Bagaimana Airbus Mengalahkan Boeing
17 Juni 2025Perjalanan udara secara luas dianggap sebagai moda transportasi jarak jauh yang paling aman. Secara statistik, perjalanan darat menuju bandara justru lebih berbahaya ketimbang terbang.
Namun ketika sebuah pesawat jatuh, seperti yang terjadi pada Air India 171 pekan lalu, statistik keselamatan penerbangan hanya menjadi catatan pinggir. Insiden tersebut merenggut nyawa 270 orang, termasuk 241 dari 242 penumpang yang berada di dalam pesawat.
Dalam industri penerbangan, kecelakaan biasanya turut menghasilkan konsekuensi bisnis bagi produsen.
Karena di samping efisiensi dan kompatibilitas lingkungan, faktor keselamatan operasional tetap menjadi syarat terpenting bagi pesawat penumpang.
Airbus salip Boeing
Selama beberapa dekade, Boeing menjadi pemimpin global di industri penerbangan komersial. Namun dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan asal Arlington, Virginia, AS, yang mempekerjakan sekitar 170.000 orang itu terus mengalami kesulitan, bahkan kerap mencatatkan kerugian.
Pada 2024, Boeing melaporkan kerugian operasional hampir $11,8 miliar, dengan pendapatan sebesar $66,5 miliar.
Di saat yang sama, produsen pesawat asal Eropa, Airbus, telah lebih dulu melampaui pesaingnya di segmen pesawat penumpang. Dengan sekitar 160.000 karyawan, Airbus membukukan laba operasional sekitar $5,78 miliar, dari pendapatan sebesar $79,2 miliar.
Jumlah pengiriman pesawat penumpang pun menggambarkan tren serupa, Airbus sedang unggul dan terus memperlebar jarak dengan Boeing.
Namun demikian, angka produksi dan penjualan pesawat komersial hanyalah sebagian dari gambaran besar. Kedua perusahaan ini juga aktif di bidang sistem antariksa dan pertahanan, yang membuat perbandingan langsung menjadi lebih kompleks.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Boeing dirundung kontroversi
Kecelakaan pesawat Air India terbaru hanyalah satu dari sekian banyak noktah dalam rekam jejak keselamatan Boeing. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan AS ini memang acap tersandung kontroversi, mulai dari kecelakaan teknis hingga kendala produksi.
Salah satu indikator paling jelas atas masalah yang terus membayangi Boeing, terlebih jika dibandingkan dengan Airbus, terletak pada produksi pesawat berbadan lebar.
Airbus A380 adalah pesawat penumpang terbesar yang pernah dibuat. Bandara-bandara di seluruh dunia bahkan harus memperbarui infrastruktur, mulai dari terminal, gerbang, hingga kapasitas penanganan, hanya demi mengakomodasi pesawat raksasa bertingkat dua tersebut.
Namun ketika akhirnya banyak maskapai merasa bahwa A380 terlalu besar dan mahal untuk dioperasikan, Airbus langsung menghentikan produksinya pada 2021 dan dengan cepat menaruh asa pada A350.
Karena dengan mengandalkan empat mesin, biaya perawatan A380 sangat tinggi. Ditambah lagi, dengan kapasitas 500 hingga 850 kursi, maskapai acap kesulitan mengisi penuh pesawat.
Mimpi buruk bernama Dreamliner
Boeing menghadapi nasib yang berbeda. Setelah menghentikan produksi pesawat ikonik 747 Jumbo Jet, Boeing mengembangkan 787 dengan nama Dreamliner, sebagai alternatif kompetitif terhadap A350, berbasis pengembangan dari model 767.
Namun, Boeing justru terus dirundung pemberitaan negatif terkait Dreamliner. Mulai dari permasalahan material komposit baru, kegagalan koordinasi dengan pemasok, hingga pembatalan uji terbang, penundaan penerbangan perdana, dan keterlambatan pengiriman.
Belum lagi masalah keselamatan. Pada 2013, tak lama setelah Dreamliner mulai beroperasi, dua insiden terpisah yang melibatkan kebakaran baterai membuat pesawat ini dirumahkan di seluruh dunia.
Sengketa subsidi
Persaingan antara Airbus dan Boeing sudah berlangsung lama, terutama sejak tahun 2000 ketika Airbus resmi beroperasi di bawah nama European Aeronautic Defence and Space Company (EADS). Perebutan dominasi pasar ini bahkan sampai melibatkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), serta pemerintah AS dan Eropa.
Inti dari sengketa adalah soal siapa yang lebih banyak menerima subsidi pemerintah, dan apakah subsidi tersebut dibenarkan.
Jumlah subsidi yang diterima kedua perusahaan nyaris mustahil untuk diverifikasi. Di AS, hanya pemerintah federal yang terlibat dalam mengatur subsidi. Sementara Eropa melibatkan banyak negara: Belanda, Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman, serta Komisi Eropa di Brussel.
Rumitnya lagi, kedua perusahaan juga bersaing di sektor antariksa dan pertahanan. Boeing saat ini menempati peringkat keenam di antara perusahaan pertahanan terbesar dunia, jauh di atas Airbus yang berada di posisi ke-13.
Tantangan bagi kedua kontraktor pertahanan ini adalah ketergantungan mereka pada tender pemerintah, yang tak hanya mendanai penelitian dan pengembangan, tetapi juga menjadi pelanggan terbesar. Hal ini menyulitkan penghitungan subsidi secara jelas, apalagi mengaitkannya dengan segmen bisnis penerbangan.
Duopoli hadapi pendatang baru
Di luar persaingan kedua raksasa global, kini muncul pendatang-pendatang baru yang mengintai segmen bawah.
Perusahaan Brasil, Embraer, misalnya, hanya fokus membuat pesawat regional berukuran kecil. Sementara Bombardier dari Kanada, yang bermarkas di Montreal, kini sepenuhnya beralih ke pasar jet pribadi.
Sebabnya perhatian dunia aviasi kini beralih ke Cina, salah satu pasar penerbangan terbesar dunia, yang kini memiliki produsen pesawat sendiri: Commercial Aircraft Corporation of China (Comac).
Didirikan di Shanghai pada 2008 dengan dukungan pemerintah Tiongkok, Comac meluncurkan model pertama C919 pada 2015. C919 adalah pesawat penumpang berbadan ramping bermesin ganda yang sepenuhnya dirakit di Cina.
Bermitra dengan perusahaan kedirgantaraan dan pertahanan Rusia, UAC, Comac merencanakan pengembangan varian jarak jauh, C929, yang ditargetkan siap pada 2028.
Setidaknya hingga saat itu, pasar pesawat komersial berbadan lebar diperkirakan masih akan didominasi oleh dua raksasa dari AS dan Eropa.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Agus Setiawan