Bagaimana Cina Memaknai Pertemuan Trump dan Putin di Alaska?
19 Agustus 2025Cina mengaku sedang mencermati upaya diplomasi yang dipimpin Amerika Serikat untuk menghentikan invasi Rusia di Ukraina.
Setelah Presiden AS Donald Trump bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di Alaska pada Jumat (15/8) lalu, utusan Gedung Putih Steve Witkoff mengatakan, Moskow telah membuat "sejumlah konsesi”, termasuk menyetujui bahwa AS dapat memberikan perlindungan serupa NATO kepada Ukraina.
Menyebutnya sebagai "keputusan bersejarah”, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyambut janji pemerintahan Trump untuk memberikan jaminan keamanan bagi Ukraina.
Zelenskyy bertemu Trump di Washington pada Senin (18/8), bersama sejumlah pemimpin terpenting negara Eropa, termasuk Kanselir Jerman Friedrich Merz, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.
Menjelang pertemuan tersebut, Cina—sekutu dekat Rusia—menyerukan agar "semua pihak” segera menyepakati perdamaian.
"Cina menyambut semua upaya untuk menemukan solusi damai bagi krisis ini dan kontak antara AS dan Rusia,” kata juru bicara pemerintah Cina Mao Ning di Beijing.
Pertemuan Trump-Putin sinyal peluang negosiasi Cina
Ja Ian Chong, asisten profesor ilmu politik di National University of Singapore, kepada DW mengatakan, pertemuan puncak Trump-Putin merupakan "titik awal yang berguna” bagi Beijing untuk melihat "bagaimana Trump bernegosiasi dalam situasi berisiko tinggi.”
Meski AS berjanji memberikan jaminan keamanan bagi Ukraina, Trump, setelah bertemu Putin, tampak mengendurkan tuntutan terhadap Rusia untuk menyepakati gencatan senjata sebelum negosiasi. Tuntutan tersebut merupakan syarat negosiasi yang diajukan Ukraina.
Dalam pertemuan itu, Putin dilaporkan menawarkan untuk membekukan sebagian besar pertempuran di garis depan, jika Kyiv menyerahkan seluruh wilayah Donetsk—kawasan industri yang menjadi salah satu target utama Moskow. Saat ini Rusia menguasai sekitar 70% wilayah tersebut.
Trump kemudian mengatakan kepada Fox News, dia telah menasihati Ukraina untuk "membuat sebuah kesepakatan” karena "Rusia adalah kekuatan yang sangat besar, sementara mereka bukan.”
Zelenskyy dilaporkan menolak tawaran itu dan menulis di media sosial X bahwa sikap Rusia menolak gencatan senjata "memperumit situasi.”
Wen-Ti Sung, peneliti non-residen di Atlantic Council's Global Cina Hub mengatakan "hal ini memberi kesan bahwa segalanya bisa dinegosiasikan.”
"Hal ini terdengar menyenangkan bagi Cina, karena Beijing suka menyingkirkan nilai-nilai politik dan perbedaan saat berhubungan dengan negara lain. Dan tampaknya itulah juga cara yang disukai Trump,” tambahnya.
Cina tetap berhati-hati soal ‘isu sensitif'
Namun, Chong mengatakan "inkonsistensi” Donald Trump juga menandakan ketidakpastian bagi Cina.
"Beijing mungkin ingin tetap berhati-hati terhadap Trump karena dia bisa saja mengambil satu posisi dalam sebuah pertemuan lalu mengubah pikirannya. Dan tidak sepenuhnya jelas ke arah mana dia bisa berubah pikiran,” ujarnya.
Pertemuan AS-Rusia ini memberi Beijing peluang untuk mengambil pelajaran bagi pendekatannya sendiri dalam menghadapi sengketa dengan Washington, termasuk ketegangan soal perdagangan, Taiwan, dan Laut Cina Selatan, menurut para pakar.
Menjelang pertemuannya dengan Putin, Trump mengatakan kepada media bahwa Presiden Cina Xi Jinping pernah mengatakan kepadanya bahwa Cina tidak akan menyerang Taiwan selama Trump menjabat.
Kedutaan Besar Cina di Washington kemudian menyatakan, isu Taiwan adalah "isu paling penting dan sensitif” dalam hubungan Cina-AS, tanpa menyinggung pernyataan Trump.
AS dan sekutunya selama ini berusaha mencegah Cina mengambil tindakan militer terhadap Taiwan, yang diklaim Beijing sebagai wilayahnya dan diancam akan direbut dengan kekerasan bila perlu. Taiwan menolak klaim kedaulatan tersebut.
Chong menilai pesan Trump soal Taiwan kemungkinan lebih ditujukan kepada dunia internasional ketimbang Beijing.
"Yang sejauh ini konsisten dari Trump adalah dia ingin menempatkan dirinya sebagai semacam pembawa damai,” ujarnya.
Pendekatan Cina atas perang Ukraina tak banyak berubah
Menyoroti kesediaan Trump mengorbankan wilayah Ukraina demi mencapai kesepakatan damai dengan Moskow, Sung mengatakan, "tidak ada alasan bagi Beijing untuk mengubah pendekatannya terhadap kebijakan Ukraina.”
Sejak Rusia melancarkan invasi penuh ke Ukraina pada 2022, Cina berusaha menampilkan sikap netral dalam upaya menyelesaikan "krisis Ukraina”, namun menghadapi kritik dari Barat atas kedekatannya dengan Moskow dan bahkan dituding ikut mendukung invasi.
Trump telah mengancam sanksi sekunder terhadap negara-negara yang tetap membeli minyak Rusia, di mana Cina dan India menjadi pembeli terbesar.
AS mengumumkan kenaikan tarif atas beberapa komoditas asal India hingga 50%—salah satu yang tertinggi yang dikenakan terhadap mitra dagang AS—dengan alasan impor minyak Rusia. Namun sebaliknya Trump tidak memberlakukan tarif serupa pada Cina.
"Beijing mungkin merasa memiliki daya tawar yang jauh lebih besar dibanding India,” kata Chong.
Perundingan dagang Cina-AS baru-baru ini diperpanjang 90 hari hingga batas waktu 10 November, untuk membahas isu termasuk akses pasar, mineral tanah jarang, dan ekspor chip.
Chong mengatakan lebih lanjut, belum jelas bagaimana pembicaraan Rusia-AS akan memengaruhi apa yang bisa dibawa Beijing dan Washington ke meja perundingan, namun ia tetap "meragukan bahwa Cina akan secara fundamental mengubah hubungannya dengan Rusia pada tahap ini.”
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Agus Setiawan