Barat Provokasi Destabilisasi Palestina
16 Februari 2006Selain itu, niat barat untuk menghentikan bantuan keuangan terhadap Palestina, dinilai merupakan tindakan bodoh, yang akan memicu kekacauan baru di Timur Tengah. Harian Amerika Serikat The New York Times berkomentar, jangan memprovokasi pemerintahan baru Palestina.
"Amerika Serikat dan Israel harus melakukan manuver dalam ruang gerak yang amat sempit, menyangkut definisi hubungannya dengan pemerintahan Palestina yang dipilih secara demokratis itu. Sebab, Hamas adalah sebuah partai politik yang bukan hanya mendukung terorisme, tapi juga melaksanakannya. Tidak mungkin Amerika dan Israel serta negara barat lainnya mengakui secara politis atau memberikan dukungan keuangan kepada pemerintahan Hamas. Akan tetapi, kini Washington dan Jerusalem berada di jalur yang salah, dengan mendiskusikan cara untuk merekayasa destabilisasi pemerintahan Palestina. Haluan yang jauh lebih cerdas adalah secara sadar menghentikan provokasi terhadap warga Palestina, serta memberikan waktu kepada Hamas untuk mempertimbangkan opsi-opsi yang ada."
Harian Swiss Basler Zeitung menulis komentar, pada akhirnya barat tetap harus berdialog dengan Hamas.
"Tujuan boikot bantuan keuangan adalah menciptakan destabilisasi di Palestina, hingga pecah kerusuhan warga. Tujuannya agar Presiden Mahmud Abbas menggelar pemilu baru. Warga yang marah, diharapkan menilai Hamas tidak becus memerintah dan memilih kembali Gerakan Fatah. Kedengarannya amat mudah, seperti sebuah kudeta yang diatur dari jarak jauh. Akan tetapi, dalam kenyataannya skenario ini amat tolol dan pasti gagal. Sebab, Hamas akan menjadi lebih radikal dan kembali melancarkan aksi teror, sementara warga Palestina tetap tepecah. Pada akhirnya, barat dan Israel tetap saja harus berdialog dengan Hamas. Jadi, mengapa membuang-buang waktu dan mengambil risiko? Siapa yang akan diuntungkan dengan situasi seperti itu?"
Harian Jerman Dresdner Neueste Nachrichten berkomentar, gagasan blokade dan sikap memboikot Hamas sangat absurd.
"Tanpa keberanian untuk tetap mempertahankan posisi siap berunding, situasi yang kini amat membingungkan dengan cepat dapat berubah menjadi politik yang berbahaya, berupa eskalasi krisis. Sama seperti kasus Iran, ruang gerak ke segala arah harus dapat dimanfaatkan, termasuk juga ancaman sanksi serius. Hal ini juga berlaku bagi Israel dan Hamas. Terhadap kedua pihak sama-sama harus ditegaskan tuntutan untuk menghentikan aksi kekerasan secara total."
Tema lainnya, yang terkait erat dengan situasi aktual di Palestina adalah konflik atom Iran dan doktrin militer AS di Timur Tengah. Berkaitan dengan pernyataan ketua baru Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD) Matthias Platzeck, yang menolak opsi serangan militer terhadap Iran, harian Perancis Le Figaro berkomentar, memang kebijakan itu akan memancing kemarahan.
"Matthias Platzeck terlihat berusaha melanjutkan politik pendahulunya, Gerhard Schröder. Namun, Platzeck memang bukan Schröder. Kelihatannya partai mitra koalisi pemerintahan tersebut, merasa terdesak oleh sukses Kanselir Angela Merkel. Pada dasarnya, tidak ada yang lebih baik dari upaya terus menerus menawarkan jalan perdamaian kepada pemerintah di Teheran. Akan tetapi, pernyataan ketua SPD Platzeck, yang menolak pernyataan Merkel bahwa tetap terbuka opsi serangan militer terhadap Iran, jelas dapat memancing ketegangan baru."
Sementara harian Inggrsi The Guardian yang terbit di London menulis komentar, Eropa merasa cemas terhadap politik perang melawan terorisme dari AS.
"Doktrin pertahanan dari menteri pertahanan AS Donald Rumsfeld, dengan opsi serangan pencegahan terhadap tersangka teroris, menggunakan peluru kendali yang juga akan menimbulkan korban tewas di kalangan sipil, memancing kecemasan di Eropa. Semua pihak terkait menyadari, jika AS sudah memutuskan politiknya tidak ada lagi ruang gerak bagi kompromi. Menimbang perkembangan situasi yang masih eksplosif di Irak dan Afghanistan, doktrin pertahanan AS itu memang amat berbahaya. "