Bahrain dan Kuwait Tingkatkan Hak bagi Pekerja Asing
20 Agustus 2009Pulau nyiur di lepas pantai Dubai, menara gemerlapan di Qatar, anjungan pemboran minyak di Abu Dhabi. Tanpa ratusan ribu pekerja asing semua itu tidak dapat diwujudkan. Perekonomian negara-negara minyak di Teluk Persia bertumpu pada pekerja asing. Ijin kerja mereka terkait dengan tempat kerja. Siapa yang ingin bekerja di tempat lain, harus punya ijin dari majikannya, yang disebut 'sponsor'. Dalam bahasa Arab namanya sistem 'kafala'. Seorang pekerja yang mendapat perlakuan buruk, memang boleh memprotes, tetapi dengan risiko kehilangan segalanya, seperti pendapat Sarah Leah Whitson dari Human Rights Watch. Dikatakannya: "Akibatnya dia mungkin kehilangan pekerjaan dan hak untuk tetap berada di negara itu. Karena visanya terkait dengan majikan, dia tidak bebas dan tidak bisa memilih pekerjaan yang diinginkan."
Menteri Tenaga Kerja Kerajaan Bahrain mengibaratkannya sebagai perbudakan dan hendak mengubahnya. Sejak awal bulan ini Bahrain punya UU baru. Warga asing juga dapat memilih tempat kerja yang diinginkannya. Untuk pergantian itu dia tidak memerlukan lagi ijin dari majikan lamanya. Tarek Yousef dari Dubai School of Government mengemukakan: "Bukan kejutan kalau dalam hal ini Bahrain sudah maju. Dari semua negara di Teluk Persia, Bahrain paling terbuka di segi politik. Punya pers yang bebas. Begitu pula parlemen yang berfungsi, punya wewenang dan mendengarkan suara dari luar."
Sistem 'kafala' sudah selalu dikritik sebagai aib di negara-negara Teluk Persia. Menyangkut UU ketenagakerjaan, raja Bahrain semakin hendak menggunakan norma-norma hukum internasional. Raja juga hendak mengurangi tingginya jumlah pengangguran.
Masalah, yang melanda semua negara teluk. Pekerjaan yang dilakukan buruh asal Pakistan atau Bangladesh, terlalu buruk bayarannya untuk warga setempat. Pekerjaan yang baik bayarannya hanyalah untuk karyawan dari barat yang pendidikannya lebih baik. Oleh sebab itu, di Bahrain sekarang, siapa yang mempekerjakan warga asing harus membayar iuran. Dana itu akan digunakan untuk pendidikan kejuruan bagi warga setempat. Tetapi pihak majikan di Bahrain tidak tinggal diam. Kata Tarek Yousef: "Mereka sama sekali tidak senang, karena dalam soal upah mereka harus benar-benar bersaing, agar para buruh tidak pindah tempat. Sekarang, sekedar 'tidak memberi ijin' sudah tidak memadai lagi. Menurut saya pasaran kerja sekarang lebih dinamis dan efisien."
Belum lama berselang Kuwait juga mencanangkan reformasi. Siapa yang sudah bekerja di Kuwait selama dua tahun tanpa cela, dia dapat berpindah tempat sesuka hati. Demikian kata menteri yang bersangkutan. Negara-negara lain di Teluk Persia kemungkinan dapat mencontoh Bahrain, seperti Uni Emirat Arab, yang sekarang konon sedang mempertimbangkan berbagai opsi. Kalau Uni Emirat Arab sudah, mungkin akan diikuti pula oleh Oman dan Qatar.
Yang lainnya tidak begitu optimis. Sektor industri bangunan tidak akan menyerah begitu saja. Bagi mereka keuntungan sistem lama sudah jelas. Eckhart Woertz dari Gulf Research Center di Dubai mengatakan: "Mereka tidak mau membayar biaya pendidikan tenaga kerja. Tidak membayar kalau mereka menganggur dan untuk tunjangan hari tua. Semua biaya sosial harus ditanggung oleh orang lain. Ini keras, brutal, kapitalis. Yah begitulah kapitalisme. Jadi harus dihadapi toh."
Carsten Kühntopp / Dewi Gunawan-Ladener
Editor: Hendra Pasuhuk