Bagaimana Pemerintah Berkiprah Mencegah Pemanasan Global?
18 Juni 2025Barisan rapi turbin angin yang menjulang tinggi sejauh mata memandang, menghiasi panorama di kawasan taman energi angin Danau Turkana Kenya. Ini hanyalah salah satu lokasi pembangkit listrik alternatif, yang akan menjadikan Kenya sebagai negara berbasis energi terbarukan.
Sejak awal tahun 2000, Kenya telah memenuhi 50% kebutuhan listriknya dengan memanfaatkan sumber energi berkelanjutan, seperti panas bumi, tenaga surya, dan angin. Kenya kini akan meningkatkan kuotanya hingga 90% Negara di kawasan Sub Sahara tersebut bahkan menargetkan 100% pembangkitan energinya dari sumber terbarukan pada tahun 2035.
Ini merupakan demonstrasi kehandalan pemerintah dan pembuktian capaian konsep, bagi negara-negara lainnya yang akan menggelar konferensi persiapan KTT Iklim PBB, Jumat (20/6) mendatang di Bonn, Jerman. KTT Iklim tahun ini akan diselenggarakan pada bulan November 2025 di Belem, Brazil.
Diskusi mengenai bagaimana rencana negara-negara anggota untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang memanaskan planet, tidak masuk dalam agenda resmi. Namun para ahli mengatakan, hal tersebut adalah permasalahan utama sekaligus isu kontroversial.
Apa itu target iklim nasional dan seberapa penting target tersebut?
Target iklim nasional atau National Domestic Contribution adalah komitmen tiap negara dalam pengurangan emisi, yang merupakan bagian penting dari Perjanjian Paris.
Dalam perjanjian Paris, dunia sepakat menahan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius (3,6 derajat Fahrenheit), dengan upaya untuk membatasi kenaikan suhu di angka 1,5 derajat Celcius. Kenaikan suhu sekecil apapun, berkorelasi dengan cuaca yang lebih tak menentu serta makins seringnya peristiwa cuaca ekstrem, seperti badai, banjir, kekeringan, dan gelombang panas ekstrem.
195 negara anggota yang menandatangi Perjanjian Paris wajib menyerahkan target nasional membatasi kenaikan suhu global setiap lima tahun sekali. Meski target ini tidak bersifat mengikat, tiap negara harus menguraikan rencana mereka mengurangi emisi karbon dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim yang sudah dirasakan secara global.
"Ini adalah kesempatan bagi tiap negara, dalam satu kebijakan - menggabungkan rencana perkembangan ekonomi negara dengan kebijakan iklim, mengintegrasikannya dalam peta jalan pembangunan yang berkelanjutan,” kata Steffen Menzel, ketua program diplomasi iklim dan geopolitik di lembaga riset iklim E3G.
Apakah negara-negara sudah memperbarui target nasional mereka?
Negara-negara penandatangan seharusnya sudah mengajukan pembaruan target iklim dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang digelar di bulan Februari lalu di Bonn. Namun sejauh ini, baru 22 negara yang memberikan pembaruan target mereka.
Di antara 22 negara tersebut terdapat negara-negara dengan penghasil emisi besar seperti Inggris dan Jepang. Pemerintahan Biden sebelumnya juga telah mengajukan rencana dekarbonisasi Amerika Serikat, sebelum Presiden Donald Trump memutuskan keluar dari Perjanjian Paris. Namun, menurut Jamal Srouji, peneliti yang terlibat dalam Program Iklim Global, lembaga penelitian nirlaba World Resources Institute, banyak negara yang masih ‘mematangkan' target nasional mereka.
Februari lalu, Indonesia masih belum mempresentasikan target nasionalnya dan berencana masih merampungkan NDC keduanya pada Oktober 2025 mendatang, tepat sebelum KTT Iklim akan dilangsungkan di Brazil. ”Kami masih mendiskusikan perihal target nasional pengurangan emisi ini karena adanya pergantian kepemimpinan di tiap kementerian, juga ada akselerasi setiap sektor,” jelas Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol kepada kantor Berita Antara.
Terkendala keuangan yang terbatas
Nafkote Dabi, Kepala Kebijakan Perubahan Iklim Oxfam International mengatakan, beberapa negara berpenghasilan rendah dan kurang berkembang seperti Chad, Republik Demokratik Kongo, dan Bangladesh, ragu berkomitmen dengan target ambisius karena alasan keuangan.
"Mereka takut berkomitmen untuk mencapai sebuah target, tetapi tidak punya dana untuk membantu mereka mencapai target tersebut," ujar Dabi, seraya menambahkan bahwa negara-negara maju memiliki kewajiban untuk membantu.
"Ini bukan berarti menimpakan semua kesalahan kepada negara-negara maju, tetapi ini menyangkut tanggung jawab historis, kemampuan finansial, kemampuan teknologi," ujarnya.
Pada konferensi iklim internasional di Azerbaijan tahun lalu, negara-negara industri sepakat untuk menyediakan dana sebesar $300 miliar USD (5 kuadriliun rupiah) untuk negara-negara berkembang, dan berjanji untuk memobilisasi dana sebesar $1,3 triliun USD (21 kuadriliun rupiah), meskipun belum jelas dari mana dana tersebut berasal.
Tindakan para negara-negara penghasil emisi global
Para ahli mengatakan, tiap negara harus menyampaikan target nasionalnya, termasuk dengan negara penghasil emisi rendah seperti Kenya. Namun, target nasional negara-negara penghasil emisi terbesarlah yang berperan penting,
Kelompok negara G20 yang juga meliputi Cina, Jerman, Australia, Rusia dan Amerika Serikat, bertanggung jawab atas sekitar 80% emisi global secara keseluruhan dan Dabi berpendapat tindakan negara-negara tersebut belum cukup mengurangi emisi gas rumah kaca global.
"Kelompok-kelompok tertentu perlu berbuat lebih banyak untuk mengurangi emisi mereka, dan hal ini tidak boleh dibebankan kepada masyarakat yang paling miskin karena transformasi yang diperlukan sangatlah besar," katanya.
Hampir satu dekade setelah Perjanjian Paris, target nasional tiap negara sudah lebih baik, menurut para ahli.
"Saya tidak dapat mengatakan bahwa segala sesuatunya sangat baik sekarang… menurut saya, mekanisme yang kita sepakati 10 tahun yang lalu telah membuat perubahan besar secara global dan juga di banyak wilayah hukum di seluruh dunia," ujar Menzel.
Meskipun target yang ditentukan negara tidak bersifat mengikat, Srouji mengatakan bahwa ketika sebuah "negara maju ke panggung internasional dan mengatakan, ‘inilah rencana kami', lalu kemundiasn mundur dari rencana tersebut, mereka akan mendapatkan banyak sorotan dari dunia internasional.”
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor : Agus Setiawan