Bagaimana Membuat Kota di India Aman bagi Perempuan?
11 September 2025Kota-kota di India berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir, tetapi sebuah kenyataan mencolok membayangi pertumbuhan tersebut. Sekitar 40% perempuan melaporkan bahwa mereka merasa tidak aman di jalanan, di lingkungan tempat mereka tinggal, maupun di transportasi umum. Hal ini menimbulkan keraguan mengenai sejauh mana perencanaan kota benar-benar mampu menjamin keamanan perempuan.
Mumbai paling aman, Delhi salah satu yang terburuk
"Saya pernah tinggal di Delhi dan kini tinggal di Mumbai. Saya merasa jalanan di Delhi gelap dan tidak aman. Saat masih mahasiswa, saya pernah ditatap oleh orang asing secara tidak pantas, dilecehkan di tempat umum, hingga disentuh di bagian yang tidak semestinya di bus. Bahkan, di kawasan elite, saya pernah dikejar pria mabuk. Anda harus selalu waspada, terutama setelah pukul 20.30,” kata desainer kostum Bollywood, Manoshi Nath.
Laporan dan Indeks Nasional tentang Keamanan Perempuan (NARI) 2025 yang dilakukan oleh Komisi Nasional untuk Perempuan setempat mensurvei 12.770 responden perempuan di 31 kota di seluruh wilayah selatan India.
Mumbai, Bhubaneswar, dan Gangtok menempati peringkat kota paling aman bagi perempuan, sementara Delhi, Kolkata, dan Jaipur berada di posisi terburuk.
Sekitar 40% perempuan di wilayah perkotaan India mengaku merasa tidak aman, sementara 7% lainnya mengatakan mengalami pelecehan sepanjang tahun lalu. Hasil lain menunjukkan bahwa perempuan muda berusia 18 hingga 24 tahun jadi kelompok paling rentan.
Tingkat rasa aman perempuan yang sudah rendah pada siang hari semakin merosot pada malam hari, khususnya saat mereka menggunakan transportasi umum.
Pratichi, seorang pekerja profesional di Delhi, mengatakan bahwa "ketakutan akan potensi kekerasan selalu menghantui pikiran, sudah begitu terinternalisasi hingga banyak orang tidak lagi melihatnya sebagai masalah serius.”
Keamanan urban butuh wawasan sosial, bukan hanya solusi teknis
Bagi sebagian orang, keamanan perempuan di ruang-ruang kota dianggap terjamin dengan sekedar kamera CCTV atau penerangan jalan. Namun, sosiolog Sanjay Srivastava, profesor di School of Oriental and Asian Studies (SOAS) London, berpendapat bahwa "solusi teknis saja tidak cukup.”
"Keamanan kota sejatinya membutuhkan integrasi pemahaman sosial dengan langkah teknis,” katanya kepada DW.
Srivastava menyoroti bahwa perencana kota di India sering berfokus pada "keindahan kota” dengan menertibkan trotoar, pasar informal, dan pedagang kaki lima yang dianggap "semrawut.”
Padahal, ruang-ruang tersebut penting untuk keamanan perempuan. Ia menjelaskan konsep adanya "mata di jalan,” di mana kehadiran warga dan pedagang secara alami dapat mencegah tindak kejahatan. Hal ini menciptakan ruang publik yang lebih hidup sekaligus lebih aman melalui pengawasan informal.
Ia juga menekankan minimnya ruang publik yang ramah bagi perempuan untuk bersosialisasi atau beraktivitas. "Tempat seperti kios paan (warung daun sirih kunyah khas India) biasanya didominasi laki-laki dan tidak menghadirkan rasa nyaman bagi perempuan,” ujarnya, seraya memperingatkan bahwa kota akan tetap tidak aman jika tidak ada ruang publik inklusif bagi perempuan.
Norma patriarki bentuk keamanan perempuan di India
Peneliti sosial Manjima Bhattacharya menegaskan bahwa norma sosial sangat berpengaruh, dan keamanan perempuan dibentuk oleh gabungan berbagai faktor yang kompleks dari segi sosial, budaya, ekonomi, serta keluarga.
Ia menjelaskan bahwa ruang publik di India sangat dipengaruhi oleh konstruksi gender secara kultural, merujuk pada buku Shilpa Phadke Why Loiter? yang menggambarkan bahwa perempuan hanya dianggap pantas keluar untuk tujuan tertentu seperti sekolah atau belanja, sementara laki-laki boleh bebas berkeliaran.
Srivastava juga menekankan bahwa perbedaan tajam antara ruang publik dan privat masih bertahan di India, mencerminkan patriarki yang mengakar di masyarakat.
Secara historis, ruang publik dikuasai laki-laki, sementara perempuan dibatasi di ruang privat. Kesenjangan ini menghasilkan akses yang tidak setara terhadap kesempatan, memperkuat ketidakadilan gender dalam kehidupan perkotaan.
Profesor Sanjay Srivastava menambahkan bahwa pihak berwenang sering kali melanjutkan pola pikir lama, misalnya berpatroli dan mempertanyakan alasan seorang perempuan berada di luar rumah pada malam hari atau sendirian. Sikap ini mencerminkan pola pikir menyalahkan korban yang mengikis hak perempuan untuk mengakses ruang publik.
Merancang kota yang lebih aman
Sushmito Kamal Mukherjee, seorang perencana kota, mengatakan bahwa peningkatan keamanan perempuan membutuhkan perencanaan terkoordinasi, tata kelola, penegakan hukum, serta pendanaan.
Ia menekankan pentingnya penggunaan data survei sebelumnya untuk memetakan area berisiko tinggi sehingga solusi bisa lebih terarah. "Jalan yang terang dan ruang terbuka dengan visibilitas jelas dapat mencegah tindak kejahatan yang tidak terpantau,” katanya.
Mukherjee menambahkan bahwa perencanaan kota selama ini didominasi arsitek yang hanya fokus pada desain, tetapi mengabaikan faktor sosial dan ekonomi. "Perencanaan kota yang efektif membutuhkan pendekatan interdisipliner yang mengintegrasikan beragam keahlian,” ujarnya kepada DW.
Bhattacharya menilai pendekatan partisipatif sangat penting.
"Sejak pertengahan 2000-an, kelompok perempuan di India telah melakukan audit keamanan, sebuah metode yang efektif di mana komunitas tersebut dapat menilai persepsi dan pengalaman mereka terhadap keamanan di ruang publik,” jelasnya.
Lebih dari sekadar kehadiran kamera dan polisi
Srivastava menyoroti bahwa perencanaan kota partisipatif sering kali hanya melibatkan perempuan dari kalangan menengah ke atas, sementara kelompok miskin seperti pekerja rumah tangga atau pedagang kaki lima yang memiliki masalah keamanan berbeda justru terabaikan.
Para ahli menekankan bahwa inklusivitas sejati membutuhkan keterlibatan LSM akar rumput dan peneliti sosial yang memahami dinamika tersebut, sehingga suara perempuan dari berbagai latar belakang benar-benar terwakili dalam perencanaan dan kebijakan.
Mereka juga mengingatkan bahwa perilaku di ruang publik merefleksikan nilai yang dipelajari di rumah, menegaskan keterkaitan erat antara ranah publik dan privat.
"Menangani isu keamanan perempuan membutuhkan penanganan ruang publik dan privat secara bersamaan. Mengajarkan keamanan dan rasa hormat di sekolah adalah hal mendasar untuk mengendalikan dampak jangka panjang,” ujar Srivastava.
Bhattacharya menegaskan bahwa rasa aman sejati tidak hanya terbatas pada kehadiran kamera dan polisi. "Ini adalah upaya berkelanjutan untuk menciptakan kota di mana perempuan tidak hanya merasa aman, tetapi juga bebas.”
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris.
Diadaptasi oleh Pratama Indra
Editor: Rizki Nugraha