Kenapa Jembatan Udara untuk Bantuan Gaza Sarat Kritik?
30 Juli 2025Bencana kelaparan yang sedang melanda Gaza tidak dapat dibandingkan dengan bencana apa pun di abad ini, kata Ross Smith, Direktur Bantuan Darurat Program Pangan Dunia PBB (WFP). "Ini mengingatkan kita pada bencana kelaparan yang terjadi sebelumnya di Etiopia atau Biafra puluhan tahun lalu,” kata Smith di Jenewa. "Ini bukan peringatan, melainkan seruan untuk bertindak.”
Di Jalur Gaza, "skenario terburuk bencana kelaparan” terus berkembang, sebagaimana tercantum dalam judul laporan Klasifikasi Global Fase Keamanan Pangan Terpadu (IPC). IPC bekerja sama dengan organisasi kemanlsiaan PBB memantau situasi pangan di Gaza.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Laporan tersebut menyebutkan di Kota Gaza, ambang batas kekurangan gizi akut telah terlampaui dan bahkan sudah melewati batas kelaparan di semua zona di wilayah pesisir. Sebagian besar dari lebih dari dua juta penduduk Jalur Gaza kini hidup di kamp-kamp pengungsi yang padat, setelah tentara Israel menyatakan sebagian besar wilayah seluas 365 kilometer persegi sebagai zona operasi militer.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu baru-baru ini mengklaim bahwa "tidak ada kelaparan di Jalur Gaza”. Israel hampir sepenuhnya menutup akses jurnalis ke wilayah tersebut sejak perang dimulai, sehingga pemantauan independen terhadap situasi di Gaza tidak mungkin dilakukan.
Meremehkan, politis, dan memboroskan uang
Sejak akhir pekan lalu, upaya-upaya aktor internasional untuk meredakan krisis di Timur Tengah mulai terlihat. Pada Minggu(27/7), pesawat militer dari Yordania dan Uni Emirat Arab menjatuhkan 25 ton bantuan kemanusiaan di sepanjang pesisir pantai. Jerman dan Prancis juga telah merencanakan misi jembatan udara mereka. "Meskipun kontribusi ini mungkin kecil secara kemanusiaan, ini adalah sinyal penting: Kami ada di sini, kami berada di wilayah ini, kami membantu,” kata Kanselir Federal Friedrich Merz.
Keputusan negara-negara untuk menyalurkan bantuan lewat misi jembatan udara mengejutkan organisasi-organisasi bantuan kemanusiaan internasional, "Menjatuhkan bantuan kemanusiaan dari udara adalah inisiatif yang tidak berguna dan terkesan sinis,” kata Jean Guy Vataux, koordinator darurat regional Doctors Without Borders. Centre for Humanitarian Action (CHA) sebuah Think Tank di Berlin, menyebutnya sebagai "jembatan udara yang paling tidak masuk akal yang pernah ada” serta "simbol politis dan pemborosan uang.” Menurut kepala CHA, Ralf Südhoff, pasokan bantuan melalui udara 35 kali lebih mahal daripada konvoi darat.
Jembatan udara tidak menjangkau mereka yang paling membutuhkan
Marvin Fürderer, ahli bantuan darurat organisasi Welthungerhilfe, juga menyebut penyampaian bantuan lewat udara tersebut "simbolis, tidak efektif”. Dalam wawancara dengan DW, ia menggambarkan detil masalahnya: "Bantuan dilepaskan tanpa koordinasi, tanpa zona penjatuhan khusus, dan tanpa struktur keamanan di wilayah yang sangat berisiko.” Bantuan ini seringkali tidak sampai kepada orang-orang yang paling membutuhkan - "melainkan ditujukannya kepada mereka yang masih sanggup bergerak melewati puing-puing dan jalanan yang padat menuju lokasi penjatuhan bantuan dan memperebutkannya di sana,” kata Fürderer.
Hampir setiap hari dilaporkan adanya korban jiwa di sekitar pusat distribusi yang dikelola oleh "Gaza Humanitarian Foundation” (GHF). Organisasi bentukan AS dan Israel ini sarat kritik karena diragukan independensi dan transparansi operasionalnya. Yayasan yang bermarkas di Amerika Serikat ini mendapat persetujuan Presiden AS Donald Trump untuk mendistribusikan bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza sejak Mei, setelah Israel melarang Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) untuk beroperasi.
GHF gagal memastikan keamanan di pusat-pusat distribusi bantuan. Menurut data PBB, militer Israel terus-menerus menembaki masyarakat yang menunggu bantuan. Menurut Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, antara 27 Mei dan 21 Juli terdapat lebih dari 1.000 warga Palestina tewas ditembak tentara Israel saat mencoba mendapatkan bantuan kemanusiaan.
Lebih efektif disalurkan lewat jalur darat
Organisasi bantuan mendesak agar pasokan bantuan didistribusikan ke Jalur Gaza tanpa hambatan dengan sistem lama yang dirangkai PBB. Strategi ini menyebar penyaluran bantuan pada 600 titik distribusi, tidak terpusat hanya di beberapa titik saja.
Riad Othman, ahli Timur Tengah di organisasi Medico International, mengatakan dalam konferensi pers di Berlin: "Sebelum 7 Oktober 2023, 500 hingga 600 truk per hari memasok kebutuhan penduduk dan ekonomi Gaza. Kebutuhan saat ini tidak dapat dipenuhi dengan 600 truk per hari, karena di Gaza tidak hanya infrastruktur esensial dan sistem kesehatan yang dihancurkan secara sistematis, tetapi juga sektor pertanian." Satu muatan truk biasanya mencakup sekitar 20 ton barang bantuan, makanan dan termasuk juga produk medis standar dan air minum.
Pada 7 Oktober, Hamas melakukan serangan terkoordinasi yang menewaskan lebih dari 1.200 orang di Israel dan menculik 250 orang lainnya sebagai sandera ke Jalur Gaza. Israel kemudian menetapkan tujuan militer untuk menghancurkan Hamas, namun juga menyebankan ribuan korban sipil serta kerusakan parah di Jalur Gaza. Badan Kesehatan yang terafiliasi dengan Hamas kini melaporkan lebih dari 60.000 korban tewas, termasuk setidaknya 147 orang yang meninggal karena kelaparan.
Setelah berakhirnya gencatan senjata pada awal Maret 2025, Israel menghentikan semua pasokan bantuan selama lebih dari 80 hari. Dalam beberapa hari terakhir, tentara Israel melakukan gencatan senjata harian di Jalur Gaza dan kembali mengizinkan lebih banyak pasokan bantuan masuk melalui jalur darat. Menteri Keamanan sayap kanan, Itamar Ben-Gvir, mengkritik dengan menyebut bantuan "menjaga kelangsungan hidup musuh”.
Julia Duchrow, Sekretaris Jenderal Amnesty International di Jerman, mengatakan: "Ada banyak bukti bahwa Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang.” Dia mendesak pemerintah federal Jerman untuk menghentikan pasokan senjata ke Israel dan meningkatkan tekanan diplomatik terhadap pemerintah Netanyahu.
"Konvoi dapat berangkat dalam hitungan jam”
Pemerintah Israel telah melarang banyak organisasi non-pemerintah internasional untuk masuk ke Jalur Gaza; bahkan Welthungerhilfe saat ini hanya dapat memberikan bantuan melalui organisasi mitra lokal. Marvin Fürderer mendukung gencatan senjata permanen dan pembukaan pos perbatasan untuk pengiriman bantuan kemanusiaan. Welthungerhilfe dapat mengirimkan barang dari Yordania ke Jalur Gaza dalam hitungan jam, kata Fürderer: "Konvoi-konvoi ini dapat berangkat dalam hitungan jam begitu kondisi politik di lapangan memungkinkan.”
Fürderer menilai penyaluran bantuan dengan jembatan udara akan menimbulkan biaya tambahan. "Menarik melihat bagaimana pemerintah federal berencana memotong anggaran kemanusiaan sebesar 53 persen. Menghabiskan jutaan euro untuk jembatan udaran yang simbolis dan tidak efektif dalam situasi genting sekarang ini,” jelas Fürderer.
Angkatan Udara Jerman memiliki 'rekam jejak' pengalaman menyalurkan bantuan kemanusiaan lewat jembatan udara ke Gaza: Pada Maret hingga Mei 2024, pesawat angkut militer A400M melakukan misi jembatan udara selama sepuluh minggu. Total bantuan yang dikirimkan mencapai 315 ton.
Jika dibandingkan dengan kebutuhan kemanusiaan dengan minimal 500 muatan truk per hari (yang diperkirakan bisa membawa 10000 ton bantuan per hari), jumlah yang dibawa jembatan udara hanya cukup memenuhi kebutuhan penduduk Gaza yang kelaparan selama kurang lebih delapan jam.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Rizky Nugraha