bisa melanjutkan apa yang sudah mereka ungkapkan," tambahnya kepada DW.
Pada Desember 2023, Kim menyatakan bahwa kebijakan AS masih bertujuan untuk menggulingkan rezim Korea Utara, sehingga ia tidak melihat adanya harapan pada kesepakatan jangka panjang dengan Washington, kata Moon.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Moon juga menambahkan, kesadaran Kim ini mendasari "perubahan pada kebijakan Korea Utara" yang diumumkan pada Januari 2024 bahwa hubungan dengan AS bukan lagi prioritas utama Pyongyang.
Pada pertemuan Majelis Rakyat, Kim juga menyatakan bahwa reunifikasi damai dengan Korea Selatan tidak lagi memungkinkan dan pemerintahnya sedang membuat "perubahan kebijakan" yang mempertegas hubungan dengan Selatan, yang ia gambarkan sebagai "musuh utama dan musuh prinsipil yang tak tergoyahkan."
Kim juga memerintahkan pasukan militernya bersiaga mengambil tindakan untuk menduduki dan menaklukkan Selatan. Korea Utara telah membelah jalur kereta api yang secara simbolis melintasi Zona Demiliterisasi (wilayah yang dijaga ketat dan membagi kedua negara), menghancurkan jalanan di wilayah tersebut, dan membangun pertahanan tambahan di sepanjang perbatasan.
Agenda Majelis Rakyat Tertinggi tanpa retorika bombastis
Agenda pertemuan ke-12 Majelis Rakyat Tertinggi ke-14 pekan lalu diadakan di Aula Majelis Mansudae di Pyongyang, lapor Kantor Berita Pusat Korea (KCNA). Namun, agenda itu berlangsung dengan retorika yang jauh lebih sedikit. Tidak jelas apakah Kim hadir secara langsung atau tidak, karena KCNA tidak menyebut keberadaannya.
"Saya yakin tidak ada penyebutan soal AS atau Trump, karena Kim tidak ingin menjadi yang pertama memainkan kartu pada tahap baru hubungan Korea Utara-AS ini," kata Stephen Nagy, profesor politik dan hubungan internasional di Universitas Kristen Internasional Tokyo.
"Dengan tidak begitu agresif, ia memberikan peluang bagi Trump untuk mungkin menggunakan semacam diplomasi yang tidak ortodoks," katanya kepada DW.
Saat ini, Kim bisa bersabar karena pesaingnya dan pemain signifikan lainnya dalam kepentingan di Asia Timur Laut sedang sibuk pada masalahnya masing-masing, tambah Nagy.
Trump misalnya, memiliki banyak masalah yang harus dihadapi, terutama di dalam negerinya sendiri. Korea Selatan juga sibuk dengan kekacauan politiknya sendiri. Cina juga memiliki masalah ekonomi dan masih mempertimbangkan sikapnya pada pemerintahan baru AS, sementara Rusia masih terus berperang di Ukraina, bahkan sedang berupaya menjaga ketahanan ekonominya.
"Sweet spot” geopolitik
"Kim berada pada semacam 'sweet spot' geopolitik saat ini, di mana semua pesaing di sekitarnya sedang sibuk dengan masalah mereka sendiri, sehingga ia bisa bersabar dan melihat apa yang akan ditawarkan AS," kata Nagy.
Kim juga memegang kartu yang lebih baik dibanding saat Trump terakhir kali menjabat, menyusul hubungan eratnya dengan Presiden Vladimir Putin di Moskow, yang memberikan teknologi militer untuk Korea Utara meski Rusia terkena sanksi internasional.
Jika Trump benar-benar ingin menghidupkan kembali hubungannya dengan Kim dan berencana untuk menemukan solusi permanen terhadap situasi di Korea, maka Kim mungkin akan mendengarkannya, kata Moon. Namun, pemimpin Korea Utara itu mungkin butuh keyakinan yang lebih, tambahnya.
"Kim merasa dikhianati saat terakhir kali Trump gagal memenuhi janjinya. Kecuali Kim melihat inisiatif yang dapat diterapkan dan sangat jelas dari Trump, maka saya tidak yakin mereka akan kembali berdiskusi," tegasnya, seraya menambahkan bahwa Kim sadar strategi bertahan paling baik adalah dengan mendekat ke Rusia.
Artikel ini diadaptasi dari bahasa Inggris